16. PISAH KAMAR

4 0 0
                                    

"Gue Mirella, salah satu penyanyi di Kafe ini. PUAS?" jawab Mirella tegas. Tatapannya menantang ke arah Gibran.

Gibran melepas cengkramannya. Kedua bahunya merosot. "Bukan itu yang gue mau denger! Gue yakin lo Mimi. Tanda luka di leher lo nggak bisa bohongin gue walau wajah lo sekarang udah berubah! Kenapa sih, lo nggak mau mengakui hal itu?" cecar Gibran frustasi.

Mirella tidak menjawab, tapi dia malah berdiri hendak pergi, meski tangan Gibran lebih cekatan dan kembali mendorong tubuh Mirella hingga terdesak ke dinding toilet. Gibran meluruskan kedua tangannya dengan menumpukan telapak tangannya ke dinding. Mengunci tubuh Mirella di sana hingga jarak tubuh mereka saat ini sangat dekat. Bahkan hampir menyatu satu sama lain.

"Kalau lo seperti ini terus, justru lo semakin buat gue yakin kalau lo itu emang Mimi!" ucap Gibran dengan deru nafasnya yang berhembus menerpa wajah Mirella, saking dekatnya wajah mereka saat ini.

"Gue bukan Mimi! Gue Ella! Lo itu kenapa sih? Ngotot banget jadi orang! Minggir, gue mau keluar!" tegas Mirella tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Gibran.

Bola mata Gibran terus bergerak meneliti setiap jengkal wajah Mirella. Kedekatan mereka saat ini membuat Gibran sendiri tidak mengerti dengan perasaan yang melanda dirinya tanpa ampun. Perasaan dimana dia seperti ingin terus mempertahankan posisinya lebih dekat lagi, dengan Mirella.

Dan perasaan ini belum pernah dia rasakan sebelumnya, bahkan dengan mantan-mantan pacarnya sekali pun.

Gibran merasa dirinya seolah terpanggil untuk melindungi Mirella lebih dari apapun. Sebab cairan bening yang kini menumpuk di pelupuk mata wanita di hadapannya itu cukup membuat Gibran mengerti, bahwa Mirella tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.

"Tolong biarin gue pergi! Gue mohon sama lo! Jauhin gue! Jauhin gue!" mohon Mirella dengan suaranya yang terdengar lirih. Keintimannya dengan Gibran membuat Mirella menyerah untuk tetap bersikap kasar pada Gibran.

"Nggak! Gue nggak akan ngelepasin lo sebelum lo kasih tau gue siapa lo sebenernya?" tegas Gibran lagi. Dia yakin, seyakin-yakinnya, bahwa wanita di hadapannya saat ini adalah Mimi.

Miminya yang hilang.

"Kenapa sih, Ib? Lo itu batu banget jadi orang? Gue harus bilang berapa kali kalau gue bukan Mimi? Gue Mirella! Gue nggak kenal sama lo dan nggak tahu menahu soal Mimi! Jadi sekarang gue mau lo pergi jauh-jauh! Jangan ganggu gue lagi, kalau lo nggak mau hidup lo bermasalah! PAHAM LO?"

Mirella menerobos pertahanan Gibran setelah meluapkan seluruh kekalutan dalam benaknya. Dia hanya ingin Gibran pergi dan tidak mengejarnya lagi, apalagi berani mendekatinya. Mirella hanya ingin Gibran mengerti dan kembali menjalani hari-harinya seperti semula tanpa harus melibatkan diri lebih jauh apalagi masuk ke dalam kehidupan pribadinya.

Saat itu, Gibran tidak mengejar.

Lelaki itu hanya diam dalam posisinya dengan tatapan yang tak lepas dari sosok Mirella yang berjalan cepat keluar, meninggalkannya di toilet.

Panggilan 'Ib' yang disebut oleh Mirella tadi membuat Gibran kehilangan fokusnya untuk tetap mempertahankan Mirella.

Gibran terperangah hebat saat Mirella menyebut namanya dengan panggilan 'Ib'.

Sebab Gibran tahu, hanya Mimi lah orang yang selalu memanggilnya dengan awalan, 'Ib'!

*****

Gibran pulang ke rumah dengan wajah kusut.

Setelah memarkirkan Lamborghini nya di garasi, Gibran masuk ke dalam rumahnya.

Kedatangannya disambut oleh Mbok Sumi, pembantu yang selama ini dipercaya keluarganya untuk mengurus rumah peninggalan Kakek dan Nenek Gibran di Raffles.

Rumah ini dulu pernah ditempati oleh sang Papa, Hardin dengan istri pertamanya, tapi tidak lama, sebab setelah mereka bercerai dan sang Papa menikahi almarhumah Ibunya, kedua orang tua Gibran memilih tinggal di Bandung.

Dan sejak itulah rumah ini kosong.

"Den Gibran, mau makan? Biar Mbok siapkan," ucap Mbok Sumi saat itu.

"Nggak usah Mbok, saya nggak laper. Saya mau langsung istirahat aja. Besok pagi-pagi saya ada urusan," jelas Gibran.

Mbok Sumi cuma manggut-manggut, sementara Gibran langsung berlalu menuju kamarnya di lantai dua.

Saat Gibran memasuki kamar, dia tidak menemukan Gaby di sana. Bahkan ketika Gibran mencarinya ke taman belakang, ke area kolam renang dan dapur, Gaby juga tidak ada. Gibran pun menghampiri Mbok Sumi dan menanyakan keberadaan Gaby.

"Nah itu dia yang saya mau bicarakan sama Den Gibran tadi. Cuma saya takut, Den. Takut Non Gaby marah," jawab Mbok Sumi serba salah.

"Mbok jangan takut sama dia, yang gaji Mbok di sini itu saya, bukan dia. Memangnya ada apa?" tanya Gibran penasaran.

"Tadi, pas saya bantuin bawa barang-barang Non Gaby ke kamarnya Den Gibran, Non Gaby malah nyuruh saya untuk membawa barang-barangnya ke kamar sebelah," beritahu Mbok Sumi saat itu.

Gibran berdecak jengkel.

Belum apa-apa Gaby udah bikin masalah!

Keluhnya dalam hati.

"Non Gaby bilang, dia nggak mau tidur satu kamar sama Den Gibran," tambah Mbok Sumi hati-hati. Dia takut salah bicara. Meski dalam hati dia jadi bingung sendiri.

Bukankah majikannya itu baru saja menikah?

Dimana-mana yang namanya pengantin baru itu pasti sedang mesra-mesranya. Tapi ini kok malah tidur di kamar yang terpisah?

Kan aneh?

Pikir Mbok Sumi saat itu.

"Ya sudah, terima kasih ya Mbok. Saya minta tolong sama Mbok, jangan bilang apa-apa tentang masalah ini ke Papa ya? Saya sama Gaby cuma bertengkar biasa aja, nanti kalau kami udah baikan, Gaby pasti pindah ke kamar saya," jelas Gibran panjang lebar.

Dia terpaksa bicara begitu karena dia tahu betul bagaimana hubungan antara Mbok Sumi dengan keluarganya selama ini.

Gibran pamit pada Mbok Sumi untuk mendatangi Gaby ke kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya.

Kebetulan pintu kamar itu tidak di kunci, tanpa mengetuk dulu, Gibran pun langsung masuk ke dalam kamar itu.

Dilihatnya Gaby sedang tertidur pulas di ranjang.

"Bangun!" Gibran mengguncang bahu Gaby.

Gaby tidak bereaksi. Mungkin karena kelelahan setelah perjalanan jauh, Gaby jadi tertidur dengan sangat nyenyak.

"Heh! Bangun!" Gibran mengguncang kasar bahu Gaby supaya perempuan itu bangun.

Dan usahanya kali ini berhasil.

Kedua kelopak mata Gaby perlahan terbuka. Memicing sesaat begitu sorot lampu kamar yang sebelumnya dia matikan mendadak terang benderang.

"Apaan sih?" ucap Gaby dengan nada jutek seperti biasa. Dia mengucek kedua matanya seraya bangkit dari tidur dan duduk menyandar di tempat tidur. Gaby menguap lebar tapi tetap terlihat cantik karena dia menutup mulutnya dengan satu tangan.

Keadaan Gaby yang terlihat sederhana dengan balutan piyama tidur dan wajah yang no make up selalu sukses membuat Gibran salah tingkah.

Sebab di mata Gibran, Gaby terlihat seribu kali lebih cantik saat penampilannya seperti ini.

Natural dan sederhana.

"Kenapa lo tidur di sini?" tanya Gibran kemudian.

Dari nada bicaranya, lelaki itu jelas menunjukkan bahwa dirinya sedang marah.

*****

JANGAN LUPA RAMAIKAN DENGAN KOMENTAR KALIAN YA 🙏❤️🥰

BERSEDIA DIMADU (Syarat Kawin Kontrak) - (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang