90. PAGI YANG CERAH

0 0 0
                                    

Aroma masakan terhirup oleh Indra penciuman Gibran yang saat itu telah rapi dengan seragam kantornya.

Lelaki itu menaruh tas kantornya di atas kursi meja makan sebelum dia beranjak menuju dapur.

"Hm, harum banget baunya, masak apa?" Tanya Gibran pada sang istri.

Gaby yang saat itu sedang memasak nasi goreng untuk sarapan terus melanjutkan aktifitasnya seolah tak perduli dengan kehadiran Gibran, bahkan dia juga tak menjawab pertanyaan Gibran.

Gibran mengulum senyum. Dia melangkah semakin dekat ke arah Gaby dan langsung memeluk tubuh mungil istrinya yang masih saja ngambek itu.

Setelah insiden malam pertama mereka yang gagal gegara Gibran yang sudah lebih dulu keluar sebelum pertempuran dimulai, hingga dia berpikir apakah dirinya harus meminum obat kuat, membuat Gaby kehilangan selera untuk kembali melanjutkan permainan mereka.

Lagipula, bagaimana mau dilanjut jika milik Gibran sudah loyo setelah dia mencapai ej4kul4si lebih dulu di atas perut Gaby?

"Nanti malam aku mau ajak kamu jalan-jalan," bisik Gibran lagi. Masih dengan tubuh yang bergelayut manja, memeluk Gaby dari belakang.

Gaby terus melanjutkan kegiatannya sampai nasi goreng buatannya matang. Dia mematikan kompor dan melepaskan lilitan tangan Gibran dipeluknya.

"Nanti malam aku ada janji dengan Kak Sean, jalan-jalan aja sana sendiri!" Ucap Gaby dengan logat dan ekspresi judesnya.

Gaby membawa dua piring berisi nasi goreng ke arah meja makan, tak lupa dia pun menyiapkan air putih hangat untuk Gibran.

"Udahan dong ngambeknya..." Rengek Gibran pada Gaby saat sang istri sudah duduk di meja makan dan mulai menyantap sarapannya. "Kalau gini terus kapan kita bisa punya anak?" Seru Gibran lagi.

Gaby menoleh dengan tatapan sinis. "Siapa juga yang salah? Merusak suasana!" Omel Gaby yang masih kesal dan jengkel pada Gibran.

"Aku nggak merusak suasana, aku kelepasan. Aku juga bingung kenapa aku bisa begitu lemah denganmu padahal..." Gibran menelan kembali kalimat yang hendak dia keluarkan karena sadar itu bukan hal yang pantas untuk dibahas dengan Gaby.

Gaby tahu apa yang hendak Gibran katakan sehingga dia teringat pada sesuatu yang bersangkutan dengan Mirella.

"Hasil tes DNA kandungan Mirella sudah keluar?" Tanya Gaby kemudian.

"Sudah," jawab Gibran mulai menyuap makanannya.

"Apa hasilnya?" Balas Gaby cepat, dia benar-benar penasaran.

"Negatif. Anak itu bukan anakku," jawab Gibran santai. Lelaki itu sangat bersyukur saat dirinya mengetahui bahwa anak di dalam rahim Mirella saat ini bukan darah dagingnya. Setidaknya, dia bisa benar-benar memutus hubungannya dengan Mirella tanpa lagi ada hubungan yang masih terpaut di antara mereka.

"Kasihan," gumam Gaby dengan wajah yang terlihat muram.

"Apa? Kamu bilang apa Gaby?" Tanya Gibran memastikan pendengarannya tidak salah.

Gaby menggeleng cepat, seperti orang terkejut. "Oh, nggak apa-apa kok."

"Kamu kasihan sama Mirella?" Tanya Gibran sedikit tak percaya. Bagaimana bisa Gaby mengasihani wanita yang hampir saja membvnvh dirinya?

"Aku kasihan sama anak itu nanti seumpama dia terlahir ke dunia. Bahkan siapa ayahnya pun tidak ada yang tahu, kan? Dan akan sangat tidak mungkin jika dia harus dirawat oleh Mirella, aku cuma tidak ingin kasus kekerasan pada anak yang dialami Mirella di waktu kecil dialami juga oleh anaknya nanti. Bagaimana pun caranya, harus ada pemutus mata rantai itu, supaya tidak ada korban dikemudian hari akibat anak-anak yang tumbuh dalam trauma masa kecil yang pahit dan mengerikan," jelas Gaby panjang lebar, menyampaikan kegundahan hatinya.

Gibran tersenyum tipis. Dia menggenggam jemari Gaby, tersentuh dengan ucapan sang istri dan hatinya yang begitu mulia.

"Tuhan tidak akan menelantarkan makhluk yang dia kehendaki untuk terlahir ke muka bumi. Kalau memang anak itu harus lahir, dia sudah memiliki takdirnya sendiri, kamu tidak perlu cemas. Sekarang, fokus saja pada dirimu sendiri, bagaimana caranya, supaya kamu bisa cepat hamil," balas Gibran dengan Gaby yang sontak menarik jemarinya dari genggaman tangan Gibran setelah dia mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut Gibran.

"Bagaimana aku bisa hamil kalau suamiku saja sudah ej4kul4si sebelum benar-benar melakukannya denganku?" Timpal Gaby yang langsung memilih untuk beranjak dari meja makan.

"Bagaimana kalau kita coba lagi nanti malam?" Ucap Gibran menguntit langkah istrinya yang saat itu berjalan menuju kamar.

Kemarin, Natasha sahabatnya yang selama ini tinggal di LA baru saja kembali dan Gaby berencana menemui Natasha di kediamannya sekaligus menemui sang kakak.

"Aku tidak mau," jawab Gaby masih dengan wajah cemberut.

"Aku janji hal seperti kemarin tidak akan terulang sayang..." Gibran masih berusaha merayu Gaby.

Gaby menghentikan langkahnya di depan pintu kamar dan menatap Gibran lekat. Dia melirik ke arah jam tangan yang dikenakan sang suami, "Jam berapa sekarang?" Tanyanya kemudian.

Gibran mengecek jam tangannya, "baru jam tujuh," dan kembali menatap Gaby yang kini berdiri di hadapannya tanpa pernah menyangka dengan apa yang dilakukan Gaby setelahnya.

Wanita itu menarik kerah kemeja Gibran, berjinjit dan menarik tengkuk sang suami supaya menunduk untuk kemudian menjalin civman.

Gibran memang terkejut namun dia cepat merespons.

Gaby semakin merekatkan tubuhnya dengan Gibran yang mendorongnya hingga mentok ke pintu.

"Masih ada waktu, kan?" Bisik Gaby melepas pagutan mereka, napasnya mulai naik turun saat g4ir4hnya memuncak.

Gibran mengangguk, "aku nggak akan ke kantor kalau kamu yang memintanya."

Gaby tersenyum lebar dan langsung menerkam lagi bibir Gibran.

Gibran membuka pintu kamar dan membawa Gaby ke tempat tidur.

Hingga setelahnya, apa yang memang seharusnya terjadi di antara mereka sejak lama, terjadi juga.

Permainan panas mereka pagi itu berlangsung hingga matahari naik di ufuk timur, menghangatkan bumi yang basah setelah semalaman tadi diguyur hujan.

Kali ini, bukan hanya membuktikan keperk4s44nnya sebagai seorang lelaki sejati, namun Gibran berhasil membuat Gaby menjerit saat wanita itu berhasil mencapai klim4ks.

Gaby benar-benar dibuat kewalahan oleh Gibran meski diawal permainan mereka, Gaby hampir saja menyerah saking tak kuat menahan sakit.

Usai percintaan penuh g4ir4h itu, Gibran yang kelelahan langsung meminum obatnya. Lelaki itu kembali ke sisi Gaby yang masih nyaman tertidur di balik selimut yang membungkus tubuhnya.

"Kamu beneran nggak jadi ke kantor?" Tanya Gaby saat Gibran memeluknya di balik selimut.

"Gara-gara kamu, aku jadi males ke kantor."

Gaby tertawa. "Tapi kamu hebat," bisiknya di balik dada Gibran.

"Mau lagi?" Tanya Gibran yang jadi tertantang mendengar pujian itu.

"Nggak mau, masih sakit tahu!" Gaby langsung cemberut.

Kali ini Gibran yang tertawa. "Sakit kok mendes4h," ejeknya seraya menggigit leher Gaby.

"Gibraaannn..." Pekik Gaby kegelian.

Gibran bangkit dan menutup tubuh mereka hingga terbenam sepenuhnya di balik selimut.

Hingga setelahnya, suara tawa mereka lah yang terus terdengar.

Pagi itu memang cerah, secerah keharmonisan biduk rumah tangga yang mulai dibina kembali oleh Gaby dan Gibran.

Berharap, semua hal buruk menyingkir dari kehidupan mereka untuk selamanya.

THE END...

*****

YANG SUKA SAMA CERITANYA MONGGO DI KOMEN YA...

SEMOGA TERHIBUR 😍🙏❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BERSEDIA DIMADU (Syarat Kawin Kontrak) - (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang