"Arthur kau di dalam?"
Arthur mendongakkan kepalanya dari tumpukan berkas yang menggunung di atas meja kerjanya. Dia menghela nafas lelah.
"Masuklah Lin, maaf aku tidak dapat menemanimu akhir-akhir ini, sungguh aku tidak bermaksud seperti itu." Akunya.
Aku tersenyum sedikit. "Tidak masalah, setelah kau membuat Kai seperti kehilangan orientasi hidupnya." Aku terkikik geli saat membayangkan Kai yang marah-marah.
"Ahh... dia itu..." Arthur kembali menghela nafas lelah.
"Sudah, tak usah dipikirkan lagi." Aku maju hingga tepat berdiri di depan Arthur, hanya dibatasi sebuah meja saja.
"Ada apa menemuiku?" Arthur menghadapkan wajahnya kearahku.
Aku bergerak gelisah ditempatku, memikirkan apakah Arthur memperbolehkanku kembali atau tidak, sudah terlalu lama aku berada di dunia ini, bukan masalah apa-apa, hanya saja sebagian pelajaran sudah tidak ada yang kuingat di otakku. Dengan sedikit ringisan, aku memikirkan hal itu, bagaimana nanti kalau orang tuaku mengamuk? Hiiii... membayangkannya saja aku bergidik ngeri. Belum lagi akan ada drama yang akan kupentaskan. Ahh... ita drama itu sudah kuhapal di luar kepala, hanya saja aku lupa lagi....
Dengan kepercayaan diri yang mulai menipis setipis kapas, aku mengangkat wajahku tapi tak sampai memandang matanya, memantapkan hatiku dan berkata pada Arthur, "Arthur ap-apakah ak-aku boleh kembali ke duniaku? Ke dunia asalku?"
Tanpa melihat wajah Arthur suasana langsung hening mencekam. Dengan takut-takut aku mendongak menatap wajahnya. Wajah Arthur terlihat menakutkan, dengan rahang menegang, dia menggenggam pena bulu angsanya dengan kuat.
"Apa yang kau katakan?" Arthur mendesis.
"Ak-aku ingin kembali ke tempat asalku, sebentar saja sebelum perang dimulai, aku ingin mempersiapkan mentalku disana." Yang terakhir sebenarnya hanyalah alasanku saja. Mana mungkin disana aku berkata ingin mementaskan drama supaya aku tidak lupa lagi? Jika aku mengatakan itu padanya pastilah aku tidak boleh pulang.
Arthur tetap memandangku dengan tatapan tajam. "Kemarilah Lin." Tangannya diulurkan kearahku. Aku berjalan memutari meja dan dengan ragu-ragu menyambut uluran tangannya. Pasti ada maksud tersembunyi disini.
Arthur mengangkatku hingga menduduki meja kerjanya, membuatku terpekik sesaat. Tangannya diletakkan di samping pahaku. Mengurungku dalam kungkungan tangannya. Keningnya di dekatkan hingga menyentuh keningku. Hembusan nafasnya terasa menyegarkan berbau mint.
"Kau ingin pulang? Menenangkan diri? Apakah tidak cukup bagimu untuk menenangkan diri disini Lin?"
Saat aku hendak membuka mulut, Arthur memotong.
"Tidak cukupkah disini? Haruskah kau pulang ke duniamu? Haruskah Lin?" Tanya Arthur parau.
Aku mengangguk takut-takut. Antara takut menyakiti perasaan Arthur dan egoku sendiri. Tapi aku sudah terlalu lama meninggalkan bumi meskipun waktu disini berjalan lebih cepat daripada di bumi tapi tidak bisa kupungkiri kalau aku sangat merindukan kedua orangtuaku. Ayah dan ibuku.
"Tatap aku Lin." Tegas Arthur.
Aku menatapnya takut-takut. Terlalu takut hanya untuk meminta izinnya. "Ad-ada ap-pa?"
"Lin dengarkan aku," Arthur mendongakkan wajahku agar menghadapnya, menghadap matanya. "Kau bisa menenangkan dirimu disini sbeanyak yang kau inginkan, kau berhak untuk itu, seminggu lagi kita berperang. Kau ingin tidak banyak latihan. Oke. Aku bisa mengurusnya. Tapi ini? Kau hendak pulang Lin, bagaimana kalau pada akhirnya kau tidak mau kembali lagi kesini. Bagaimana Lin? Kau akan meninggalkanku sendirian disini? Setelah kita menyerang Saxon dan Dahl beberapa hari setelahnya kita akan menyerang Roma dan setelah pemikiran matang itu kau hendak pulang? Jangan bercanda denganku Lin." Arthur terlihat emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fantasy Knight
FantasyLin hanya seorang anak SMA biasa, tidak terkenal, biasa-biasa saja bahkan sering di bully. Dihari pindahannya ke sekolah baru, Lin mendapatkan sebuah video game yang mengirim dia ke sebuah dunia dimana dia menemukan penyihir dan memberi tau dia bahw...