New York City
Niall fokus pada jalanan di depannya yang padat. Jalanan kota New York yang selalu padat, bahkan di jam kerja tidak terlihat lengah sedikit pun. Putranya sedang tertidur di kursi samping kemudi. Bocah itu tampak lelah atau mungkin jenuh lebih tepatnya karena perjalanan panjang mereka dari Los Angeles.
“Kita sudah sampai?” tanya Apple dengan suara paraunya—tampaknya dia tertidur cukup lama sehingga ia tertidur sangat lelap.
“Kau terbangun karena suara klakson tadi, ya? Ada mobil menepi sembarangan.” Ucap Niall.
Apple menatap keadaan di luar dari jendelanya, dia sudah lama meninggalkan kota tempat dimana ia tinggal. “Tidak terasa minggu depan sudah kembali ke sekolah, hufftt.” Keluh Apple.
“Liburanmu kurang?” tanya Niall.
Diam. Bukan liburannya tetapi waktu bersama Daddy yang kurang. “Tidak.” Bocah itu menggeleng pelan.
“Kita akan berhenti untuk membeli makanan tapi Daddy tidak akan mampir.” Ucap Niall.
“Mengapa?” tanya Apple.
Niall masih fokus pada jalanan di hadapannya dan tidak menjawab pertanyaan putranya.“Mengapa, Dad? Daddy tahu, ‘kan jika aku akan menginap di rumah Dave?” desak Apple.
Niall membuka jendela mobilnya, “Kau mau pesan apa untuk makan siangmu?” tanya Niall.
Apple menjawabnya dengan kesal karena jika ia tidak menjawab, ayahnya justru akan marah padanya. “Dad?” bocah itu masih tidak menyerah.
“Daddy nanti akan mengunjungimu di rumah Dave. Lagipula, dia ingin menjadi anak Daddy juga, ‘kan?” tanya Niall.
Untunglah Daddy tidak marah. “Heh?! Daddy tidak serius, ‘kan untuk menerima permintaannya?” tanya Apple dengan kedua mata yang terbelalak. Dia takut jika ayahnya akan menyetujuinya.
“Kau tidak suka memiliki saudara seperti Dave? Dia tampaknya sangat menyenangkan.” Ledek Niall.
Diam. Sebagai seorang anak yang tidak menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya, keegoisannya muncul. Jika dengan Angel saja dia bisa merasakan kecemburuan yang sangat hebat. Apalagi dengan orang lain? “Kalau Daddy mau tidak apa.” Ucapnya lirih.
“Sudah sampai.” Ucap Niall bersamaan dengan mobil yang berhenti.
Apple membuka pintu mobil dengan lemas dan diikuti oleh ayahnya. Ia menurunkan tas dan koper sementara Niall menurunkan sepeda yang ia belikan saat mereka di LA. Bocah itu berjalan menggendong tasnya sementara tangannya menarik koper menuju teras rumah. Ibunya sedang tidak di rumah tetapi dia tahu dimana ia bisa menemukan kuncinya.
“Kau terlihat lemas, kau baik-baik saja?” tanya Niall.
Apple mengangguk, “Aku akan membawa sepedanya ke garasi.” Ucapnya lalu mengambil sepedanya dan menuntunnya menuju garasi. Lalu ia kembali pada ayahnya yang masih berdiri di tempatnya semula.
Niall menarik Apple ke dalam pelukannya, “Daddy tidak serius dengan ucapan Daddy tadi. Kau tidak perlu takut dan khawatir. Kau adalah putra kebanggaan Daddy, Daddy tidak menginginkan yang lain.” Ucap Niall.
Apple yang semula tidak merespon kini mau membalas pelukan itu, “Benar, Dad?”
“Benar.”
“Walaupun itu Dave? Penggemar terbesar Daddy yang tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menonton bahkan membeli semua karya yang Daddy miliki? Sementara aku? Aku putra Daddy tetapi aku membuang tiket konser Daddy di tempat sampah.” Ucap Apple. “Di saat semua orang ingin menjadi dekat dengan Niall Horan bahkan anak-anaknya, sedangkan aku yang adalah anak kandung Daddy pernah berharap jika Daddy bukan da—”
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete 2
RomanceBOOK 2: Almost. He waits with all his dreams. He knows her heart. He's almost there. [Highest rank #2 out of 3.39k stories in niallhoran | 9-12.8.20] Copyright © 2016-2020 by juliamulyana. All Rights Reserved.