[ MARK ]
"Hoaaaaaam,"
Ups, aku baru saja menguap sangat lebar. Air liurku hampir menetes di atas berkas-berkas penting Café Hometown dan proposal kerja sama yang harus kubaca.
Setelah menerima contoh naskah dari Irene kemarin, semangatku untuk menulis bangkit seketika. Akibat dari itu adalah aku mengerjakan naskah webdrama sepanjang tujuh episode tanpa tidur.
Alasanku cukup sederhana. Karena hari ini jadwal kerja Wendy, aku ingin menunjukkan naskah itu padanya. Aku ingin dia juga ikut semangat dan selangkah lebih dekat dengan impian kami.
Iya, aku memang aneh. Demi Wendy, aku rela melakukan apapun.
Kemarin, Irene bertanya padaku apa aku menyukai Wendy. Ya, tentu saja. Aku sangat menyukai Wendy. Bukankah sudah jelas?
Hampir di setiap waktu luang aku memikirkan Wendy. Ada sesuatu dalam diriku yang ingin selalu memastikan bahwa Wendy baik-baik saja.
Rasa cinta bisa tumbuh dari mana saja. Dan kurasa rasa cintaku pada Wendy tumbuh karena perasaan senasib dan ingin berbagi.
Kami sama-sama dicampakkan oleh impian kami dan saat ini menuju impian kami yang baru. Aku yakin, jika bersama Wendy, aku akan berhasil.
Pintu ruanganku diketuk, menampilkan Yugyeom yang membawa sapu yang biasa dipakai untuk membersihkan bagian depan Café Hometown.
"Mark, ada orang yang datang mencarimu," kata Yugyeom yang masih berdiri di ambang pintu.
Aku mengerutkan kening. "Siapa?"
"Aku tidak tahu. Katanya dia ingin menyampaikan sesuatu," jawab Yugyeom cepat.
Hmm, siapa yang datang mengunjungiku pagi-pagi sekali? Dan lagi, hal apa yang ingin orang ini sampaikan padaku? Dilihat dari cara dia menyampaikan pesan ke Yugyeom, sepertinya ini cukup penting.
"Baiklah. Beri dia duduk dan tawarkan minuman sesuai kampung halamannya," kataku tegas. "Aku akan segera ke tempat dia setelah membersihkan mejaku."
Lima menit kemudian, aku keluar dari ruangan dan pergi mencari orang yang sudah menungguku. Aku bertanya pada Yugyeom di mana orang itu duduk dan Yugyeom menunjuk meja paling ujung di sebelah barat.
Laki-laki berambut hitam model undercut dan kulit pucat bagaikan vampir. Aku tidak mengenalnya. Mau apa dia menemuiku?
"Sudah kamu buatkan pesanannya?" tanyaku berbisik pada Yugyeom.
"Sudah. Dia minta Creamy Daegu," jawab Yugyeom berbisik juga.
Daegu, ya? Sama seperti Irene. Apa dia kenalan Irene? Atau jangan-jangan dia orang dari Naver TV yang dimaksud Irene. Wah, cepat sekali dia datang padaku?
Setelah memastikan penampilanku rapi, aku menghampiri laki-laki tersebut dengan senyum. Saat aku tiba di mejanya, laki-laki itu memandangku dari atas sampai bawah.
Aku berinisiatif memulai pembicaraan. "Saya Mark Tuan, manajer Café Hometown. Apa benar anda mencari saya?"
Laki-laki itu mengangguk. "Ya. Saya Suga."
Hmm, Suga? Nama macam apa itu? Apa ada hubungannya dengan sugar? Apa orang di Naver TV senang memakai nama samaran?
"Saya duduk di sini, ya," kataku sambil menunjuk kursi di hadapan Suga. Dan dia hanya mengangguk.
Kami diam dalam hening hingga Yugyeom datang untuk mengantar pesanan Suga. Tapi bukannya langsung mencoba minuman itu selagi hangat, Suga malah menatapku dengan sangat datar.
Suga mengaduk Creamy Daegu miliknya. "Langsung saja. Saya datang ke sini atas permintaan Wendy."
Hah? Apa katanya tadi? Wendy? Jadi dia bukan orang dari Naver TV, melainkan orang yang berhubungan dengan Wendy?
"Apa benar Wendy bekerja di sini?" tanya Suga tanpa ekspresi. Benar-benar menyeramkan.
"Ah, iya. Wendy bekerja di sini," jawabku sambil tersenyum, berharap laki-laki ini bisa membalas senyumanku.
Tapi ternyata tidak. Suga malah mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan memberikannya padaku. Aku menerima kertas tersebut dan membaca isinya. Ini lirik lagu yang ditulis oleh Wendy. Kenapa benda ini ada pada Suga?
"Kenapa benda ini ada pada anda?" tanyaku bingung.
Suga menghela napas. "Wendy meminta saya menyerahkan kertas itu pada anda. Katanya, dia akan merekam nadanya nanti dan mengirimnya padamu lewat LINE."
Pertanyaanku seakan tidak terjawab dan aku bertanya lagi, "Sekarang Wendy di mana?"
"Wendy ada urusan di kampung halamannya. Karena itu untuk sementara waktu dia tidak bisa bekerja di sini," jelas Suga masih tanpa ekspresi.
Kampung halaman? Tunggu dulu. Bukankah kampung halaman Wendy itu di Seoul? Dia selalu memesan Seoul Latte setiap datang ke sini.
Jangan-jangan orang ini orang jahat dan kertas berisi lirik lagu ini palsu. Tapi ini memang tulisan tangan Wendy, ini kertas yang sama yang digunakan Wendy untuk menulis lirik.
"Wendy bilang, dia akan kembali bekerja secepat mungkin," kata Suga setelah meneguk Creamy Daegu hingga tersisa setengah. "Oh, ini enak."
"Terima kasih," balasku. Entah aku berterima kasih karena laki-laki ini sudah menyampaikan pesan dari Wendy atau karena dia barusan memuji menu di Café Hometown.
Mata Suga beralih dari minuman di tangannya ke sekeliling Café Hometown. Suga terlihat mencermati setiap sudut Café Hometown dan merasakan jiwa yang hidup di sini.
"Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanyaku berusaha bersikap ramah. "Mungkin mau tambah salad atau sandwich untuk sarapan?"
Suga menggeleng ringan. "Tidak usah, saya sudah sarapan. Setelah ini saya akan pergi."
"Baiklah," hanya itu yang terucap dari bibirku.
Sebagai manajer yang ramah dan baik, aku menunggu Suga menghabiskan minumannya. Aku juga sedikit berharap Suga mau menjelaskan sedikit di mana letak kampung halaman Wendy. Karena aku yakin sekali Wendy memang penduduk asli Seoul.
"Oh, ya. Saya boleh bertanya satu hal?" tanya Suga setelah Creamy Daegu miliknya habis.
"Silakan," kataku sewajar mungkin.
Suga menatap lantai dan bertanya, "Di sini Wendy bekerja sebagai apa?"
Aku mulai sedikit curiga. Apa benar dia mengenal Wendy? Bagaimana bisa dia tidak tahu Wendy bekerja di sini sebagai apa?
Tapi karena aku manajer yang baik, aku jawab saja, "Wendy adalah penyanyi tetap Café Hometown."
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fiksi Penggemar[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...