Bab 25

1.3K 149 19
                                    

Rora kini menahan diri untuk tidak membuka pintu. Terdengar keributan dari dalam. Kata umpatan, penghinaan dan saling merendahkan satu sama lain sungguh membuat Rora merasa muak.

Ia sangat lelah dengan kondisi hari ini. Setiap hari selalu saja kedua orang tuanya bertingkah. Tidak bisakah mereka melihat hati kecil Rora? Bahwa ia sangat iri dengan mereka yang memiliki keluarga yang hangat.

Jika bagi mereka hal yang paling berharga adalah keluarga, maka bagi Rora keluarga adalah kutukan. Rumah adalah neraka, bukan tempat untuk berpulang.

Setelah mengatur napasnya, Rora memberanikan diri untuk melangkah masuk. Suara pintu terdengar dibuka. Rora dengan kuncir kuda tampak sedang melepaskan sepatu, tak lupa juga membenarkan posisi tas di punggung.

Dada terasa berpacu dua kali lebih cepat. Sesak menggerogoti benak, hati terasa dicubit, sakit rasanya. Mata kucing miliknya memanas menahan buliran bening kala melihat kedua orang tua berteriak kembali memperebutkan tentang hak asuh.

"Kamu ikut sama ayah kamu!" tukas wanita berkacamata penuh penekanan.

Rora mengepalkan kedua tangan menahan diri agar tak mengumpat. Apalagi sampai lepas kendali melampiaskan amarah kepada mereka berdua. Bukannya disuguhi oleh kehangatan serta beristirahat, justru malah ditembaki pertengkaran yang sulit untuk diterima.

"Apa-apaan itu, Rora harus ikut sama kamu! Kamu 'kan ibunya!" bentak pria itu tak terima dengan keputusan sepihak.

"Kamu juga ayahnya, Mas! Kamu juga punya tanggung jawab buat Rora jangan aku terus dong. Aku juga pusing!"

"Dimana-mana seorang anak harus ikut sama ibu! Jadi, dia ikut sama kamu!"

Wanita itu menggertakkan giginya kesal. Dia sudah mengurus Rora sampai sejauh ini, tapi apa yang di lakukan oleh suaminya? Dia tidak membantu sama sekali.

"Aku sudah mengandung, melahirkan dan membesarkan Rora seperti sekarang. Sekarang giliran kamu yang urus dia! Aku tidak mau tahu, Rora kamu ikut sama Ayah kamu," cetus wanita itu.

Rora tersenyum miris, jadi kedua orang tuanya saling melempar dirinya? Tidak ada yang mau mengurusnya? Gadis itu merasakan panas di dadanya. Rora ingin menangis dan marah. Perasaannya campur aduk, setiap hari, setiap pagi, setiap malam, setiap mereka bertemu selalu saja ada pertengkaran.

"Kamu merasa lebih dari aku?!"

"Memang itu kenyataannya!"

"Cukup!" Rora berteriak meleraikan keadaan.

Kedua pasangan itu menoleh melihat kedatangan Rora. Gadis yang baru saja menyelesaikan pelatihan itu berjalan mendekati mereka.

"Hentikan. Tidak bisakah sehari saja kalian tidak bertengkar? Aku muak dengarnya! Rumah ini terlalu berisik!" teriak Rora akhirnya menahan tangis.

"Kamu berani menaikkan nada bicara di hadapan orang tua?" bentak sang Ayah kepadanya.

"Aku belajar dari kalian! Kalian setiap berbicara selalu berteriak. Apa aku salah?" ungkap Rora membuat kedua orang tuanya bungkam.

"Aku capek dan rumah ini butuh ketenangan. Aku mohon," pinta Rora melirih.

Gadis itu berlari meninggalkan kedua orang tuanya. Rora masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan kasar.

Rora menjerit sesak. Rambutnya kini berantakan. Rora kembali membasuh wajahnya dengan kasar, dengan harapan bisa melapangkan hatinya yang mendadak sempit. Namun, pertengkaran itu semakin membuatnya murka.

"Kamu lihat? Dia berani bicara kasar karena kurang didikan darimu!"

"Kamu dong sebagai ayahnya!"

"Tugas kamu ‘kan di rumah! Memastikan bahwa semuanya sesuai aturan!"

Trainee Wala Love | END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang