19. MASAK DI RUMAH MERTUA

1 0 0
                                    

Hari itu, Gibran dan Gaby berangkat ke Bandung bersama.

Kebisuan meraja di sepanjang perjalanan mereka menuju Bandung. Hanya suara musik yang terdengar mengalun dari audio sistem di dalam mobil yang memecah kesunyian di antara Gibran dan Gaby saat itu.

Sebelum pergi ke kediaman Om dan Tante Gibran untuk menjenguk sepupu Gibran yang bernama, Rayyan, Gibran memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke makam Luwi, sang Ibunda tercintanya.

Sebuah buket bunga tulip yang tergeletak di atas pusara sang Ibunda jelas menarik perhatian Gibran saat itu.

Bunga itu tampak masih segar dan sangat wangi. Itu artinya, sebelum kedatangannya ke sini, pasti ada anggota keluarganya yang lain yang menengok makam Luwi dan menaruh buket bunga Tulip yang memang merupakan bunga kesukaan mendiang Ibunya semasa beliau hidup.

Melalui bunga inilah, dulu Tuhan pada akhirnya mempertemukan Gibran dengan Ayah kandungnya sendiri yang selalu dia cari-cari keberadaannya.

Pasti Papa yang telah menaruh bunga tulip ini di sini...

Pikir Gibran saat itu.

Hingga pada saat malam hari tiba, tepatnya ketika Gibran mengkonfirmasi mengenai keberadaan bunga tulip itu pada sang Papa dan anggota keluarganya yang lain, anehnya tak ada satu pun anggota keluarganya yang mengakui bahwa bunga tulip di makam Ibunda adalah pemberian mereka.

"Terakhir Papa ziarah ke makam ibumu, itu sudah dua minggu lewat, Gibran."

Itulah ucapan sang Papa yang juga diikuti dengan jawaban-jawaban lain dari keluarganya yang memang tidak tahu menahu tentang keberadaan bunga tulip itu.

Hal ini jelas menjadi tanda tanya besar dalam benak Gibran.

Jika memang bukan anggota keluarganya yang menaruh bunga tulip itu di makam sang Ibunda, lantas siapa?

Pikir Gibran membatin.

Dia benar-benar bingung.

*****

Malam ini, Gibran dan Gaby terpaksa menginap di Bandung, di kediaman orang tua Gibran karena ulah Dinzia.

Dinzia yang menahan kepulangan Gibran saat itu dengan alasan remaja itu sangat merindukan sosok Kakak lelaki satu-satunya itu.

Sementara Gibran sendiri memang paling tidak bisa menolak permintaan Dinzia, adik kesayangannya.

Malam itu Dinzia menangis dipelukan Gibran.

Akibat percakapan di meja makan tadi yang membahas tentang Luwi, Dinzia jadi terbawa suasana. Mendadak dia rindu Luwi. Almarhumah ibunya...

"Zia kangen Mama, Kak..." bisik Zia dipelukan Gibran.

Saat itu mereka sedang bercakap di tepi kolam renang. Mereka duduk dengan kaki yang terjuntai ke dalam kolam.

Cahaya rembulan yang terang terpantul dari air yang beriak karena sentuhan kaki Gibran dan Dinzia yang terbenam di dalamnya.

Gibran menyeka air mata sang adik.

"Kakak juga kangen banget sama Mama. Dulu itu sewaktu Kakak kecil, sewaktu Kakak masih tinggal di London sama Mama, setiap malam Mama pasti selalu meninak bobokan Kakak dipelukannya sambil bernyanyi. Suara Mama itu bagus kalau sedang bernyanyi. Merdu banget, kalah Diva Indonesia," celoteh Gibran mencoba menghibur Dinzia.

Saat Luwi meninggal, Dinzia masih terlalu kecil untuk mengingat memori-memori indah kebersamaannya dulu dengan sang Ibunda.

"Seandainya Mamahl masih ada Kak..." gumam Dinzia yang kembali menangis.

BERSEDIA DIMADU (Syarat Kawin Kontrak) - (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang