Regan tidak pernah ingin menjadi jahat, ia hanya seorang manusia pendendam yang takut akan segala hal. Dunia yang memihaknya selalu buruk, belum lagi garis takdirnya tak pernah sesuai dengan keinginannya. Semenjak orang tuanya meninggal, Regan tak pernah percaya lagi pada orang-orang di sekitarnya. Baginya, menjaga diri sendiri adalah yang terpenting dibanding harus memikirkan orang di sekitarnya."Lo telat 15 menit, nih," Regan melirik pada jam di tangannya lalu matanya berpindah pada Anan yang baru saja tiba.
"Jalanan macet, kalau ga percaya cek aja sendiri," Anan membuka helmnya lalu berbicara apatis pada Regan.
Regan berjalan ke arah Anan lalu merangkul pundak pemuda itu kemudian.
"Nggak, gue percaya kok." Ucap Regan dengan cengiran.
"Wih, motor Lo keren juga," Regan kini berjalan ke arah motor Anan melihat detail dari motor itu. "Beneran anak orang kaya ya Lo? Bapak Lo kerja apa?"
"Arsitek." Jawab Anan ala kadarnya membuat Regan dan teman-temannya tertawa keras.
"Hahahah, liat anak ini, dia malah ngejawab." Kata Regan kemudian. "Hei, gue ga peduli orang tua Lo kerja apa. Pantas aja Lo nggak pernah ngehargain cewek, adik gue aja Lo tinggalin. Emang orang kaya tuh cuma bisa nyusahin," ledek Regan di akhir cerita.
Regan agak menjengkelkan di mata Anan, ia sampai membatin kayak sendirinya gak berduit aja anjing.
Anan hanya bisa menyengir kuda disetiap perkataan yang Regan keluarkan.
"Katanya mau balap. Gak usah banyak ngomong dan tepatin aja janji Lo. Kalau gue menang Lo harus jauhin Abigail."
Regan tertawa lagi, "hahah, Lo bisa ngalahin gue? Gue suka kepercayaan diri Lo."
"Liat aja, gak ada yang gak mungkin." kata Anan kemudian.
—
"Katanya Lo tau, Nat. Di mana si Anan?!"
Hilmy mulai frustasi. Pasalnya, ia sudah kelilingi tempat yang biasanya Anan singgahi bersama Regan, namun, keduanya tak melihat sosok Anan di mana-mana. Sudah lebih dari 30 menit mereka berputar, sampai Hilmy—yang notabenya tajir melintir—harus isi bensin lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Ya, gue mana tau semuanya. Kan Lo yang biasanya pergi sama Anan kalau dia mau perang sama si Regan. Gue mah ogah campur tangan sama preman itu." Ungkap Natta.
Hilmy tak tahu harus ke mana lagi. Semua tempat sudah ia datangi, kepalanya terasa terbakar, mana mataharinya masih terik. Kalau begini caranya Hilmy bisa gila.
Triing
"Hil, Anan nelfon!" Natta berseru sesaat setelah melirik pada ponselnya. Ia memberi kode untuk tidak berisik lalu berbicara pada Anan.
"Anan, Lo di mana?" Bodohnya, Natta malah bertanya lebih dulu.
"Gue gagal di ronde pertama. Lo bisa ke sini gak?"
"Sialan! Lo di mana sih?!"
"Gue share loc. Beliin air putih juga, gue mau pingsan rasanya."
"Anan anjing! Tunggu di sana Lo anjing."
Hilmy menutup mulutnya tak percaya kalau seorang Natta bisa mengumpat sebrutal itu.
Natta memutuskan panggilan dan melihat isi pesan yang Anan kirimkan.
"Ini, Hil," lalu Natta menunjukkannya pada Hilmy.
"Loh, ini kan di warkop? Anjir, gue inget kalau dalam arena ada arena balap yang udah gak kepake. Mereka di sana dong?!"
Natta mengangguk, "buru, Hil!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey Of Us
FanfictionKisah melankolis para remaja sekolah menengah yang merasakan pahit, asam, manis-nya kehidupan dengan hati yang bergejolak bermekaran saat musim bersemi. Written by @lavidamys