21. PERTENGKARAN

1 0 0
                                    

Sesampainya di rumah, hari sudah larut.

Gibran sangat lelah.

Berkendara jarak jauh pulang pergi dalam satu hari cukup menguras energinya.

Tapi satu hal yang ada di dalam benak seorang Gibran saat itu adalah tentang bagaimana dia meluapkan kemarahannya pada Gaby.

Gibran benar-benar tidak terima, Gaby memperlakukannya seperti ini.

BRAK!!!

Gaby terperanjat hebat saat pintu kamarnya di buka tanpa permisi oleh Gibran.

Dia buru-buru menyudahi teleponnya dengan seorang lelaki yang tadi mengantarnya pulang.

"Lo kenapa sih? Kebiasaan masuk kamar orang seenaknya, nggak ketuk pintu dulu!" maki Gaby sewot.

Gertakan kedua rahang Gibran semakin mengeras. Tatapan lelaki itu setajam belati dengan wajah sinis yang tampak mengerikan. Gibran terus berusaha menekan amarahnya dalam kepalan kedua tangannya, namun, semua itu sia-sia, karena emosinya kali ini terhadap Gaby, tak mampu lagi dia kendalikan.

"Lo pulang sama siapa?" tanya Gibran dengan suara yang terdengar datar, tapi penuh penekanan.

"Sama Dewa," jawab Gaby acuh, bahkan tanpa menatap Gibran dan memilih sibuk dengan ponselnya.

Entah siapa laki-laki bernama Dewa itu, Gibran sendiri tidak tahu dan tak berniat ingin tahu.

Merasa tak dihargai, Gibran meraih ponsel di tangan Gaby dan membantingnya ke lantai.

Gaby terbelalak melihat ponsel mahalnya retak di bagian layar akibat ulah Gibran, hingga menyebabkan mati total. Wanita itu langsung bangkit dan berdiri di hadapan Gibran.

"LO APA-APAAN SIH?" Bentak Gaby murka, usai dirinya mengambil ponsel miliknya di lantai. Sesekali tatapannya mengarah kembali ke arah ponselnya yang rusak. Gaby benar-benar tidak terima.

"Harusnya gue yang tanya, apa maksud lo ngerjain gue hari ini? Jelas-jelas lo suruh gue jemput lo ke Puncak, tapi begitu gue sampai di sana, lo udah nggak ada, dan dengan santainya sekarang lo bilang kalau lo pulang sama laki-laki yang namanya Dewa! Asal lo tau ya Gab, gue nungguin lo berjam-jam di sana, gue takut lo kenapa-napa! Nyatanya lo malah santai-santai di rumah!" cecar Gibran penuh emosi.

Dua manusia itu berdiri saling berkacak pinggang dan menatap tajam satu sama lain.

"Lo pikir gue nggak bosen diem sendirian di sana? Gue udah terjebak di sana selama dua jam dan beruntung ada cowok baik yang mau anterin gue pulang. Bagus, kan?"

"Terus kenapa lo nggak ngehubungin gue lebih awal? Kalau emang ponsel lo lowbet, lo kan bisa pinjem ponsel si Dewa itu! Kalau lo nunggu dua jam, gue nunggu empat jam di sana, Gaby! Dan lo baru suruh Mbok Sumi hubungin gue sementara lo udah sampai rumah berjam-jam, lo udah makan, mandi bahkan Mbok Sumi bilang lo sempet pergi ke minimarket! Br*ngs*k!" maki Gibran lagi.

"Ya Sorry, gue pikir lo nggak jadi jemput gue. Mana gue tau kalau ternyata lo jemput!" balas Gaby dengan nada lebih rendah. Merasa bersalah, Gaby mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia bersidekap menatap ke arah pintu kamarnya.

"Harusnya lo paham, lo pikir pake otak lo," Gibran menunjuk kening Gaby dengan jari telunjuknya meski langsung ditepis oleh Gaby. "Gue bukan tipe lelaki yang suka menjilat ludah sendiri! Kalau gue bilang mau jemput ya pasti gue jemput! Seenggaknya gue masih punya hati nurani sebagai seorang manusia dan nggak mau lo sampai kenapa-napa!"

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Lo niat nyindir gue pake bawa-bawa hati nurani segala?" balas Gaby yang berbalik tidak terima.

Gibran tertawa kecut. "Oh, jadi lo merasa tersindir? Bagus kalau lo merasa tersindir, itu artinya lo masih punya sisi kemanusiaan dalam diri lo, ya walau mungkin cuma seujung jari kuku."

"Apa lo bilang? Heh! Lo ngaca dulu kalo mau ngomong!" tandas Gaby dengan mata melotot.

Cek cok mulut itu terdengar semakin seru dan panas hingga memancing kekepoan para pekerja di kediaman Gibran.

"Ada apaan sih Mbok? Kok ribut-ribut di atas?" tanya Pak Catra si tukang kebun pada Mbok Sumi.

Mbok Sumi mengedikkan bahu. "Nggak tahu masalahnya apa, tapi kayaknya Den Gibran marah banget sama Non Gaby, Pak," jawab wanita paruh baya itu.

"Lo nggak inget apa, hari di mana terakhir kali kita ke Bandung? Waktu adik lo yang namanya Dinzia itu ngerjain gue di dapur dan buat gue malu di depan orang tua lo! Dan lo sebagai seorang suami emang belain gue? Lo malah ikutan ketawain gue kan sama adik lo itu? Lo pikir gue ini badut percobaan apa? Lo pikir gue bego nggak tau kalau sebenernya lo itu emang udah sekongkol sama Zia buat ngerjain gue!" tambah Gaby lagi. Suaranya semakin meninggi.

Gibran hendak bicara, tapi rasa nyeri di d4d4nya yang tiba-tiba menyerang, membuat Gibran mau tak mau harus menyudahi pertengkarannya dengan Gaby.

Gibran tak mau terlihat lemah di hadapan Gaby untuk yang kedua kali.

Laki-laki itu keluar tanpa berkata-kata.

Dia berjalan tertatih sambil sesekali memegangi d4d4nya menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah untuk mencari obatnya.

Pandangannya mulai sedikit kabur. Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Intensitas nyeri itu semakin bertambah. Bahkan warna bibir lelaki itu kian memutih. Napasnya mulai terputus-putus.

Gibran harus lekas menemukan obatnya.

Sepertinya ini efek akibat dia lelah menyetir seharian ini, ditambah memendam amarah yang teramat sangat pada Gaby.

Gibran masih terus mencari dimana terakhir dia menaruh obat miliknya di saat Mbok Sumi datang dan membantu Gibran mencarikan obat itu.

Mbok Sumi kelihatan sangat khawatir terhadap kondisi Gibran.

Begitu obatnya ditemukan, Mbok Sumi lekas mengambilkan air bening hangat supaya Gibran bisa lebih mudah menelan obatnya.

"Ayo, saya bantu masuk ke kamar, Den," ajak Mbok Sumi. "Lebih baik Den Gibran istirahat dulu sekarang," tambah perempuan paruh baya itu lagi.

"Nggak usah Mbok, saya bisa sendiri. Saya sudah baikan," Gibran menolak saat Mbok Sumi hendak memapahnya berjalan.

Rasa nyeri di d4d4nya itu belum sepenuhnya hilang, tapi Gibran tetap memaksakan diri untuk berjalan menuju kamar.

Dia memang butuh istirahat.

Di tengah tangga, Gibran berpapasan dengan Gaby yang terlihat sudah rapi.

Gibran hanya berjalan menunduk. Sebab akan sangat memalukan baginya jika Gaby harus melihat ketidakberdayaannya saat ini.

"Gue mau keluar! Gue perlu beli Hp baru!" ucap Gaby saat dia berjalan melewati Gibran.

Lelaki itu tak menyahut dan terus memalingkan wajahnya menghindari Gaby.

Di bawah tangga, Gaby kembali berbalik menatap ke arah Gibran di atas sana.

Tahu dirinya sudah diacuhkan, amarah Gaby pada Gibran semakin menjadi-jadi.

Liatin aja Gib, gue nggak akan pulang sampe lo ngemis maaf ke gue!

Ucapnya membatin.

*****

NAH KAN, MEREKA JADI BERTENGKAR HEBAT.

AUTHOR MAU TANYA, KIRA-KIRA TIM GIBRAN SAMA GABY DAN TIM GIBRAN SAMA MIRELLA BANYAKAN MANA YA?

KOMEN 🥰🙏❤️

BERSEDIA DIMADU (Syarat Kawin Kontrak) - (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang