Setelah rehat selama kurang lebih 2 minggu, akhirnya Razka sudah di perbolehkan pulang ke rumah. Rasa senang nya tidak terhingga sampai dia melompat lompat ke tempat parkiran.
Hari ini ia di jemput langsung oleh Mahesa yang tumben tumben nya datang kesini.
"Bang Ivan gak ikut yah? Besok kita jadi ke desa kan? Ke rumah nenek? " Tanya Razka bersemangat.
Mahesa tersenyum tipis. "Semoga besok bisa ke rumah nenek ya dek. " Ucap Mahesa sedikit sendu.
Razka yang awalnya bersemangat kini terlihat sedikit kecewa. Kenapa lagi ini???
Mahesa menatap anaknya sebentar lalu kembali fokus ke depan. "Gak ada apa apa kok, bang Ivan cuma demam. Gak lebih. "
"Tapi kan yah, kadang kalo demam aja buat bang Ivan bisa jadi serius. "
Mahesa menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Razka dengan lembut. "Ayah tahu, makanya kita doainn saja biar Bang Ivan cepat sembuh, ya. Besok kalau dia udah mendingan, pasti dia ikut ke rumah nenek."
Razka mengangguk pelan, tapi matanya masih dipenuhi kekhawatiran. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan diri untuk tidak terlalu banyak bertanya. Namun, dalam hatinya, rasa cemas itu terus tumbuh.
Setibanya di rumah, Razka langsung berlari masuk. Ia ingin memastikan keadaan kakaknya. Tapi langkahnya terhenti di pintu kamar Kaivan. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Yohan sedang duduk di tepi tempat tidur, memegang tangan Kaivan.
"Bang, loh kok ada bang Yohan? Ada apa sih?" tanya Razka dengan nada cemas, mendorong pintu lebih lebar.
Yohan menoleh, tersenyum kecil meski wajahnya tampak lelah.
"Enggak apa-apa, Ivan cuma kecapekan aja, dek. Baru tadi siang dokter datang. Dia udah minum obat kok, jadi tenang ya."
"Tapi kok bang Ivan nggak bangun? Biasanya dia senyum dulu kalau aku pulang." Razka mendekat, menggoyangkan sedikit lengan Kaivan yang terkulai lemah di atas selimut.
"Bang Ivan, bangun dong... aku udah di rumah nih,"
Kaivan membuka matanya perlahan, tersenyum tipis meski jelas terlihat betapa lemahnya ia.
"Razka... pulang ya? Maaf, Bang Ivan nggak bisa jemput tadi."Razka menggeleng cepat, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Gak apa-apa, Bang. Besok Bang Ivan janji ikut ke rumah nenek, kan?"
Kaivan menatapnya lama, lalu melirik Yohan seolah meminta bantuan untuk menjawab. Yohan akhirnya berbicara, "Razka, nanti kita liat dulu ya gimana keadaan Bang Ivan besok pagi."
"Jadi Bang Ivan gak janji?" Suara Razka mulai bergetar.
Kaivan tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya dengan susah payah untuk menyentuh kepala Razka. "Abang janji... kalau bisa, abang pasti ikut. Tapi kalau enggak bisa... Razka harus tetap seneng di rumah nenek, ya? Nanti kasih salam buat nenek dari abang."
Razka terdiam, menunduk dengan ekspresi penuh kekecewaan. Namun, ia tidak ingin membuat kakaknya merasa bersalah. Ia mengangguk pelan, lalu berkata dengan nada melembut.
"Oke, Bang. Aku janji bakal senang, tapi Bang Ivan juga harus janji cepet sembuh ya."
"Deal," jawab Kaivan lemah, mengangkat jari kelingkingnya.
Razka menyambut dengan antusias, menggenggam jari kelingking kakaknya dengan erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan. Dalam hati, ia bertekad untuk mencari cara agar besok semua berjalan seperti harapannya.
Malam itu, Razka tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan keadaan Kaivan. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap keluar jendela yang gelap. Pikiran tentang besok memenuhi kepalanya. Ia sangat ingin pergi ke rumah nenek bersama Kaivan, seperti yang mereka rencanakan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Raka Not Razka
Teen FictionRaka Sahasya, laki laki yang hidupnya tidak pernah bahagia bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang yang tulus itu meninggal dunia usai menyelamatkan seorang siswa yang terjatuh di jalan raya. Namun bukannya di berangkatkan ke surga, ia malah di...