40 : Actassi's biggest card

1.1K 226 17
                                    

. . .

Hanze kembali mengingat, mundur ke beberapa hari lalu ketika ia ditugaskan untuk menangkap Actassi. Ada banyak yang melaporkan aksi bajak laut itu di sebuah pulau minim kriminalitas. Wajah mereka diingat oleh penghuninya karena poster buronan yang bertebaran.

Kapten Actassi, Ken, tak pernah luput dari siasatnya. Bahkan jauh-jauh hari ia selalu mengira-ngira, apalagi mereka masuk ke incaran lima besar, ia harus makin mengetatkan kewaspadaan.

Bersama mata Eiros yang terpejam, bayangan ramalan dari sihirnya selalu buat Actassi satu langkah ke depan dari bajak laut lain, bahkan dari angkatan laut sendiri.

Actassi mengandalkan lima dari mereka, daripada menambah kru atau kroco-kroco seperti dulu. Dinilai lebih fleksibel dan mudah diatur, daripada kru yang agresif atau bermental budak.

Merah amis kembali menetes dari hidung penyihir berambut merah gelap itu, Eiros buka-tutup matanya, menerima efek samping seperti kejang-kejang, lalu di akhir ia akan linglung sembari terbatuk-batuk. Zaan menahannya agar tidak jatuh.

Rambut Zaan sekarang di kuncir setengah, helai hitamnya sudah sampai menutupi leher belakang. Ia menarik kain lengannya ke siku, raut wajahnya penasaran pula cemas.

"Tenang saja, dia sudah sering melakukan ini." Garvin mengangkat tong berisi beras di pundaknya, seolah seringan kapas. Mendengarnya, Zaan hendak menendang bokong pria tersebut. Garvin yang cekatan pun dengan mudah menghindar. Berakhirlah keduanya kejar-kejaran di dek kapal.

Burung berbulu hijau dengan corak merah dan kuning yang sejak lama menjadi peliharaan bajak laut tersebut, mengelilingi seseorang yang sedang memberinya makan. Hugo mencomot ulat dari plastik, melontarkan ulat itu ke atas, membiarkan burung beo itu melahapnya.

Ken mendekat, ia menepuk-nepuk bahu Eiros, memberinya kain untuk menyerap peluh dan darahnya. Penyihir itu tersenyum, ia mulai merasa pening perlahan meninggalkannya. Saat itulah Eiros menafsirkan apa yang ia lihat pada ramalannya.

Kapten Actassi kemudian menyuruh awak kapalnya ke mari dan mendengarkan Eiros dengan saksama. Dalam ramalan Eiros, ia melihat mereka ditangkap di tempat yang asing bersama tubuh yang basah kuyup. Ramai sekali orang di sana.

Eiros pun bungkam sesaat, bibir keringnya ragu-ragu menguaknya.

"Aku melihat Arienne Whiteney, lagi."

Eiros meneguk salivanya diam-diam, ia menyerahkan tiga kartu ramalannya. Perlu diingatkan, setiap kartu milik penyihir itu isinya kosong, tetapi ajaibnya, salah satu atau beberapa yang ia pilih akan menunjukkan gambar-gambar acak.

Tiga di antara kartu ramalannya bergambar tiga garis tegak dan dua garis yang menutupi atas bawahnya, lalu gambar kepala tengkorak yang memakai jubah, kemudian dua segitiga yang saling memantul di atas bawah.

Di desir ombak yang tenang, tiba-tiba terdengar suara tembakan meriam yang menggelegar, kapal mereka terombang-ambing karena meriam itu meledak di sekitar mereka.

Zaan bangkit, menggertakkan giginya, lalu memukul bagian kapal. "Angkatan laut menemukan kita!"

Layar dengan lambang marinir itu berkibar di sisi timur. Mereka buru-buru bergerak memutar kapal dan kabur dari musuh bebuyutan. Hugo fokus pada teropongnya. "Hei, sepertinya ada seorang laksamana di sana! Tapi bukan wanita tua kemarin!" seru yang paling muda. Sementara Theo berputar-putar. "Kita akan ditangkap, kita akan ditangkap!"

Ken berjalan ke ujung kapal, raut wajahnya nampak serius dan bertanya-tanya. Ia pun menoleh pada Eiros. "Apa kita ditangkap oleh angkatan laut?" tanya ia.

Eiros yang tengah memutar kemudi itu menyadari. "Tidak, bukan oleh mereka!"

Dari sana terbitlah seringai Ken yang buat lubang manis di kedua pipi menjadi lebih memesona. Ia pun menunjuk ke arah kapal yang menyerang mereka.

"Jangan takut, serang balik!" lantangnya. Eiros hendak menahan.

"Sepertinya, salah satu dari mereka sangat kuat, Ken!" sahutnya, tetapi tak cukup buat Ken gentar.

"Begitupun dengan kita. Actassi go fire back!" titah Ken dengan membara. Zaan dan Garvin bertukar tawa, berlari mengeluarkan meriam mereka.

Semuanya terjadi begitu cepat, ingatan Hanze menjadi buram ketika peluru saling bertabrakan. Suara dentuman yang lantang, hingga tinju yang beradu panas.

Ada satu yang ia sadari setelah kalah dari Actassi. Ia menegakkan kepalanya untuk berjujur hati.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi setelahnya saya lupa cara menggunakan kekuatan saya, Laksamana." Hanze berterus terang, ia mengepal kuat-kuat. Malu serta penyesalan mencengkram lehernya dari belakang.

Zhao membelalakkan mata. Kepala para komandan saling menoleh waktu mendengarnya, bingung juga terkejut.

Qesia diam, tetapi rahangnya nampak mengeras. Tembakau itu ditaruh di atas meja kemudian dihancurkan dengan sekali pukul. Hanze menegang, ia berusaha tetap menegakkan tubuhnya.

"Kita bahas itu nanti, aku ingin dengar laporan selanjutnya." Wanita yang menerima keriput tipis di wajahnya itu menahan diri, memijat hatinya agar tetap tenang.

Dengan melintir ujung kumis kebanggaannya, Djavor membersihkan tenggorokannya, ia merapikan seragamnya dan menghadap pada Qesia.

"Kepulauan Galapagos terminimalisir dari bajak laut, mereka takut pada komandan yang melindungi kesejahteraan pulau itu." Djavor mengangkat dagunya dengan bangga, ia memandang yang lain, lalu kembali mengusap kumisnya.

Zhao mengerutkan keningnya, tak dapat menahan betapa narsisnya komandan seniornya. Apalagi Qesia yang tiba-tiba sakit kepala mendengar ocehan betapa hebat dan dahsyatnya Djavor, meskipun ia sendiri tahu Djavor hanya melebih-lebihkan.

Lalu lanjut pada laporan-laporan lain, terus sampai diskusi cukup panjang. Hingga tersisa Qesia dan Hanze, Zhao diam-diam menunggu di depan pintu.

"Kau harus temukan cara untuk mengembalikan kekuatanmu itu, kau tahu, kan, kenapa kau ditunjuk olehku?" Qesia kembali menggantungkan jubahnya ke pundak.

Hanze mendunduk dalam-dalam, lalu mengangguk. Ia berusaha menatap Qesia. "Saya akan berusaha."

"Kalau tidak bisa, Zhao yang akan menggantikanmu, dan akan ada puluhan orang yang menentangnya," ungkap wanita itu, ia menepuk bahu Hanze dua kali sebelum benar-benar meninggalkan ruangan rapat tersebut.

Pemuda itupun meraup wajahnya, sedikit menjambak rambutnya dengan frustasi. Saat itulah Zhao masuk dan bertanya-tanya, ia hendak menepuk bahu Hanze juga, tetapi ngilu menyerang tangannya yang diperban.

"Ceritakan kenapa kau bisa bertahan, Hanze!" seru Zhao, sembari membenarkan kacamata bulatnya. Hanze melihat sekitar, ada prajurit yang berjaga seperti patung. Segera Hanze menarik Zhao ke tempat yang lebih nyaman.

Langkah mereka bergema di tiap koridor yang sunyi, Hanze berhati-hati pada pengelihatannya, lalu mendekat ke telinga Zhao, sahabatnya itu.

"Aku diselamatkan oleh bajak laut," bisiknya. Zhao membuka mulutnya dengan keterkejutan. "Bajak laut?!" bisiknya sedikit lantang. Hanze langsung memasang telunjuk di bibirnya. "Jangan keras-keras!"

Ketika Zhao menutup mulutnya dengan tangan yang diperban, Hanze mulai salah fokus. "Tanganmu kenapa?" tanya ia.

Iris jingganya mulai tenang, Zhao pun menunjukkan lengannya lebih dekat.

"Oh, ini. Pasukanku melawan penyihir dan kalah, untung saja aku sempat menyelamatkan diri," jelasnya. Kemudian Hanze pun mengangguk-angguk.

"Yang namanya penyihir selalu terlihat lebih unggul, kan?" cetus Hanze, ada keputusasaan di nadanya.

Semua penyihir rata-rata dinilai demimian, termasuk penyihir dengan aura sihir berwarna ungunya. Yang sekarang tengah memakai gaun dan rambut panjang palsunya.

"Memangnya aku harus benar-benar mengenakan ini?"

. . .

Kalau kalian inget, Carsein berhasil kena serang juga. Nah tahu, kan, siapa dan siapa?

PHANTOM'S WAY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang