Bab 41

1.6K 136 29
                                    


"Aku terluka, tapi aku juga yang di anggap penjahatnya." - Pharita

🦋 R U P H A J U N G 🦋

"RURU!" Napas Pharita tercekat habis. Ia benar-benar hampir mati kalau Ruka tidak mau melepaskan cekalan di lehernya. Pharita menepuk tangan Ruka sekuat mungkin.

"Hah!"

Ruka spontan memegangi kedua telinganya yang berdengung sangat hebat. Kalimat-kalimat yang selalu menghantuinya seakan memorak-porandakan pertahanannya yang melemah.

Apa hujatan itu tidak cukup hingga mereka gencar melukainya tanpa belas kasih. Walau sekujur tubuhnya mengeluarkan darah mereka akan tetap menghantamnya hingga luka itu membakar tubuhnya secara tragis.

Pharita terjatuh ke tanah sembari memegangi lehernya yang sakit. Gadis itu berusaha bernapas sebaik mungkin, melihat Ruka menjerit kesakitan seperti itu membuatnya tidak tega. Entah sesakit apa yang Ruka rasakan sampai dia terlihat begitu mengkhawatirkan.

Gadis berdarah Thailand itu tidak berniat menolongnya. Dia sengaja menyakiti Ruka seperti ini. Dia berharap cara ini akan berhasil membawakan jiwa Ruka yang asli, bukan Ruhi ataupun Ruhan.

"Maaf," batin Pharita menjerit.

"Arghh!" Ruka memukul kepalanya, terlihat bayangan hitam memasuki isi kepalanya. Dia kesakitan, kenapa serpihan ingatan itu terasa menyakitkan baginya?

"Kita putus."

"Kamu seorang pembunuh."

"Kamu itu monster!"

"Aku tidak mau bertemu denganmu lagi, enyahlah dari hadapanku!"

"Apa menurutmu aku masih mau bersama seorang monster jahat? Apa jaminan kamu tidak akan membunuhku?"

Kata-kata Pharita yang itu terus menghantam perasaannya. Dia menangis terluka, bagaimana seseorang yang kamu anggap segalanya bisa menghancurkanmu seperti itu?

Ruka menyentuh dadanya yang terasa amat sesak dan sempit. Berusaha melawan sesuatu yang ada dalam dirinya. Ruka menjerit, memukul tanah sebagai lampiasan. Ruka tidak ingin menyakiti Pharita, ia masih sadar.

Pharita mengusap air matanya dengan kasar, kemudian mencoba untuk bangkit. Gadis itu membersihkan tanah yang ada di roknya, tatapan iba Pharita untuk Ruka sempat tersilat di matanya. Namun, ia terpaksa mengabaikan dorongan hatinya.

Pharita pergi begitu saja meninggalkan Ruka.

Sebenarnya tidak benar-benar pergi, ia bersembunyi dari balik pohon besar yang tak jauh dari tempat mereka berdebat tadi. Pharita menangis di sana, tentu dia amat sangat menyesal melakukan semua ini. Dia terpaksa.

Pharita tidak mau persahabatannya hancur, sudah cukup cintanya saja yang hancur. Cinta bisa dicari lagi, tetapi sahabat tidak akan datang dua kali.

Semua orang menyalahkannya. Dia terluka, tapi dia juga adalah penjahatnya. Bukankah itu sangat tidak adil baginya?

Pharita melakukan semua ini hanya untuk membebaskan dirinya atas tuduhan memanfaatkan keadaan Ruka. Meski cinta itu masih ada, Pharita tidak berniat merebut Ruka kembali. Ia masih mencintainya, tetapi sadar tidak akan memilikinya. Lalu untuk apa?

Tubuh gadis itu merosot ke tanah, bersandar putus asa pada batang pohon besar di sana. Sedari tadi bibirnya sesekali mengucapkan kata maaf berharap semua orang yang menyalahkannya bisa memaafkan kesalahan yang tidak ia perbuat. Ia ingin menyalahkan keadaan yang membuat hidupnya serumit ini, sedetik pun ia merasa tidak nyaman.

Sesak, sakit dan pedih.

Semuanya telah menjadi satu. Sesakit itu hingga angan untuk sembuh tak ada lagi. Pharita juga menjerit kesakitan di dalam batinnya.

Trainee Wala Love | END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang