Natta dan Sheana sudah selesai menyajikan makanan yang ia buat untuk makan malam mereka. Niatnya, mereka hanya ingin ngemil saja, tapi tiba-tiba Nabiru menelfon dan berkata bahwa dirinya dan Abigail sangat lapar.Buk
Abigail melempar dirinya di atas sofa sesaat setelah mereka sampai. Akhirnya ia merasa lega.
"Gue kesel, the traffic is so annoying."
"Jalanannya macet parah." Nabiru menerjemahkan dengan santai apa yang Abigail katakan barusan.
"Harusnya we got here in 10 minutes, but it turned into 30 minutes." Cecar Abigail lagi.
"Harusnya kita sampe tuh cuma 10 menit doang, tapi malah jadi 30 menit." Lagi-lagi Nabiru menterjemahkan kekesalan Abigail.
"Gak usah diterjemahin, Biru!"
"Udah koar-koarnya?" Anan ikut bertanya. Ia paham sekali dengan Abigail. Gadis itu akan berbicara dengan multi language saat dirinya sedang kesal.
"Udah!"
"Minum dulu," Abigail menerima gelas air pemberian Anan lalu meneguknya hingga tanpa sisa.
"Wah, pasta!" Nabiru sumringah saat melihat banyaknya prasmanan di meja makan. "Buatan Natta ya pasti?" Tebak Nabiru percaya diri.
Papa Natta itu adalah seorang koki dan mempunyai restoran bintang lima yang makanannya enak-enak. Restoran itu sendiri sudah buka cabang di Italia. Tidak heran kemampuan memasak Natta tampak berkelas. Anan dan Hilmy pun pandai memasak, tapi kelas Natta sendiri itu berbeda.
Walaupun hanya makanan biasa, rasanya akan sangat luar biasa dan itu menjadi alasan kenapa Nabiru lebih suka masakan yang dibuat Natta dibanding harus memakan makanan di luar.
"Anak-anak, ayo kumpul. Yang terakhir sampai harus cuci piring." Ujar Hilmy dengan suara menirukan ibu-ibu pada umumnya.
Mereka berbondong-bondong berlari menuju meja makan. Rasanya seperti sedang melakukan wisata bersama para teman sekelas. Satu persatu mereka mulai menyerobot makanan di depannya.
"Pelan-pelan woi, gue belum kebagian." Protes Hilmy.
"Lo udah makan tadi anjir."
"Gue duluan, minggir! Garpu Lo kena mata gue!"
Tentu saja teriakan tadi berasal dari para kaum Adam.
Kalian pasti berpikir bahwa para gadis hanya diam saja. Padahal mereka sama, saling berebut makanan, bedanya, mereka berkelahi lewat tutur batin, mata, dan tangan.
"Udah woi, gak usah makan sekalian kalau masih pada berantem."
Di antara mereka, pasti Natta akan selalu menjadi si penengah. Ia bahkan melerai pertengkaran di depannya. Tak dipungkiri, ia mendapat apa yang ia mau. Bahkan piringnya sudah penuh lebih dulu. Bukan karena hasil berebut, tapi karena hasil masakannya sendiri yang ia pisah sejak awal menata makanan.
Hilmy memicing tak terima.
"Enak banget Lo udah sediain makanan Lo sendiri. Sedangkan kita disuruh berantem," kesal Hilmy.
"Sekarang malah nyuruh berhenti berantem." Anan meralat ucapan Hilmy.
Setelah lama berunding. Akhirnya mereka bisa makan dengan tenang. Diselingi obrolan diluar kepala seperti, "kalau naga beneran ada, dia bertelur atau melahirkan?"
Atau
"Kok bisa ya ada dinosaurus? Bayangin jaman sekarang masih ada hewan itu, apa gak penyet badan kita diinjakin mereka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey Of Us
Hayran KurguKisah melankolis para remaja sekolah menengah yang merasakan pahit, asam, manis-nya kehidupan dengan hati yang bergejolak bermekaran saat musim bersemi. Written by @lavidamys