[ WENDY ]
Pernahkah kalian membayangkan masa depan di mana kalian menghasilkan uang dari hobi kalian? Aku pernah. Setiap hari, tepatnya. Setiap hari, di dalam doaku atau saat bintang jatuh terlihat, aku selalu berdoa masa depan yang cerah untukku segera tiba.
Bertahun-tahun aku menempuh pendidikan di sekolah dan tidak satupun ilmu yang kudapat berguna untuk hari ini.
Aku Wendy, 23 tahun, sangat sehat dan semangat di pagi hari tapi sangat lesu dan lemah di malam hari. Sampai saat ini, aku belum memiliki pekerjaan tetap. Dan aku adalah manusia yang cukup keras kepala.
Hampir separuh umur aku habiskan dengan belajar keras hingga lulus dari Universitas Seoul, jurusan Akuntansi. Bisa dibilang, aku adalah lulusan terbaik di angkatanku.
Aku tidak bermaksud sombong, tapi aku memilih untuk mengabaikan gelar sarjana yang kumiliki dan berjuang mati-matian untuk sebuah impian. Aku ingin menjadi penyanyi.
Alasanku sederhana. Aku sangat suka bernyanyi, aku suka perasaan di mana aku bisa menyentuh hati dan pikiran seseorang melalui lagu.
Jika aku menjadi penyanyi, berarti aku menghasilkan uang dari pekerjaanku yang merupakan hobiku sendiri. Bukankah menyenangkan? Memiliki hobi yang dapat menghasilkan uang.
Saat ini aku berada di Antena Records, perusahaan rekaman yang sudah menghasilkan banyak penyanyi solo yang terkenal di negriku, Korea Selatan. Aku menunggu dengan hati was-was karena ini adalah perusahaan rekaman ke-28 yang aku kunjungi.
Yup, kalian pasti bisa langsung menebak. Aku selalu ditolak oleh perusahaan rekaman manapun. Sudah setengah tahun dan tidak ada kemajuan sama sekali. Tidak ada satupun direktur yang berniat memberi kontrak padaku.
Bukan hanya mengunjungi perusahaan rekaman, aku juga mengikuti banyak sekali audisi. Sayang, aku tidak beruntung. Itu kata Irene, sahabatku.
"Nona Son, Direktur Yoo ingin anda masuk ke ruangan beliau," ujar sang resepsionis padaku.
Aku tersenyum dan segera berdiri dari sofa empuk yang sudah menemaniku bermonolog di lobby Antena Records. Aku segera berjalan menuju tangga dan naik ke lantai 3, tempat Direktur Yoo berada.
Oke, tenangkan dirimu, Wendy. Semua akan baik-baik saja, bukan?
"Silakan masuk," suara Direktur Yoo dari dalam terdengar setelah aku mengetuk pintu.
Sambil tetap tersenyum, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan beliau. Ruangan Direktur Yoo sangat dingin, itulah kesan pertamaku. Di sebelah kanan, dindingnya berupa jendela kaca yang membuatku bisa melihat pemandangan Kota Seoul.
Aku berjalan menuju kursi yang ada di hadapan meja Direktur Yoo. Di dinding belakang beliau, terdapat berbagai macam sertifikat dan piala milik Antena Records yang sangat membanggakan.
"Selamat siang, Nona Son," sapa beliau begitu ramah padaku.
"Selamat siang, Direktur," ujarku kemudian menundukkan kepala.
"Kalau begitu langsung saja, aku ingin mendengarkan," lanjut beliau dan aku mengangguk.
Perlahan, aku meraih sebuah CD audio dari dalam tasku. Aku menyerahkan CD audio tersebut pada Direktur Yoo. Direktur bergerak memutar kursi dan memasukkan CD tersebut ke dalam CD player.
Tidak sampai semenit, sebuah lagu terdengar dari CD player. Lagu yang aku latih mati-matian selama seminggu. Lagu yang membuatku rela menghabiskan uang untuk rekaman di studio teman kakak. Lagu yang menunjukkan keinginan kuatku untuk menjadi penyanyi.
Direktur Yoo mendengarkan lagu tersebut sambil memejamkan mata, namun alisnya terangkat saat mendengar suara nyanyianku. Sikap beliau membuatku begitu gugup.
Tubuhku seakan bertambah berat, gravitasi seakan menarikku ke bawah. Direktur Yoo menghentikan CD player kemudian kembali duduk berhadapan denganku. Keramahan beliau sudah hilang.
"Apa anda menyukai nyanyian saya?" tanyaku mengawali percakapan.
Direktur Yoo menatapku tajam dan dingin. "Nona Son, apa yang baru saja saya dengar itu adalah sampah."
Oh Tuhan, jangan membuatku menangis sekarang. Tolong tarik mundur air mata yang memaksa keluar, sekarang juga. Cukup sakiti aku dari dalam, jangan biarkan orang lain melihatku kesakitan.
"Nona Son, saya sudah sering mendengar kabar tentang anda," cerita Direktur Yoo. "Anda pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk mencari kontrak. Dan sekarang saya tahu mengapa semua perusahaan itu menolak anda."
Aku menunduk lesu, sepertinya aku tidak beruntung lagi. Ya Tuhan, mengapa Kau sangat tega?
"Apa yang saya dengar itu sampah. Sama sekali tidak mengesankan, biasa saja," lanjut Direktur Yoo. "Anda sebagai pengamat musik seharusnya tahu, bahwa suara anda sama sekali tidak unik. Tidak akan ada produser yang mau memberikan lagu mereka untukmu."
Aku benar-benar marah. Bagaimana bisa pria di hadapanku ini merendahkanku hanya setelah mendengarkan seperempat bagian dari lagu yang kunyanyikan? Beliau tidak memberiku kesempatan sama sekali.
"Setidaknya tolong dengarkan lagu saya hingga selesai—"
"Cukup, Nona Son. Anda boleh keluar," ujar Direktur Yoo sambil menunjuk pintu di belakangku. "Semoga harimu menyenangkan."
Tanpa berkata apapun, aku segera berdiri dari kursi dan keluar dari ruangan Direktur Yoo. Tidakkah beliau tahu bahwa pendapat beliau barusan, tentang suaraku, sudah cukup untuk mengusir ragaku dari sana?
Oke, aku mengaku, suaraku memang tidak unik. Wajahku juga biasa saja, tidak secantik dan semenawan sahabatku, Irene. Tapi tidakkah kerja keras dan keinginan kuatku sudah cukup untuk menjadikanku penyanyi?
Beginilah dunia bisnis, orang pasti akan selalu mencari apa yang diminati oleh pasar. Jarang sekali ada orang yang mau memberi kesempatan pada orang sepertiku, yang berani menerobos kebiasaan yang berlaku.
Hari ini, aku mencoret nama Antena Records dari daftar perusahaan rekaman yang ingin aku kunjungi. Dan kalian tahu? Ini adalah perusahaan rekaman yang terakhir.
Selesai sudah. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Bagaimana aku harus bercerita pada keluargaku? Mereka sudah mendukungku sekuat tenaga.
Aku tidak ingin menjadi seorang akuntan, aku ingin menjadi penyanyi. Tapi kenapa semuanya terasa begitu sulit? Untuk pertama kalinya kerja kerasku selama berbulan-bulan tidak membuahkan hasil yang manis.
Hampir saja aku berlutut lemas di lantai jika teleponku tidak berdering begitu nyaring. Aku segera merogoh tasku untuk mengambil telepon dan menjawab panggilan masuk yang berasal dari sahabatku.
"Wendy? Bagaimana?" suara Irene terdengar cemas.
Aku terisak. "Sudah, Irene. Sudah selesai. Aku gagal lagi."
Rasa sakit yang ada di dadaku bukan karena putus cinta atau dikhianati oleh teman. Ini adalah rasa sakit yang timbul karena ketidakmampuanku melawan dunia, sekeras apapun aku mencoba.
I'm officially give up.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...