Eye Contact

85 18 2
                                    

"Dinas sampai jam 14.00 WIB kan nduk?"
Tanya dokter Reza padaku yang masih entry data pasien.

"Iya dokter"
Jawabku sambil melihat kearahnya, lalu ke pria yang ada di sampingnya. Pria di samping dokter Reza itu yang tak lain adalah mas Narve langsung membuang muka ke arah lain saat terjadi eye contact denganku, seolah tak ingin melihatku.

"Ikut papa ke OK yuk, ada SC cito"

"Emm, maaf tapi ini belum selesai."

"Lima belas menit lagi selesai kan?"
Tanya dokter Reza padaku, seolah memaksa aku harus ikut dengannya.

"Papa tunggu di ruangan papa ya. Lantai empat."
Katanya sambil tersenyum lalu pergi diikuti mas Narve.

Aku menghembuskan napas kasar saat mereka sudah benar-benar pergi dari hadapanku. Aku rebahkan kepalaku yang terasa berat di meja depan monitor. Semenjijikan itukah diriku sekarang bagi mas Narve? Sehingga dia tak ingin dekat-dekat denganku dan bersikap seolah aku virus yang harus di jauhi.

"Hei"
Bu Nuni mencolekku yang sedang asik berkelana dengan pikiranku sendiri.

"Kamu anaknya dokter Reza? Atau keponakannya?"
Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan bu Nuni.

"Kok beliau bahasain kamu manggil beliau papa?"

"Kamu cerita dong, apa hubunganmu sama bos kita? Feelingku benar kan ternyata, aku dari awal udah curiga dari pertama kali kamu masuk poli tadi pagi. Dokter Reza minta kamu asisteni, padahal dari dulu gak pernah mau di asisteni anak baru, apalagi anak magang."

"Emm..."
Jujur aku bingung mau jawab gimana ke bu Nuni. Karna gak mungkin aku jujur bahwa diriku adalah mantan menantunya.

"Bu ini saya sudah di tunggu dokter Reza. Saya harus ngebut entry data."

"Tinggal jawab kamu apanya aja, jangan bikin saya penasaran."
Duh kepo dan maksa banget ibu yang suka ngegosib ini, batinku.

"Bu sudah, dia ditungguin dokter Reza."
Kali ini kak Feby mencoba menengahi kami.

"Gak bisa aku Feb nunggu lama. Simpan rasa penasaran itu gak enak sama sekali."

"Er.."
Cegahnya saat aku akan pergi dari nurse station.

"Saya pernah magang di klinik istrinya lama bu"

"Oalah, pantes langsung kenal akrap. Tapi kamu kok kaya sungkan dan ingin menjauh gitu?"
Tanyanya lagi padaku.

"Sudah bu, langsung ke lantai empat Er. Ditunggu dokter, jangan sampai telat. Beliau bisa ngomel-ngomel kalau kamu telat."
Kata mba Feby sambil mengibaskan tangannya KPP padaku. Mungkin kak Feby kasian melihatku yang kurang nyaman akan sikap bu Nuni.

"Terimakasih ka"
Ucapku tulus yang di acungi jempol oleh ka Feby.

Aku menuju lantai empat menggunakan lift, setelahnya aku telusuri lantai empat ini mencari ruangan atas nama dokter Reza. Tempat di ujung lorong yang menghadap ke kaca jalanan, aku melihat papan nama yang ada di tembok sebelah pintu bertuliskan 'Dr. dr. Reza Adhitama, Sp.OG (K), Subsp. OBGINSOS (K) FISQua.' Setelah mengetok beberapa kali, pintu terbuka, namun bukan sosok dokter Reza yang keluar, melainkan mas Narve.

Mas Narve menatapku sekilas sebelum dia meninggalkan ruangan sang papa menuju lift. Tidak ada sapaan atau kata basa-basi yang dia ucapkan untukku apalagi senyum yang biasanya dia tunjukan saat bersamaku. Aku tersenyum tipis mengingat perlakuan dia dulu perhadapku yang selalu menganggap aku ada, ternyata... sekarang keadaannya sudah berbeda.

"Masuk sini, sudah makan siang belum?"
Tanya dokter Reza padaku.

"Sudah dokter"
Jawabku berbohong. Mana sempat aku makan siang kalau poli full terus dari pagi, batinku.

"Panggil papa Er, saya ini bapakmu juga. Jangan dokter terus, risih dengarnya kalau kamu yang panggil seperti itu. Masuk dulu, mas Narve masih ambil makanan di bawah."
Katanya padaku sambil membuka pintu rusngan lebar-lebar.

"Kamu gak ingin main ke rumah? Mamamu nyariin kamu terus sampai nangis karna kamu sulit dihubungi. Kita ke rumahmu juga budemu yang sebelah rumah gak tau. Anggapan dia kamu tinggal di rumah kita karna jarang pulang ke sana. Mereka gak kamu ceritain masalahmu sama  Narve Er?"
Tanya dokter Reza sambil sesekali menyeruput kopinya.

"Kalau saran papa sih, kalau bisa dipertahankan ya balik lagi aja. Nikah lagi secara sah di KUA. Perbaiki hubungan kalian, toh sebenarnya masalahnya juga gak ada."

Ucap beliau dengan santai sambil meminum kopinya di kursi sigle berwarna grey tersebut. Sedangkan aku hanya mampu menunduk, tak ingin menjawab pertanyaan apapun yang ditanyakan beliau, bukan maksud tidak sopan terhadap orangtua, tapi masalahnya pikiran di otakku terlalu rumit. Dan mungkin saja mas Narve juga sudah tidak menginginkanku.

"Kamu masih sayang mas Narve gak Er?"

"Emm..."

"Kamu tadi kenapa nangis di lorong OK situ?"
Dokter obgyn itu bertanya lagi saat aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Karna apa?"

"Saya gak nangis... cuma kelilipan"

"Debu macam apa yang masuk mata sampai kamu bisa menangis meraung-raung seperti itu?"
Katanya sambil tertawa mengejekku.


***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang