"Selamat malam untuk adik-adik mahasiswa yang saya sayangi, termasuk masyarakat yang saya cintai. Terima kasih sudah bersedia datang untuk mendengarkan saya." Edwin mulai membuka acara sambil berdiri, menatap para peserta yang hadir. "Dikesempatan kali ini, ada presiden kesayangan kita yang juga hadir, mari kita tepuk tangan terlebih dahulu."
Aji berdiri dan menyapa para peserta dengan menangkupkan kedua tangan.
"Nah, mumpung ada pak Presiden tercinta di sini. Ayo kita membahas tentang legal atau ilegal rumah atau tanah yang ditempati masyarakat di tanah milik pemerintah." Edwin tersenyum ke Aji.
Perkataan Edwin, tentu saja membuat orang yang paham, menjadi lelucon. Dimana-mana menempati tanah atau rumah yang tidak memiliki sertifikat jelas, pasti ilegal. Namun, tidak semua masyarakat paham mengenai hal ini dan parahnya masyarakat tidak mau tahu tentang hal ini, bagi mereka yang mendiami tempat itu sudah lama, tentu saja dianggap legal. Hal ini karena kurang tegasnya pemerintah dan juga marak makar.
Tentu saja hal ini menjadi perdebatan di rumah utama keluarga Tsoejipto.
"Wah, coba lihat itu. Bukankah Ayah tiri dan Ayah kandung Bora sedang bertarung di depan publik?" tanya Arka yang masih memeluk istrinya dengan nyaman sambil menonton televisi. "Pembahasan yang diajukan pun terkesan konyol."
Hendra menambahkan. "Karena kurangnya literasi pada masyarakat Indonesia. Kebanyakan beranggapan, tidak penting membaca, atau membaca hanya untuk orang culun atau orang aneh. Bagi mereka yang terpenting adalah bekerja mencari uang, lalu seks untuk hiburan."
Ratna memukul lengan atas sang suami dan menegurnya dengan tatapan mata.
Hendra mengangkat kedua bahu dengan santai. "Aku bicara sesuai fakta."
Fendi tidak pernah menangani masyarakat kelas bawah di Indonesia, jadi tidak begitu paham. Namun di penjara, dia memang menemukan banyak para penjahat yang melakukan kriminal dan tidak punya keahlian khusus. Mau belajar pun, hanya sebagian kecil yang mau belajar untuk memiliki sedikit skill ketika keluar penjara. "Banyak fasilitas yang diberikan Pemerintah, untuk digunakan dengan baik. Tapi, rupanya banyak yang tidak mau menggunakannya dengan baik. Contoh yang paling mudah adalah investasi, pemerintah sudah menyediakan tempat investasi legal yang aman, namun masyarakat tidak mau menggunakannya, dan lebih suka menggunakan tempat investasi dengan kata-kata indah."
Bora tersenyum sinis. "Seperti yang dilakukan Ibu tiriku, dia mengikuti banyak investasi gila-gilaan di temannya tapi yang terjadi malah tidak menghasilkan apa pun."
"Turut berduka cita untuk Ibu tiri seperti itu." Tawa Nina.
Lalu para anggota keluarga inti Tsoejipto, diam mendengarkan pendapat Edwin di televisi.
Di tempat debat, menjadi panas. Edwin berpidato dengan menggebu. "Masyarakat setempat sudah lama mendiami tempat itu, pemerintah juga tidak ada himbauan sama sekali supaya mereka keluar. Padahal masyarakat tersebut sudah memperbaiki berbagai kerusakan di dalam rumah tersebut."
Aji mengerutkan kening tidak setuju ketika Edwin membahas masalah renovasi. Ibaratnya kita menempati rumah orang, tentu saja kita harus merawatnya dengan baik dan tidak dirusak. Masalah renovasi pun, jika orang-orang ingin mengajukan biaya renovasi, tentu saja pemerintah bisa membantu. Ini masalah penghargaan.
"Masyarakat membutuhkan legalitas untuk tinggal, mereka juga sudah berjuang untuk negara. Kenapa negara tidak bisa memberikan tempat untuk mereka tinggali? Apakah negara sudah tidak membutuhkan lagi ketika usia mereka tidak produktif?"
Malam ini, Edwin bermain psikologis. Menyangkut masalah usia produktif sangat sensitif di telinga masyarakat Indonesia, termasuk dengan kata tidak dibutuhkan negara. Masyarakat yang tidak bisa mencerna dengan baik, akan tersulut emosi. Aji harus bisa menjawab dengan hati-hati.
"Nah, pak Presiden. Kebijakan apa yang akan anda keluarkan untuk masyarakat kita yang semuanya serba sulit mendapatkan sesuatu?"
Pertanyaan ini tentu saja menjadi ambigu. Sesuatu? Sesuatu itu apa? Apa yang menyulitkan masyarakat? Sejak kapan dan mulai dari mana? Seolah-olah di zaman Aji lah, pemerintah menyulitkan masyarakat. Tentu saja sebagian masyarakat hanya mencerna bagian serba sulit itu.
Aji tersenyum dan menyalakan mic. "Sebelumnya saya berterima kasih terhadap pak Gubernur kita yang sudah peduli dengan nasib masyarakat yang dimaksud. Disini saya hanya menjelaskan, bukan keberpihakan, karena tugas ini sudah ada yang menanganinya sendiri."
Edwin tertawa mengejek. "Apakah sekarang anda sedang lempar batu sembunyi tangan?"
Masyarakat yang mendukung Edwin bersorak mengejek Aji.
Aji berusaha menahan sabar lalu tanpa sengaja melihat Ike yang sedang berdiri di samping panggung, dan tidak ada yang bisa melihat kecuali orang yang berdiri di dekatnya.
Ike mengucapkan kata maaf ke Aji.
Entah kenapa hati Aji merasakan sakit ketika Ike peduli pada Edwin.
Aji tersenyum kecut lalu menjawab pertanyaan Edwin. "Tidak, saya hanya ingin menjelaskan. Bahwa masyarakat yang menempati tempat itu, harus pindah. Kasihan untuk rekan-rekan junior lainnya yang ingin mendiami tempat itu."
Edwin tidak puas dengan jawaban Aji. "Lalu, apakah pemerintah akan memberikan kompensasi?"
Para pendukung Aji yang mendengar pertanyaan Edwin, menggeleng miris. Ibaratnya seperti maling datang ke rumah, kepleset karena kesalahan sendiri lalu minta pertanggung jawaban ke pemilik rumah.
Aji menghela napas panjang. "Tidak ada kompensasi."
Masyarakat yang datang menonton, berteriak marah. Mahasiswa pun juga ada yang bersorak ke arah Aji.
Aji kembali menjelaskan. "Saya harap untuk masyarakat yang menempati tempat tersebut, segera pindah dan mencari kediaman baru. Pemerintah tidak bisa memfasilitasi rumah, pemerintah hanya ingin kesadaran masing-masing pi-"
PRIIITTT!
Salah satu mahasiswa mengacungkan kartu kuning ke udara dan membunyikan peluit. Masyarakat yang mendukung Edwin bersorak serta bertepuk tangan.
Bora berdiri dan melihat sikap tidak sopan mahasiswa tersebut, anggota keluarga lainnya juga terkejut dengan peristiwa itu. Tidak lama, ada yang melempar tomat ke arah wajah Aji.
Ike yang melihat itu terkejut.
'PRESIDEN YANG SUDAH MEMBUANG ISTRI DAN ANAK!" Teriak salah satu orang diantara para peserta.
Ike menjerit kecil karena terkejut.
Acara menjadi kacau. Aji dilindungi oleh beberapa anggota paspampres, sementara lainnya menangkap seorang pria yang menjadi dalang pelemparan tomat.
Ike ditarik oleh Edwin untuk pulang lebih cepat.
Bora ditarik Fendi untuk duduk di sampingnya dan memeluk erat sang istri yang gemetaran.
Hendra dengan cepat mematikan televisi, suasana di dalam rumah menjadi hening. Tidak ada yang berani mengeluarkan komentar.
Bora memang pernah disakiti oleh ayah kandungnya, tapi tetap saja hati ini merasakan sakit ketika ada yang menghina ayah kandungnya di depan umum. "Kenapa mereka melakukan ini kepada Papa? Apakah Papa tidak bisa memberikan jawaban memuaskan untuk mereka?"
Hendra menghela napas. Politik itu sangat kejam, orang baik harus rela ditusuk berkali-kali, dihina ratusan kali serta diinjak ribuan kali oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Semua orang selalu menuntut hak dan melupakan kewajiban sebagai warga negara. "Papa kamu sangat kuat dan hebat, tidak mungkin akan melemah. Jangan takut dan sedih, Bora."
Bora menangis di dalam pelukan Fendi.
Fendi menepuk punggung istrinya dengan lembut dan menenangkan. Ayah mertuanya sekarang sedang berjuang sendiri, tanpa siapa pun yang menemani di rumahnya. "Tidak apa, dia pria yang kuat dan bisa diandalkan, kamu tidak perlu khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)
RomanceSaat ulang tahun ke 17. Bora Zanitha Rukmasara harus menyaksikan anjing kesayangannya dibakar hidup-hidup oleh kedua saudara tiri. Satu tahun kemudian, anjing kesayangannya datang ke dalam mimpi dan menunjukkan masa depan selama satu bulan berturut...