WATAK ASLI AYAH TIRI

107 16 0
                                    

Genta membuka pintu kamar setelah mendengar bel pintu, lalu tersenyum dan memeluk Bora dengan riang. "Kakak, apakah kakak sedang mengunjungi kami?"

Bora yang sudah lebih tenang karena Fendi menghiburnya sebelum datang menemui kedua adiknya, tersenyum. "Genta kenapa agak kurus? Apakah masih malas makan seperti sebelumnya?"

Fendi masuk ke dalam kamar bersama Bora.

Genta melirik takut Fendi lalu memeluk erat tangan kakaknya. "Dia, siapa kak?"

Bora memperkenalkan Fendi kepada Genta. "Dia suami kakak, lalu ini adikku." Dia tidak lupa memperkenalkan Genta kepada Fendi.

Fendi mengangguk kecil lalu melihat Harsa tertidur nyenyak di atas sofa. "Dia-"

Genta sudah melupakan ketakutannya dan menjawab dengan sedih. "Kakak Harsa tertidur dan tidak mau bangun sama sekali, aku takut- padahal tadi kami sedang main kartu."

Bora tidak melihat ada kartu di sekitar Harsa. "Kamu yang membersihkan kartu-kartunya?"

Genta mengangguk. "Ya."

Bora tersenyum lalu menepuk lembut kepala Genta. "Terima kasih sudah menjaga kakak Harsa dengan baik."

Genta tersipu malu lalu memeluk kakaknya dengan intim. "Saudara kan harus saling menolong."

Fendi memindahkan Harsa dari sofa ke atas tempat tidur. "Apakah dia harus minum obat?" tanyanya.

Bora menggeleng. "Keluarga dari pihak Mama sangat tradisional, mereka tidak mau terlalu bergantung pada obat jadinya-"

Fendi mengangguk paham. "Besok kita panggil dokter untuk Harsa lalu aku akan menghubungi kakak untuk mencari anjing penuntun baru."

Tiba-tiba Bora melihat layar di atas kepala Harsa. "Hm?"

Bora melihat wajah Edwin yang tertawa mengejek. Apa? Kenapa pria itu tertawa mengejek?

"Harsa, sebagai anak laki-laki- kamu tidak akan bergantung pada seekor anjing bukan?"

"Tapi, dia mendapat gigitan dari anjing lain dan harus segera diobati."

"Jadi, aku harus mengeluarkan uang untuk anjing itu?"

"Dia, keluarga untuk aku."

"Kamu lebih memilih seekor anjing menjadi keluarga dari pada aku?"

"Aku-"

"Jangan merengek untuk hal yang tidak penting, hanya digigit juga pasti akan sembuh. Jangan merengek juga ke Ike, dia punya banyak hal yang jauh lebih penting dari pada mengurus anak penyakitan seperti kamu."

"Aku tidak sakit!"

"Lalu kenapa kamu membutuhkan anjing untuk menjaga? Apakah kamu tidak percaya pada Tuhan?"

"Aku- tidak tahu."

"Tidak tahu? Kamu tidak tahu kalau selama ini sudah bertindak merepotkan ke orang lain? Kenapa kamu tidak bisa mandiri dan bisa tumbuh dewasa? Apakah karena mengikuti tindakan Bora?"

"Jangan menghina kakak aku!"

"Dia pantas dihina karena sudah melukai wanita yang aku cintai, seharusnya dia tidak pernah hadir ke dunia ini, sehingga tidak perlu menikah dengan Aji sialan itu! Lalu kamu tidak tahu betapa kesalnya aku kepada dia. Jika kamu masih ingin ikut denganku, jangan pernah membuat aku kesal, Harsa."

Kedua tangan Bora mengepal di masing-masing sisi, marah dengan perbuatan Edwin yang sudah mengancam adiknya. "Pria brengsek."

Fendi yang sudah meletakkan Harsa di atas tempat tidur, sontak menoleh. "Hm? Ada apa?"

Bora mengalihkan tatapannya ke Fendi. "Edwin sudah mengancam adikku, dia juga tidak membawa anjing Harsa ke dokter hewan, setelah mendapat gigitan dari anjing yang kena rabies. Dasar pria brengsek."

Fendi mengerutkan kening tidak suka dan menegur istrinya. "Kamu bicara di depan Genta."

Bora menyadari kesalahannya lalu menoleh ke Genta yang masih menatap bingung mereka berdua bergantian. "Genta, kakak minta maaf kalau terdengar kasar."

Genta menggeleng. "Tidak apa, om Edwin memang selalu begitu. Sebenarnya sejak awal Om tidak menyukai kami berdua, om hanya baik pada kami di depan Mama dan keluarga Mama. Tapi di belakang, Om selalu mengancam kami. Ngomong-ngomong kenapa Mama tidak datang? Apakah Mama masih sibuk di bawah?"

Bora menarik Genta supaya duduk di sampingnya. "Sekarang Genta tinggal sama kakak."

Genta terpana. "Kenapa?"

"Di masa depan, Mama akan sibuk- jadi tidak bisa konsentrasi mengurus kalian berdua, kakak memang sibuk juga tapi kakak tidak akan menelantarkan kalian berdua."

Genta merenung sebentar lalu bertanya kepada Bora. "Kakak, apakah ini karena Om Edwin tidak mau membelikan anjing pengganti untuk kak Harsa? Minggu lalu kak Harsa mendapat serangan dan tertidur di tengah lapangan, saat berjalan menuju kelas. Tidak ada yang berani menyentuh kak Harsa, karena selama ini ada anjing yang menjaga kak Harsa."

Bora tersenyum sedih.

"Mungkin ada sekitar satu jam, kak Harsa tertidur di lapangan dengan matahari terik."

Fendi tidak setuju dengan perlakuan pihak sekolah. "Harsa tidak dibawa ke ruang kesehatan dan hanya dibiarkan begitu saja?" tanyanya dengan nada tidak percaya.

Kepala mungil Genta mengangguk singkat. "Ya, kak Harsa dibiarkan begitu saja karena tidak ada yang berani menyentuhnya, bahkan guru sekalipun. Mama datang agak terlambat dan langsung membawa kak Harsa pulang."

Bora menghela napas panjang dan merasa kesal dengan kelakuan pihak sekolah, dia ingin memindahkan kedua adiknya untuk sekolah di tempat yang aman, masalahnya dia tidak punya uang banyak.

Fendi bicara ke Bora, seolah pemikiran mereka berdua terhubung. "Aku akan memindahkan mereka berdua ke sekolah yang lebih baik."

Kedua mata Bora terbelalak tidak percaya. "Kamu yakin?"

"Mau bagaimana lagi, kita tidak bisa membiarkan mereka berdua ditangani oleh tempat yang tidak tepat. Kemarin dibiarkan pingsan di lapangan, besok mau dibiarkan kemana lagi?"

"Masalahnya- uang."

Fendi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mungkin karena dia dulu memili anak tiri, jadinya tidak bisa membiarkan anak-anak seperti Harsa dan Genta mendapat perlakuan tidak layak. "Aku pernah menjadi Ayah, Bora. Aku tidak ingin anak-anakku mendapat perlakuan tidak pantas. Berhubung mereka berdua adalah adik kamu, dan kita belum memiliki anak, jadi kita bisa konsentrasi mengurus mereka berdua. Sayangnya aku tidak bisa memberikan sosok Ayah untuk mereka karena aku suami kamu. Ah! Ada kakakku! Dia memang terlihat tidak peduli apa pun, tapi sebenarnya dia sangat menyukai anak kecil."

Fendi menoleh ke Genta. "Mungkin kakakku bisa bantu mendidik mereka berdua untuk menjadi anak yang berguna. Saat ini karena mereka mendapatkan penyakit, tentu saja manusia normal lainnya akan menganggap kedua adik kamu adalah anak yang tidak berguna."

Genta menepis perkataan Fendi. "Kami berguna kok. Kami sering membersihkan rumah dan tidak pernah meminta hal yang aneh ke Mama. Kami berdua anak baik, kakak juga anak baik."

Fendi tesenyum sinis. "Bagaimana bisa aku percaya dengan perkataan anak kecil yang tidak bisa dipertanggung jawabkan? Aku percaya dengan Bora, tidak percaya pada kalian berdua."

Genta menatap Bora dengan kedua mata berair, menahan tangis. "Kakak, Genta dan kak Harsa anak baik. Kami tidak pernah membuat ulah, meskipun kami masih belum bisa mendapatkan uang banyak. Tapi di masa depan, kami akan mendapatkan uang banyak untuk kakak."

Bora tersenyum sedih lalu memeluk Genta. "Ya, kakak juga percaya kalian berdua anak baik."

Fendi menghela napas. "Oke, jika Bora bicara seperti itu- aku percaya kalian berdua adalah anak baik."

Genta tersenyum penuh kemenangan. 

"Oh, ya. Karena kalian berdua akan tinggal bersama kami- aku harap kalian mengatakan apa yang diinginkan kepada kami, meskipun tidak semuanya bisa kami kabulkan."

Genta menatap bingung Bora setelah mendengar perkataan Fendi.

Bora mengangguk dengan senyum tipis. "Ya, kita bertiga akan tinggal bersama."

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang