Hilmy membolos bahkan sebelum pelajaran kedua dimulai. Hilmy khawatir sebab sejak pagi Sheana kelihatan tidak baik-baik saja. Ia mengendarai motornya yang selalu ia parkir di dekat penjual bakso langganannya karena tahu hari seperti ini pasti akan terjadi.Pemuda itu sudah keliling ke tempat biasanya orang-orang merenung, bahkan ia sempat pulang ke rumah Sheana, tapi nihil, gadis itu tidak ada di sana.
Lalu, Hilmy merasa lega saat getaran dari ponselnya menunjukkan nama Sheana si pengirim pesan. Sheana mengirimkan sebuah foto tempat yang Hilmy tahu itu dimana. Lantas pemuda itu memakai helmnya dan mengendarai motornya sampai ke taman.
Hilmy berlari menghampiri Sheana yang terlihat tak baik-baik saja. Wajahnya sembab yang Hilmy tebak dirinya baru saja menangis, matanya bengkak bahkan memerah. Sangat buruk. Hilmy tak tahu harus berkata apa karena Sheana langsung memeluknya tanpa izin.
"Lo... Gak papa?" Tanya Hilmy, pemuda itu juga membalas pelukan Sheana. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan melainkan tangis gadis itu yang kini berlanjut.
"Shea?"
"Biarin gue kayak gini dulu..." Sheana masih menangis, ia menangis dipelukan Hilmy.
Hilmy akhirnya mengerti, pemuda itu mendekapkan tubuhnya mengeratkan pelukannya pada Sheana.
"Nangis aja. Nangis sebisa Lo."
Setelah berdiam selama beberapa menit, akhirnya Sheana melepaskan pelukannya. Ia ingin menyeka air matanya, tapi, Hilmy lebih dulu memberikannya sapu tangan.
"Jangan pakai tangan, kotor." Sheana tersenyum menerima sapu tangan dari Hilmy.
"Lo selalu sedetail itu, ya?"
Hilmy kebingungan, "maksudnya?"
"Terakhir kali, lo gak ingat pertama kali kita ketemu di arena balap? Pas itu gue laper banget jadi makannya pake tangan, tapi Lo malah nyuruh gue buat makan pake sarung tangan." Sheana akhirnya tertawa mengingat memorinya beberapa hari terakhir.
"Oh, iya, ya? Gue sampe lupa."
"Pas itu Lo fokus sama hp Lo."
"Bener." Hilmy tertawa sebentar dan langsung tersenyum, "Sekarang ceritain coba, kok bisa nangis? Kenapa?" Tanya Hilmy lagi.
"Tapi kalau gak mau cerita gak papa sih. Lo bisa jadiin gue pelampiasan aja kalau mau," Sheana menggeleng mendengar pernyataan dari Hilmy barusan.
"Gue emang manggil Lo buat cerita. Tapi, Lo kok kayak keringetan banget pas sampai sini?"
"Gue emang udah nyariin Lo sebelumnya."
Sheana terpaku mendengar perkataan dari Hilmy barusan. Hilmy? Mencari dirinya?
"Kok bisa?"
Hilmy kalang kabut dibuatnya, ia kebingungan mencari alasan yang tepat agar dirinya tak terlihat sedang mengkhawatirkan Sheana. "Pak Ridwan nyariin! Iya! Dia nyariin kita."
Sheana tertawa kecil.
Hilmy terdiam malu sebentar, baru kembali bertanya, "tadi katanya mau cerita?"
Sheana mengangguk, "oh iya, maaf tiba-tiba hilang gini. Lo pasti belum tau dan gue bakal kasih tau kalau ayah gue itu salah satu kepala rumah sakit—bukan, lebih tepatnya hospice."
"Hospice? Gue baru denger ada tempat kayak gitu, itu apa? Anaknya rumah sakit?" Sheana ketawa lagi.
"Bukan. Hospice sama kayak rumah sakit. Bedanya, hospice tempat buat para pasien stadium akhir atau hidupnya gak bisa diselamatkan lagi. Ayah sama perawat lain tugasnya jagain mereka sampai mereka bener-bener capek sama penyakit mereka, sampai mereka meninggal di tempat itu. Para perawat juga punya tim sendiri untuk mengurus jenazah. Aneh, ya? Tempat itu memang kecil tapi gue punya banyak kenangan indah di sana." Jelas Sheana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey Of Us
FanficKisah melankolis para remaja sekolah menengah yang merasakan pahit, asam, manis-nya kehidupan dengan hati yang bergejolak bermekaran saat musim bersemi. Written by @lavidamys