Matahari di luar semakin tinggi, burung-burung mulai berhenti menyanyi dan udara perlahan mulai menghangat. Angel terus menatapi ayahnya yang masih bersiap mengenakan kemeja berwarna putih, dasi dan dibalut dengan sebuah jas berwarna hitam. Sepatu berwarna hitam berkilau sudah disiapkan untuk ayahnya terlihat di samping tempat tidur. Ayahnya kembali berkutat dengan ponselnya dengan ekspresi wajah khawatir atau gugup atau disebut apa, Angel tidak mengerti.
"Angel, kemarilah! Aku akan meriasmu." Ucap seorang wanita berambut blonde yang memasuki ruangan dengan membawa sebuah tas. Wanita itu meletakkan bokongnya di kursi rias milik ayahnya kemudian meletakkan tasnya di meja lalu membukanya dan mengeluarkan benda yang sangat banyak. "Atau kau duluan, Niall?" tanya wanita itu.
Niall mengangkat wajahnya dan mengalihkan pandangan dari ponselnya menuju wanita yang mengajaknya bicara. "Angel duluan saja."
"Apa mereka akan datang, Niall?" seseorang memasuki ruangan yang tidak lain adalah Greg.
Niall tampak menggeleng pelan dengan keputusasaan tersirat di dalam kedua bola mata birunya. "Sepertinya tidak. Dia bahkan tidak membalas pesan atau pun menjawab panggilanku." Niall duduk di tepian tempat tidur. Melepar ponselnya ke samping dengan kesal. Meletakkan kedua sikunya di atas kedua pahanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Dia pasti sangat kecewa."
"Aku akan kembali mencoba menghubunginya. Mom melakukan hal yang sama juga. Mom sangat berharap dia akan datang." Ujar Greg sambil berlalu meninggalkan ruangan.
"Angel, ayo kemari!" wanita berambut blonde yang membawa peralatan rias tadi.
Angel menuruti apa yang wanita itu minta. Angel hanya terdiam saat wanita itu memoleskan bedak di wajahnya. Ya, ini adalah hari dimana ayahnya akan menikah. Bukan dengan ibunya, tapi dengan Barbara. Mimpi yang sangat tidak diinginkan oleh gadis kecil ini tapi dia bisa melakukan apa?
***
Daisy masih terdiam menatap langit yang sialan teramat cerah di luar sana dan itu sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang mendung. Dia memegangi ponselnya sedari tadi namun dia tidak menghiraukan setiap pesan atau pun panggilan yang masuk ke dalamnya.
Secara mental dia sedang memegang sebuah hati yang terbuat dari kaca yang rapuh dan tertempel di tembok. Dia mencoba memegangi hati yang rapuh itu supaya tetap di sana, tertempel di tempatnya karena tali penahannya telah putus. Jika dia melepasnya, maka hati itu akan jatuh dan hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Hati itu adalah hatinya.
Sebuah tangan terasa di pundaknya namun Daisy tidak mau peduli. "Kau tidak akan pergi?"
Pandangannya kosong ke depan, menembus kaca kamar hotel yang transparan. "Aku tidak tahu." Ucapnya pelan.
"Kau sudah di sini. Apa alasanmu untuk tidak datang? Seharusnya kau memiliki alasan mengapa kita tidak perlu datang ke kota ini, Sayang." Ucap pria itu. "Kau sudah di sini dan kau harus pergi. Kau harus. Atau kau tidak bisa melihatnya bersanding dengan wani—"
"Cukup! Kita sudah membicarakan ini sebelumnya!" sentak Daisy.
"Oke, kalau begitu buktikan. Buktikan kalau kau memang sudah melepaskannya dan merelakannya bersama wanita itu. Buktikan, Sayang!" balas pria itu. "Lihat cincin yang melingkar di jari manismu itu. Kau milikku." Bisiknya.
Daisy bangkit dari kursinya, melirik lawan bicaranya dengan tajam sebelum berlalu. Dia tampak menghubungi seseorang di telepon.
"Halo, Maura! Ini aku, Daisy..." Daisy tampak terdiam sebentar. "Iya, aku akan menghadiri acara itu... dan Apple, kami sudah di London sejak kemarin." Daisy kembali terdiam, kali ini cukup lama. "Oke, sampai jumpa di sana. Bye."
Daniel—pria yang bersama dengan Daisy tampak tersenyum puas mendengar apa yang dikatakan Daisy di telepon. Dia berjalan menghampiri wanita itu sambil tersenyum.
"Look! I just did." Ujar Daisy.
Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Daisy kemudian berbisik di telinga wanita itu. "That's my woman! Good woman. I love you."
***
"Aku senang kau datang, meski... bersama pria itu." Ujar Niall kepada mantan istrinya, Daisy Edwards yang tengah menikmati minumannya bersama dengan kedua buah hatinya yang sedang menikmati cake super besar mereka.
Yang diajak bicara mengangkat wajahnya dan menatap lawan bicaranya sepersekian detik. Pun dia harus memalsukan sebuah senyuman. "Kau mengundangku dan aku hanya memenuhi undangan itu."
"Sebenarnya... aku ingin wanita yang bersanding denganku itu adalah dirimu tapi apa yang bisa kuperbuat? Kau tidak bersedia juga." Niall harus menelan kekecewaan saat mengucapkan itu. Entah atas dorongan apa sehingga dia mampu mengucapkan itu. Itu bukan lah hal yang mudah.
Daisy bersusah payah mencoba untuk bernapas. Pria itu mengatakannya seakan dia menyalahkan Daisy secara tidak langsung, atau itu sebuah sindiran? "Mungkin itu tidak akan terjadi juga."
"Mungkin kau benar." Sahut Niall.
Apple menatap saudarinya yang sedang menatap orangtuanya dan mendengarkan percakapan mereka dengan seksama. Dia seakan mencoba untuk mengerti apa yang sedang kedua orangtuanya perdebatkan. Hal yang sama seperti beberapa tahun lalu—tentang ketidak bersamaan. Kenyataan jika orangtuanya itu tidak akan bersama lagi.
Apple memalingkan wajah saudarinya dengan tangan kecilnya. Mengusap ujung mata gadis kecil itu sebelum air mata memberontak keluar dari sana. "Kita akan membuat itu menjadi nyata. Itu akan terjadi."
"Apa?" tanya Angel lirih.
"Orangtua kita akan kembali bersama, menikah lagi atau mungkin memiliki bayi lagi. Itu akan terjadi." Apple tersenyum penuh keyakinan—berpura-pura yakin, jika tidak ada keyakinan di dalam dirinya, lalu bagaimana bisa dia membuat Angel yakin dengan ucapannya?
"Bisakah?"
Apple mengangguk pelan sambil terus tersenyum. "Ya, tapi aku butuh bantuanmu. Kita bisa melakukannya, kan? Bersama."
"Ya, aku akan membantumu. Kita akan membuat ini menjadi nyata. Kita akan melakukannya bersama-sama." Ucap Angel bersemangat.
Bisakah mereka? Mampukah kedua bocah itu mewujudkan mimpi mereka?
Bisakah kedua bocah itu menyatukan kembali dua hati yang pernah berjalan beriringan namun harus berpisah di tengah jalan dan melanjutkan perjalanan mereka masing-masing?
Mampukah kedua bocah itu menyalakan cinta kedua orangtua mereka yang pernah padam?
.
.
KEEP OR DELETE?COMMENT PLEASE?
NO SILENT READERS, OKAY? (:
Seberapa besar antusias kalian sama cerita ini? Please, kalau kalian tertarik buat baca, kalian bisa tinggalin vote atau comment. Dan dimohon untuk ga jadi silent readers.
Fyi, silent readers, NO ONE LIKES YOU!
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete 2
RomanceBOOK 2: Almost. He waits with all his dreams. He knows her heart. He's almost there. [Highest rank #2 out of 3.39k stories in niallhoran | 9-12.8.20] Copyright © 2016-2020 by juliamulyana. All Rights Reserved.