Flashback On...
Seorang anak perempuan berumur delapan tahun sedang menangis terisak di pinggir jalan tepat di depan sebuah rumah kontrakan sederhana di seberang jalan rumahnya di kawasan Cicadas, Bandung.
Dia terus memegangi lehernya yang terasa begitu sakit dan perih akibat sundutan puntung rokok yang ditekan begitu kuat di kulitnya hingga kulit itu mengalami luka bakar yang cukup serius.
Dia terus menerus menatap ke arah rumah kontrakan di depannya. Berharap penghuni rumah itu keluar dan memberinya pertolongan seperti biasa. Sebab hanya mereka yang bersedia menolongnya dibanding dengan tetangga-tetangganya yang lain. Mungkin mereka bukannya tidak perduli, tapi mereka hanya tak ingin terlibat masalah dengan kedua orang tua bocah perempuan itu, terlebih dengan ayahnya.
"Mimi?" panggil suara seorang bocah laki-laki berseragam SD yang baru turun dari angkutan umum bersama Ibunya. Dia terlihat begitu menikmati es krim coklat di tangannya.
"Ya ampun, Mimi? Kamu kenapa lagi?" ucap suara lembut wanita yang biasa Mimi panggil dengan sebutan Tante Luwi. Wajah Luwi terlihat khawatir.
Wanita cantik itu melepas tangan Mimi yang sedari tadi menutupi lehernya.
"Ya ampun?" pekiknya kaget saat dilihatnya dileher itu terdapat luka bakar yang cukup besar hingga sekitar kulit itu melepuh dan memerah.
"Ayo ikut Tante. Tante obati di rumah." Luwi pun menuntun Mimi dan Gibran anaknya ke dalam rumah kontrakannya yang dia tinggali bersama Kakak laki-lakinya, Reyhan.
"Gibran, langsung copot seragam sekolahmu dan ganti dengan baju biasa. Es krimnya di simpan dulu, nanti kotor kena seragam, Mama mau mengobati luka Mimi dulu," perintah Luwi pada Gibran, putranya yang saat itu berumur sepuluh tahun.
"Oke Mama..." sahut Gibran dari dalam kamar.
Luwi mendudukan Mimi di sofa dan mengambil kotak P3K di dalam laci meja. Tak lupa dia juga mengambil air dingin di kulkas untuk mengompres luka Mimi sebelum dia mengolesinya dengan salep.
"Ayahmu lagi yang melakukannya?" tanya Luwi sambil menatap prihatin ke arah wajah Mimi yang juga dipenuhi dengan luka. Bahkan sebagian wajah Mimi cacat akibat disiram air panas oleh sang Ayah yang tidak berprikemanusiaan itu.
Mimi mengangguk pelan masih dengan deraian air matanya yang terus mengalir tak mau berhenti, sebab dia merasa luka di lehernya semakin sakit dan ngilu saat Luwi menekannya menggunakan kompres air dingin. Mimi terus meringis kesakitan.
"Tahan sedikit ya, lukanya harus di kompres dulu pakai air dingin biar tidak bengkak."
Mimi mengangguk lagi. Dia pun mencoba menggigit bibirnya untuk menahan sakit.
Saat itu Gibran yang sudah selesai berganti pakaian terus memperhatikan luka Mimi dari belakang. Bocah laki-laki itu jadi ikutan meringis saat mendengar Mimi mengaduh kesakitan.
"Mah-Mah..." panggil Gibran seraya menarik kaus Luwi.
"Apa?"
"Papa Gibran nggak kayak Papanya Mimi, kan, Mah?" tanya bocah laki-laki itu dengan wajah lugunya. Sebab sampai detik ini, dia tidak pernah diberitahu siapa sebenarnya Ayah kandungnya, oleh sang ibunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERSEDIA DIMADU (Syarat Kawin Kontrak) - (End)
Romance"Silahkan baca dan tanda tangan di atas materai!" Perintah Gaby pada Gibran, seraya memberikan selembar kertas yang bertuliskan "PERJANJIAN PERNIKAHAN GIBRAN DAN GABY" Gibran membaca isi perjanjian itu dengan seksama. Dimana ada 10 hal yang tertulis...