Menjadi anak yang tidak pernah diharapkan lahir oleh kedua belah pihak, membuat Bora menderita. Awalnya dia masih memiliki harapan kecil untuk keluarganya, namun makin lama- semuanya terkuak.
Mama yang Bora cintai dan berada di sisi lemah karena suaminya ketahuan berselingkuh, ternyata membenci Bora di sudut hatinya dan lebih memilih mengobatinya dengan cinta lama.
Papa yang mempertahankan serta memenangkan hak asuh terhadap Bora, ternyata hanya melakukan kewajiban, kadang kala dia akan melupakan keberadaan Bora.
Jadi, satu-satunya yang bisa Bora kejar adalah calon suaminya di masa depan, pria yang paham perasaannya hanya dengan satu kali ucapan.
Bora memegang erat kalung emas yang liontinnya melebur bersama sebagian kecil abu Bern.
"Liontin itu-" Ditya melirik Bora yang sedari tadi memegang erat liontin kalungnya.
Sore ini, Ditya mengantar Bora ke penjara.
"Ah, ini-" Bora melihat liontin dengan tulisan Bebo. "Bebo. Bern dan Bora."
"Siapa yang memberikan nama Bern?"
"Uhm- aku. Kenapa?"
"Ah, pantas."
"Hm?"
"Apakah kamu tidak tahu? Jika ada seseorang memberikan nama ke sesuatu, berarti dia memiliki rasa terikat dengan sesuatu yang diberikan nama. Yah, kamu terikat dengan Bern." Ditya memutar setir untuk putar balik. "Kita hampir sampai, aku akan menunggu di dalan mobil. Kamu bisa berbincang sebentar."
Bora menjadi panik. "Aku tidak pernah pergi ke penjara."
"Aku dilarang pergi ke penjara, katanya pamali."
Bora menjadi kesal. "Berarti suatu hari nanti aku akan masuk ke dalam penjara, karena tidak percaya dengan pamali?"
"Bukan seperti itu, tapi tidak salah juga sih." Cengir Ditya. "Tidak apa, ada salah satu kenalan di sana. Ah, kamu juga pasti terhibur, karena dia ada di unit K9."
Bora menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. "Aduh, jantungku jadi berdebar."
Ditya menepuk punggung Bora dengan lembut. "Di sana tidak menakutkan kok, memang ada orang jahat, tapi orang baik juga banyak."
Bora mengangguk pelan.
Setelah tiba di halaman parkir, Bora turun sendiri lalu sempat kebingungan, dia melihat seorang pria melambaikan tangan ke arahnya.
"Bora?" Tanya pria itu, setelah Bora lari menghampirinya.
Bora mengangguk. "Ya."
"Saya Efan, saya akan menemani kamu hari ini."
Efan, nama yang bagus. Batin Bora lalu berjalan mengikuti Efan dari belakang.
"Aku mau bilang, orang yang akan kamu temui sedikit pemarah tapi dia suka kue strawberry."
Bora melihat tangan Efan membawa satu bungkus plastik. "Itu- apakah itu kue strawberry?"
Efan tertawa. "Ternyata kamu peka juga."
Bora mengerutkan kening tidak suka, dirinya tidak terlalu suka dipuji. "Terima kasih."
"Ah, apakah kamu tersinggung? Maaf, aku hanya memuji. Tidak aku sangka ada yang tidak suka dengan pujian."
"Ah, maaf. Saya tidak terbiasa."
"Oh."
Bora melalui pemeriksaan, tidak terlalu lama karena tidak membawa apa pun. Lalu dia masuk ke dalam suatu ruangan sambil membawa kue strawberry yang dibawa Efan sementara Efan berjaga di luar ruangan.
Bora duduk di dalam ruangan dengan gugup lalu bertanya ke salah satu polisi penjaga. "Tempat ini seperti di ruang pemeriksaan polisi yang ada di film, apakah tidak masalah jika kami bertemu di sana?"
"Masalahnya dia tahanan VIP."
"Tahanan VIP?"
"Keluarganya kaya raya dan punya uang banyak, setiap kali pertemuan, minta ditaruh di satu ruangan khusus sementara kami berjaga di luar."
"Apakah kalian tidak takut mereka akan berencana kabur?"
