MEMILIH KAKAK

114 15 2
                                    

Bora dan Harsa saling bertukar tatapan dalam diam. Mereka sudah melewati masa yang menyedihkan ketika orang tua saling bertengkar di belakang, tapi di depan mereka bertindak seolah tidak terjadi apa pun. 

Harsa tersenyum sedih. Dia pernah melihat Aji melakukan kekerasan pada Bora, dan tidak ingin Genta mendapatkan hal yang sama. "Bisakah kita seperti sekarang saja? Harsa hanya ingin bersama kakak, Harsa tidak ingin mengganggu kehidupan Papa yang sekarang. Menjadi Presiden pasti sangat sulit."

Aji mengalihkan tatapannya dari Bora ke Harsa. "Harsa-"

"Mama mati-matian ingin mempertahankan Harsa dan Genta dan Papa juga mati-matian ingin mengambil kakak. Sekarang Harsa hanya ingin hidup damai dengan kakak."

Perasaan Aji semakin sesak ketika mendengar ucapan anak keduanya, tangannya ingin menggapai anak itu dan memeluknya. Tapi, mungkin itu adalah ide yang buruk. "Papa minta maaf, tapi istana terbuka untuk kalian. Jika ingin berkunjung- Papa tidak akan marah."

Bora tersenyum. "Bukan Papa yang marah, tapi keluarga baru Papa."

"Bora, Papa menikah dengan dia supaya kamu tidak sendirian di rumah. Papa tidak tahu kalau mereka melakukan kejahatan seperti itu, jika kamu ingin- Papa akan penjarakan mereka yang sudah menyakiti kamu."

Bukannya senang mendengar perkataan Papanya. Kedua mata Bora menyipit curiga. "Papa? Apakah ini adalah Papa yang aku kenal?"

Aji tidak menjawab dan hanya menunjukkan senyum sedih.

Harsa semakin takut dengan perilaku Aji. "Kakak-"

Bora menjadi tidak sabar. "Harsa akan pindah sekolah dan Papa atau pun Mama tidak bisa mengganggunya. Titik."

Aji hendak mengatakan sesuatu lalu terdiam. Ike sudah menyerahkan kedua anaknya yang lain ke Bora, sehingga dia tidak punya hak untuk menganggu. 

Kepala sekolah dan wali kelas yang sedari tadi menjadi penonton, menunggu keputusan Aji.

Aji mengangguk singkat. "Semua keputusan untuk Harsa, ada di tangan Bora. Saya tidak bisa mengganggu."

Kepala sekolah dan wali kelas sangat menyayangkan keputusan Aji. 

Bora tidak peduli dinilai sebagai orang jahat, yang terpenting dia bisa mengurus kedua adiknya dengan tenang dan tanpa gangguan siapa pun.

Di saat Aji dan Bora sedang membahas masa depan Harsa, Yuni mendapat sidang dari keluarganya.

"Yuni, bagaimana bisa kamu sebodoh itu- tidak melihat ada kamera sembunyi, bahkan bersuara? Bagaimana bisa Bora mendapatkan kamera semahal itu? Apakah dia sengaja melakukannya supaya kamu diusir?" Ibu Yuni menggeleng tidak berdaya karena kebodohan anaknya. 

Laras dan Akmal yang berdiri di belakang sofa ibu mereka, hanya menjadi penonton.

Yuni merasakan sakit kepala dan memijatnya. 

"Sekarang Aji mengusir kamu keluar, apa yang akan kamu lakukan? Hanya berdiam diri? Setidaknya tunjukkan kesedihan di depan publik, bahwa Aji telah melakukan kesalahan besar."

Yuni mendengus keras ketika mendengar Ibunya berusaha menekan dia. "Apakah hanya itu yang bisa Ibu beritahu? Menekan aku?"

Laras yang tidak tahan melihat Yuni ditekan, membelanya. "Kakek, nenek. Mama tidak bersalah, yang salah adalah Bora- dia yang membuat kami diusir."

Ibu Yuni mendecak kesal. "Apakah kamu masih punya otak, Laras? Kenapa kamu tidak bisa menjadi teman untuk Bora?"

Laras semakin kesal dengan neneknya. "Bagaimana bisa aku berteman baik dengannya? Dia itu sombong!"

"Sombong?" tanya ibu Yuni.

Laras mengangguk kecil. "Dia terlalu dimanjakan Papa dan bertindak sombong di depan kami, seolah kami pengemis yang tidak dikasihani. Aku lebih suka mengusir dia keluar dari pada harus berbagi kasih sayang Papa. Toh, dulu dia juga menjauh dari Papa, lantas kenapa begitu tinggal bersama- dia malah menempel sama Papa? Apakah dia tidak tahu malu?"

Akmal mengangguk setuju dan memberikan tambahan. "Kakek, Nenek. Kami berdua sudah melakukan yang terbaik untuk bisa berteman dengannya. Tapi dia yang terus-terusan menghindar dan tidak suka dengan keberadaan kami. Jangan terlalu menyalahkan kami."

Orang tua Yuni saling bertukar tatapan lalu berdehem.

Kakak Yuni yang sedari tadi menjadi penonton, bertanya. "Mau sampai kapan kamu tinggal di sini? Bukankah Aji sudah memberikan kamu rumah mewah?"

Yuni semakin cemberut ketika mendengar pertanyaan kakaknya. "Apakah Kakak tidak bisa memiliki sedikit empati untuk aku?"

"Aku tidak pernah bersmpati untuk orang yang tidak berguna, kamu hampir saja menjatuhkan keluarga kita."

"Kenapa jadi kesalahan aku? Bukankah itu karena kakak tidak berguna?" Sengit Yuni.

"Kamu-" Kakak Yuni berdiri dan menunjuknya dengan marah. "Kami sudah berusaha keras mengembalikan tanah dan rumah yang sempat digadaikan, kami juga mengalami kerugian yang banyak. Tapi apa? Ternyata kamu tetap akan diceraikan? Seharusnya kita tidak mengembalikan tanah atau pun rumah itu."

Laras setuju dengan pendapat pamannya. Tanah dan rumah sebanyak itu, buat apa dikembalikan. Meskipun semuanya mengatasnamakan Bora, tetap saja merupakan bagian harta dari ayah tiri dan ibunya berhak memiliki semua itu.

"Aku tidak akan bercerai dengannya, kenapa takut sekali? Aji tidak akan pernah menceraikan aku!"

Ayah Yuni bertanya kepada Yuni. "Dari mana kamu seyakin itu?"

"Karena- dia seorang Presiden, tidak mungkin menghancurkan rumah tangga yang dikenal baik oleh masyarakat," Yuni menjawab dengan percaya diri. "Dia tidak mungkin menghancurkan nama baiknya."

Kakak Yuni tertawa mencemooh. "Apakah otak kamu masih sakit, Yuni? Masyarakat sekarang berbalik membela Aji dan menyerang kamu. Kamu tidak melihat media sosial?"

Sejujurnya Yuni terlalu takut untuk membuka media sosial. Dia tahu akan menjadi bahan ejekan, karena videonya terlihat jelas.

Laras dan Akmal menghela napas. Mereka berdua menyesal karena tidak bisa menahan diri untuk menyiksa Bora di depan umum dan anak haram itu mengambil kesempatan.

Kakak Yuni mendengus keras. "Karena sudah terlanjur basah, kita tidak mungkin mengharapkan Aji. Aku akan memperkenalkan kamu dengan seorang pria kaya raya."

Yuni terbelalak ngeri. "Kakak!" serunya. 

"Jangan membantah dan lakukan saja perintah kakak kamu, sebentar lagi kakak kamu akan masuk menjadi anggota dpr ibukota. Jika kamu masih bertahan pada Aji, tidak mungkin kami melakukan ini kepada kamu."

Yuni tidak percaya, ibunya akan bicara seperti itu. "Aku sudah tua dan punya dua anak, bagaimana bisa kalian hendak menjual aku?"

Kakak Yuni mendecak kesal. "Yang akan kamu dekati hanya adik pengusaha yang namanya sudah terkenal di dunia bisnis, aku dengar dia akan menceraikan istrinya dan sudah menikah dengan wanita muda yang tidak kenal asal-usulnya."

"Kakak, dia bahkan sudah menikah."

"Meskipun dia sudah menikah, pria tetap saja tidak puas dengan satu wanita. Kamu harus masuk dan bisa merayu, setidaknya dia bisa memberikan kamu banyak harta jika kamu bisa memuaskan dia."

Laras dan Akmal saling bertukar tatapan.

Ibu Yuni melihat kedua cucunya dan menegur. "Kalian berdua tidak perlu heran dengan hal seperti ini, kita harus bisa bertahan dan melakukan segala cara, jangan halangi kami untuk menjual ibu kamu."

Laras dan Akmal tidak berani membantah, toh mereka berdua akan kecipratan keberuntungan ibunya, mereka berdua juga sedikit was-was dengan ancaman ayah tiri yang tidak akan membiayai uang kuliah, padahal mereka belum lulus kuliah ataupun mendapatkan pekerjaan.




SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang