. . .
Di ujung ufuk barat, matahari merangkak perlahan menuju cakrawala, memancarkan sinar jingga dan merah yang hangat di langit. Di Pulau Mistica, pemandangan indah itu disaksikan oleh bebatuan yang berkumpul di pantai. Ombak lembut menghampiri pasir putih, menciptakan suasana tenang dan damai. Seiring matahari makin tenggelam, langit berubah menjadi nuansa ungu dan biru tua, menciptakan latar belakang yang sempurna bagi matahari yang makin merosot. Di pelosok hutan di mana danau keruh berada, para perompak dari Blade menyaksikan dengan kagum, sambil menghormati keindahan alam.
Latunan nada dari pemusik kru Blade mengudara mengisi kesunyian. Majorie membuat seruling dari bambu yang ia pungut. Jarinya menutup dan membuka lubang seruling ikuti nalurinya, merdu memanjakan telinga. Hanya saja ketika mulutnya mengeluarkan rupa-rupa lirik, itu merusak segalanya.
Trisen membekap mulut Majorie setelahnya, tetapi ia lepaskan sehabis digigit seperti anjing. Kru tertawa lihat interaksi sehari-hari mereka. Sementara Reynolds memajukan bibirnya ketika disuruh menjemur baju sang kapten, dia pula dituntut agar kain itu cepat kering. Matahari sudah terlelap! Bagaimana ia bisa mengeringkannya?
Sepatu Miller melangkah ke dekat kapten, Smithson memperhatikan awak kapalnya mengikat bangsawan di batang pohon. Sedangkan ia menahan angin malam yang menggoda setengah tubuhnya yang telanjang.
Bahu yang lebar, dada bidangnya tegas, dan pahatan perutnya yang padat. Ia melipat lengannya di dada, ototnya menegang sesaat. Rambutnya sudah sedikit lembab, ia mendengkus kesal. Rambut yang memiliki dua warna─hitam dan putih─menjadi khas Smithson sebagai pemimpin Blade.
Miller berdehem, tak sedikitpun kaptennya beralih padanya. Smithson melirik Demian dan pedang excalibur yang tertancap di tanah. Anak buahnya itu merasa ia harus melakukan sesuatu.
"Haruskah aku membunuhnya?" tawarnya, Miller membuka ikat pinggangnya, melilitkannya di telapak tangan. Smithson menggeleng, ia berjalan ke batang bohon di depannya, berjongkok sembari memiringkan kepalanya.
"What's so special about him?" tukas Smithson. Sang kapten kemudian menyuruh salah seorang krunya untuk mengambilkan semangkuk air, yang setelahnya ia sembur ke wajah Demian.
Reynolds berjalan tak bersemangat, ia meregangkan otot-ototnya yang kaku hingga berbunyi. Ia memijat lengannya sembari berkata, "Dia beruntung mungkin."
Miller menginjak kaki Reynolds hingga sang empu meloncat-loncat. "Beruntung saja tidak cukup untuk mendapatkan Excalibur, bodoh!"
Saat Demian disiram air kedua kalinya, kesadarannya kembali dengan paksa. Ia berbatuk karena air masuk ke hidungnya. Ia duduk di tanah dengan punggung menempel erat bersama tali yang mengikatnya ke batang pohon.
Smithson menatapnya lamat-lamat, seolah menilai Demian luar dalam dengan mata tajamnya. Demian bernapas pelan, ia akan jujur pada dirinya sekarang bahwa ia sedikit cemas. Bagaimana caranya ia pergi dengan Excalibur hidup-hidup?
KAMU SEDANG MEMBACA
PHANTOM'S WAY
Viễn tưởngBACA SCYLLA'S WAY DULU YA *** Hampir dua tahun lamanya sejak Arienne kembali dari perjalanannya, gadis yang berhasil membawa kakaknya pulang. Kini ia hanya menghitung hari, berharap setidaknya teman-temannya mengabari. Namun, tidak ada tanda-ta...