"Karena yang menjamin orang kaya, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Toh, jika kabur- kami bisa mengarahkan kesalahan ke orang kaya itu, tapi pasti orang kaya tidak mau namanya rusak."
"Oh, begitu."
"Nah, lucunya. Keluarga si tahanan minta ruang khusus, istrinya selalu minta bilik asmara setiap datang berkunjung."
"Wow."
"Setia bukan? Tidak melupakan kebutuhan fisik suami."
Bora tertawa canggung, dia tidak mau ikut campur urusan orang lain yang menjijikan.
Tidak lama, seorang pria bertubuh kurus masuk ke dalam ruangan dengan kedua tangan diborgol, rambut acak-acakan dan juga jenggot tumbuh lebat. Penampilannya mirip pengemis.
"Apa ini? Kenapa ada anak kecil di sini?" Tanya pria itu sambil duduk berhadapan dengan Bora.
Bora menatap pria itu dengan aneh. "Bukankah anda orang kaya? Bagaimana bisa orang kaya terlihat pengemis seperti ini?"
Pria itu mengambil kotak di atas meja yang dibawa Bora, lalu membukanya. "Yah, kamu terlahir kaya lalu masuk penjara. Apa yang bisa diharapkan?"
Bora menatap lurus pria yang ada di dalam mimpi dan ditunjukkan oleh Bern dan juga adik kandung profesor Hendra yang keras kepala. Orang yang sama merupakan calon suami di masa depan, bagaimana bisa pria itu setuju menikah dengan dirinya yang masih muda dan tidak terlalu berpengalaman?
"Saya minta maaf karena tidak datang membawa apa pun, kue itu dibawakan salah satu polisi yang mengantar saya ke sini."
"Hm? Rupanya kamu bisa berkata jujur."
"Saya tidak akan berbohong untuk hal yang tidak penting."
Pria itu tertawa lalu memotong kue strawberry dengan pisau plastik secara kasar. "Hoo- berani juga untuk anak kecil seperti kamu!"
Bora melirik layar di atas kepala pria itu lalu mengerutkan kening. Hitam, gelap pekat. Tidak ada apa pun yang ditunjukkan.
Kenapa?
"Apakah kamu berusaha mengintip aku?"
Bora terkejut.
Pria itu menyeringai di balik jenggot. "Apa mau kamu ke sini?"
Bora sudah memikirkan hal ini semalaman, ketika Bern menunjukkannya. Bisa dibilang pemikiran ini gila, namun hanya dia harapan Bora jika dirinya gagal di tengah jalan dan pergi menyusul Bern.
Bora tidak tahu rahasia kematian dirinya, dia hanya ingin menyiapkan masa depan yang tidak pasti.
Kedua tangan Bora menggenggam erat liontin yang dikenakannya sambil menatap lurus pria yang sedang makan dengan rakus tapi matanya menatap lurus Bora dan memberikan tatapan menilai.
Ketika pria itu mengambil kue lagi dengan menusuk pisau plastik, Bora mulai mengumumkan permintaannya yang aneh dengan gagah berani. "Menikahlah dengan saya."
Mulut pria itu menganga lebar dengan kue strawberry jatuh di atas meja.
Efan yang sedang menguping juga terkejut.
"Tidak, anda harus menikah dengan saya. Karena anda harapan saya satu-satunya, hanya anda yang akan mengerti perasaan saya. Tolong, menikahlah dengan saya."
Efan yang berdiri di luar ruangan dan menguping dengan alat penyadap yang ditempelkan di bawah meja, tidak tahu harus bereaksi apa.
Normalnya anak muda jika putus asa, memilih menikah dengan pria kaya atau pria yang seusia, tapi ini? Sudah tahanan, masa depan tidak jelas, masih memiliki istri dan anak banyak, bahkan uang saja tidak pegang sama sekali.
Efan bertanya pada dirinya sendiri dengan heran. Apakah sekarang anak itu sudah mulai gila?
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)
RomanceSaat ulang tahun ke 17. Bora Zanitha Rukmasara harus menyaksikan anjing kesayangannya dibakar hidup-hidup oleh kedua saudara tiri. Satu tahun kemudian, anjing kesayangannya datang ke dalam mimpi dan menunjukkan masa depan selama satu bulan berturut...