70 : Concern

798 223 57
                                        

Sejak kecil, sekitar dua belas tahun yang lalu, belenggu bernama anak tak sah mengikat leher Demian. Kemana pun ia pergi, siapapun yang ia temui memandangnya sebelah mata. Hal itu membuat Demian mempertanyakan kepantasannya lahir di dunia.

Orang-orang pandai menyunggingkan senyum terbaiknya jika ia berjalan beriringan dengan kakaknya. Semata-mata menghormati ia sebagai adik pangeran. Namun, ketika ia sendirian kebencian mereka tampak begitu jelas.

Di sekolah pun, tidak banyak yang berbicara dengan Demian. Wajahnya galak, katanya Demian bisa memberikan bala jika lama-lama bertukar kata. Demian tidak peduli, sebanyak apapun momen dimana ia berusaha terlihat baik, orang-orang hanya akan melihat apa yang mereka ingin lihat. Jadi, Demian menunjukkan apa yang mereka mau.

Kasar, egois, dan angkuh. Seperti tokoh antagonis di dongeng anak-anak sebelum tidur. Berkebalikan dengan kakak tirinya yang lembut, bijak, juga ramah. Delbert yang ringan menjulurkan tangan untuk orang-orang. Jika Demian dijuluki demon, si anak iblis. Delbert disyukuri keberadaanya, pangeran masa depan mereka. Malaikat.

Kadang-kadang kebaikan Delbert terlihat begitu menyebalkan. Demian tidak ingin mengandalkannya seperti orang lain. Demian tidak ingin mengakui rasa aman yang diciptakan Delbert saat pria itu berada di sekitarnya.

Perasaan-perasaan menyebalkan itu kadang-kadang membuatnya naif. Apakah masih pantas untuk dirinya diterima? Namun, ketika melihat ibu tirinya, sang Ratu. Ada gumpalan hitam menyumbat dalam relungnya. Rasa bersalah.

"Lututmu berdarah, Demian. Ayo ikut kakak, tabib akan menyembuhkannya." Delbert berdiri, menepuk satu atau dua kali kepala Demian yang tertunduk menatap tanah.

Gelengan kecil sebagai bentuk penolakan buat Delbert menghela napas. Yang lebih tua berjongkok, mengintip yang lebih muda memeluk lutut.

"Mereka menghindariku kemarin saat sikuku sobek," geram Demian kecil. Luka di sikunya kering sendiri, tidak diperban sama sekali.

"Aku saja yang obati." Delbert tersenyum tipis, menyakinkan adiknya. Namun, gigi Demian menggertak rapat. "Aku sudah bilang padamu untuk menjauh dariku. Kau keras kepala sekali!" Tangan Delbert ditepis kasar.

"Aku menerima keberadaanmu sebagai adikku, Demian. Aku peduli padamu, itulah kenapa aku akan terus bersikeras ada di sampingmu. Suatu hari kau akan menemukan banyak orang sepertiku. Dan saat hari itu datang, kaulah yang harus berhenti keras kepala untuk mendorong mereka lebih jauh." Satu sentilan berhasil mendarat di kening Demian, wajah anak itu merah padam.

Delbert berlari menuju tempat tabib dengan Demian yang mengejarnya sambil marah-marah.

"Pelajarilah ilmu herbal dan bedah dasar, Demian. Barangkali kau membutuhkannya di masa depan, secara kau sering sekali luka-luka!" Delbert mendengus, menasehati sebaik mungkin meskipun nasehatnya tidak langsung didengar adiknya.

Dulu Demian hanya cemberut saja, malas mendengar lontaran kata Delbert. Namun, Delbert takkan pernah tahu bahwa kini Demian selalu mengingat kata-katanya di berbagai memori. Tersimpan baik di galeri mimpi.

Maka sekarang, Demian memejam. Membuka kembali matanya, dimana bising kembali menembus indra pendengaran. Dentuman dan percikan api menggelegar. Pecahan es terhempas berantakan.

Poninya berjatuhan, menutupi sebagian pandangannya. Keras kepala. Mereka bertarung. Buat apa bersusah-payah sampai menginjak puncak? Demian tidak pernah paham dengan konsep nekat mereka.

Dirinya sudah tertinggal di belakang, kakinya kaku untuk maju. Punggung Arienne yang ia lihat di antara kekacauan itu. Punggung yang kadang-kadang bergetar, tetapi lebih banyak tegap dengan berani.

Strong is not always about strength.

Demian tertegun, mengingat percakapannya dengan Kapten Blade.

PHANTOM'S WAY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang