Hari ini Gaby sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Keadaan Gaby sudah dinyatakan pulih dan mampu melakukan aktifitas normal meski masih harus perlu melalukan check up kesehatan setidaknya dua kali dalam sebulan ke depan.
Gibran dan beberapa pihak keluarga ikut mengantar kepulangan Gaby hari itu.
Keluarga bahkan mempersiapkan penyambutan di kediaman baru yang akan dihuni Gaby dan Gibran.
Gibran sengaja membeli rumah baru untuk dirinya dan Gaby karena dia tidak ingin Gaby teringat akan kejadian mengerikan yang pernah istrinya itu alami di kediaman lama mereka.
Walau ukurannya tidak sebesar kediaman lama Gibran, namun Gaby menyukai rumah baru itu.
Sebuah rumah minimalis dua lantai yang di dominasi oleh kayu jati yang tiap-tiap ruangannya tidak terlalu besar.
"Bagaimana rumahnya? Kamu suka?" Tanya Gibran saat mengantar Gaby ke dalam kamar yang memang Gibran persiapkan khusus untuk Gaby. Saat itu, semua keluarga sudah pulang dan kini tinggalah Gaby dan Gibran saja di rumah itu.
"Ya, aku suka. Suka banget," ucap Gaby sumringah. Dia menatap ke bawah jendela kaca di dalam kamar itu. Sebuah taman asri dengan bunga berwarna-warni tampak indah dalam pandangannya.
Gibran mengulum bibir, dia mendekat ke arah jendela di mana Gaby berdiri. Lelaki itu melingkarkan kedua tangannya di perut Gaby dan membuat Gaby sedikit tersentak, kaget.
"Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, hanya kita berdua... Maafkan aku Gaby..." Bisik Gibran dengan kepalanya yang bertumpu di tengkuk Gaby.
Gaby menelan salivanya dengan berat. Sebuah rasa yang membuncah di dadanya membuatnya gugup bukan main. Tubuh Gaby merinding disertai sengatan-sengatan aneh yang tiba-tiba saja menyerbu ke sekujur tubuhnya.
Bahkan setelah hampir setengah tahun mereka menikah, ini kali pertama mereka terlibat dalam keadaan seintim ini.
"Ini permintaan maafmu yang ke sembilan puluh sembilan, satu kali lagi kamu meminta maaf, aku akan beri kamu hadiah," ucap Gaby dengan candaannya. Berusaha mengusir kegugupan yang kian merundung diri tanpa ampun.
"Apa hadiahnya?" Tanya Gibran sok manja.
"Hadiahnya piring."
Gibran dan Gaby tertawa bersamaan. Mereka kembali berpelukan.
"Surat perjanjian itu sudah tidak berlaku, kan?" Tanya Gibran kemudian, sekedar memastikan bahwa kini hubungan mereka sudah tidak dilandasi perjanjian apapun alias hubungan pernikahan yang sesungguhnya. Sewajarnya.
Gaby berbalik dan menatap Gibran lekat. "Aku sudah merobeknya, membuangnya dan membakarnya."
Lagi-lagi sebuah senyuman terukir di wajah tampan Gibran. "Kalau begitu, kita tidak perlu tidur terpisah lagi malam ini?"
Gaby tertegun sejenak, entah kenapa otaknya mendadak kosong. "Ng, masalah itu, kita bicarakan nanti saja ya," ucap Gaby buru-buru. Saking salah tingkah Gaby malah mendorong Gibran keluar dari kamarnya.
"Loh, Gab?" Gibran jadi garuk-garuk kepala. Dia hendak membuka kembali pintu kamar Gaby yang sudah ditutup oleh si empunya kamar. Sayangnya, Gaby sudah lebih dulu menguncinya.
"Aku mau istirahat dulu. Nanti malam, kamu kan janji mau ajak aku jalan-jalan?" teriak Gaby dari dalam. Gaby terus memegangi jantungnya yang berdetak keras dan cepat. Seperti kembang api yang menyala-nyala di udara.
"Oke, met istirahat ya..." Jawab Gibran dari luar.
Lelaki itu hendak beranjak ke dalam kamarnya ketika ponsel di saku celananya tiba-tiba berdering.
Ternyata, itu ponsel Gaby yang tadi memang dititipkan Gaby sewaktu mereka sedang berbincang dengan keluarga di meja makan.
Gibran mendapati sebuah nama tercantum di layar ponsel itu.
Steve Calling...
Steve?
Gibran berdecak.
Mau apalagi dia?
Dasar lelaki tidak tahu malu, masih saja mengganggu istri orang!
Saking kesal, tanpa meriject panggilan itu, Gibran langsung menonaktifkan ponsel Gaby dan menyimpannya di lemari kamar.
*****
Malam ini, untuk pertama kalinya Gaby bisa kembali menikmati dunia luar setelah hampir dua bulan lamanya dia terkurung di rumah sakit untuk menjalani proses pemulihan atas luka-luka berat yang dialaminya.
Seperti janjinya tadi pagi saat mereka masih di rumah sakit, malam ini Gibran akan menuruti semua keinginan Gaby.
Setelah puas berkeliling mall dan berbelanja begitu banyak barang-barang branded, Gaby mengajak Gibran ke sebuah restoran Korea yang terdapat di dalam mall yang mereka kunjungi.
"Kenapa kita nggak makan di luar aja sih? Di sini terlalu ramai, Gab," ajak Gibran saat mendapati keadaan resto yang penuh oleh lautan manusia. Maklum, ini malam Minggu, itulah sebabnya mall elit pasti ramai. "Tuh liat penuh gitu, mau duduk di mana?" Tambahnya lagi.
"Tenang, temenku udah booking tempat kok buat kita. Ayo," Gaby menggamit lengan Gibran dan mengajak sang suami masuk.
Ogah-ogahan terpaksa Gibran menurut juga.
"Kamu janjian sama Eren? Apa Loli?" Tanya Gibran saat dilihatnya Gaby yang masih celingukan seolah mencari-cari sesuatu tapi tidak juga dia temukan. Hingga setelahnya, Gaby mengesah dan beranjak ke meja kasir.
"Mba, meja atas nama Sean Andreas, di mana ya?" Tanya Gaby saat itu pada kasir resto.
Sang kasir tampak berteriak memanggil rekannya yang bertugas di luar.
Seorang karyawati Resto yang saat itu bertugas untuk menyambut pengunjung yang datang pun langsung mengajak Gaby ke tempat yang di maksud.
"Ini meja yang sudah di pesan oleh Tuan Sean," ucap sang resepsionis. "Tadi Tuan Sean sedang izin keluar katanya ada perlu, jadi nona Gaby dipersilahkan untuk menunggu," beritahu sang resepsionis lagi.
Saat Gaby dan Gibran hendak duduk, sang Resepsionis kembali berkata, "hm... Maaf, Tuan ini siapa?" Tanyanya pada Gibran.
"Saya Gibran, suami Gaby," jawab Gibran cepat meski merasa aneh. Lelaki itu mengurungkan niatnya untuk duduk.
"Oh begitu, tapi maaf Tuan, tadi Tuan Sean bilang dia memesan kursi hanya untuk dua orang, atas nama Nona Gaby dan Tuan Sean sendiri."
Gibran berdecak kesal. Apa maksudnya?
"Saya suami Gaby, dan saya mau makan malam bersama istri saya di sini," tegas Gibran tidak terima.
Bangku yang ada di tempat yang telah di booking oleh lelaki bernama Sean yang entah itu siapa memang hanya ada dua. Lokasinya sangat strategis karena dekat dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan indah di luar.
Musik endless love yang mengalun merdu serta pencahayaan resto yang redup temaram, sukses memunculkan kesan romantis di sana. Lilin-lilin hias yang tertata rapi di atas meja pun menambah keadaan semakin sempurna.
Awalnya Gibran berpikir, Gaby hendak memberinya surprise dengan memesan meja makan malam untuk mereka berdua, meski kini dugaannya itu ternyata salah besar.
Gibran masih terus berdebat dengan sang resepsionis ketika seorang lelaki berjas rapi datang dengan membawa sebuket bunga mawar merah di tangannya.
Senyum lelaki itu mengembang tatkala tatapannya beradu dengan tatapan Gaby.
"Gaby?"
"Steve?"
Keduanya saling berpelukan dan lelaki yang di panggil Steve oleh Gaby itu dengan leluasanya mencium pipi kanan dan pipi kiri Gaby secara bergantian, di hadapan Gibran.
*****
GIMANA PERASAAN KALIAN BACA BAB INI GUYS?
AKHIRNYA SEAN KEMBALI YA GUYS...
PENASARAN SAMA REAKSI GIBRAN?
KOMEN DULU 🤣🤣🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
BERSEDIA DIMADU (Syarat Kawin Kontrak) - (End)
Romance"Silahkan baca dan tanda tangan di atas materai!" Perintah Gaby pada Gibran, seraya memberikan selembar kertas yang bertuliskan "PERJANJIAN PERNIKAHAN GIBRAN DAN GABY" Gibran membaca isi perjanjian itu dengan seksama. Dimana ada 10 hal yang tertulis...