[ SUGA ]
Tahun ini berawal dengan cukup buruk. Selain agendaku yang kacau karena baru saja keluar dari Antena Records, temanku, Namjoon, terpaksa dirawat di Rumah Sakit karena kecapekan.
"Sudah kubilang, semangat boleh, tapi jangan lupa jaga kesehatan," omelku pada Namjoon yang terbaring di kasur Rumah Sakit.
Dengan bangga Namjoon tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. "Santai, Ga. Mana bisa aku diam saja lihat studio kita masih kosong gitu. Aku pingin studio kita cepet penuh dan kita langsung kerja bikin lagu."
Aku menghargai dedikasi dan rasa cinta Namjoon pada musik, tapi jika sudah dibawa ke Rumah Sakit, artinya Namjoon harus istirahat total.
Kata Suster, sih, begitu.
"Kamu istirahat saja di sini sampai Dokter bilang kamu boleh kerja lagi," ujarku serius.
Namjoon tertawa kecil. "Ternyata kamu bisa romantis juga, ya, Ga."
Aku memicingkan mata bagai elang yang baru saja menemukan mangsa. "Jangan sebut aku 'romantis' lagi. Kalau kamu bukan temanku, sudah kulempar lewat jendela."
Tawa Namjoon makin keras dan aku hanya bisa menggelengkan kepala. Namjoon yang sakit, tapi malah aku yang stres.
Tiba-tiba pintu ruangan diketuk dan suster masuk sambil membawa makan siang untuk Namjoon. Daging ayam yang baru saja dipanggang dengan sayur-sayuran yang segar ditata menjadi salad.
"Jadi lapar juga," kataku sambil mengelus perut. "Namjoon, aku keluar dulu mau cari makan. Kamu makan yang santai."
Namjoon mengacungkan jempol. "Siap, Komandan!"
Dan sebelum aku keluar dari ruangan, aku menatap suster tersebut dengan tatapan dingin. "Tolong awasi teman saya dengan baik. Saya kembali, makan siangnya harus habis."
Aku tidak peduli dengan suster yang sudah gemetaran menatapku, aku langsung keluar dari ruang inap Namjoon dan pergi menuju lift yang akan mengantarku ke lantai dasar.
Harus kuakui, meski harganya melambung, makanan di Restoran Rumah Sakit sangat enak. Sangat enak sampai aku takut dan mengira jangan-jangan aku memakan daging mayat.
Imajinasi liarku hilang saat pintu lift terbuka dan mataku menangkap sosok seorang perempuan. Dia menatap layar ponsel begitu serius hingga dia tidak sadar aku sudah berdiri di sampingnya.
Hmm, aroma tubuh perempuan ini seperti aroma para Suster dan Dokter di sini. Sudah pasti perempuan ini menghabiskan banyak waktu di Rumah Sakit.
Tepat satu lantai sebelum lantai tujuanku, orang-orang ramai masuk ke dalam lift, hingga membuatku terpojok bersama perempuan yang sudah memasukkan ponsel ke dalam sakunya.
Aku sempat melirik jam tanganku dan memang sekarang sudah waktu tengah hari. Wajar orang-orang bersama-sama menuju Restoran Rumah Sakit.
Kuperhatikan wajah perempuan yang sekarang lengannya bersentuhan dengan lenganku. Kulitnya begitu pucat dan matanya besar. Hidungnya kaku tanda bahwa dirinya sedang menahan napas.
Syukurlah rasa sesak yang kurasakan tidak berlangsung lama karena akhirnya lift berhenti di lantai dasar.
Satu per satu orang keluar dari dalam lift hingga tersisa aku dan perempuan mungil yang sempat berada di bawah lenganku. Kami berdua hendak keluar dari lift bersama hingga aku mendengar suara perut yang berbunyi cukup keras.
Aku menoleh pada perempuan itu dan benar dugaanku, wajahnya memerah karena malu. Pemilik dari suara perut yang kudengar barusan adalah dia.
"Lapar banget?" tanyaku sewajar mungkin.
"Iya," jawabnya sambil menunduk.
Aku mengangkat bahu. "Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo ke Restoran sama-sama."
Kami berjalan berdampingan menuju Restoran Rumah Sakit. Memang tidak biasa aku mengajak seorang perempuan makan siang bersama, tapi aku tidak tahan untuk tidak mengajaknya karena dia terlihat seperti seekor hamster yang sudah tidak makan selama tiga hari.
Antrian Restoran cukup panjang dan ekspresi perempuan yang bersamaku ini berubah kecewa.
"Mau aku pesankan sekalian?" tanyaku padanya.
Matanya membulat tidak percaya. "Ah, iya. Kalau tidak merepotkan."
Aku menggeleng. "Kamu mau makan apa?"
"Shrimp Dumplings," jawabnya cepat seakan menu itu sudah menjadi langganannya di sini.
"Oke. Tolong carikan tempat duduk di dalam," kataku setelah itu dia keluar dari antrian.
Ah, untuk apa aku berbuat baik pada orang asing? Aku sama sekali tidak mengerti. Kurasa karena aku menganut paham simbiosis mutualisme.
Lima belas menit berdiri dan akhirnya aku bisa memesan makan siang untukku dan juga perempuan yang sudah menunggu di meja dekat jendela. Para pegawai Restoran bekerja sangat cekatan hingga aku tidak perlu menunggu lama lagi untuk menyantap makanan yang kudapat.
Aku membawa pesanan kami dan sekilas aku bisa melihat air liur menetes keluar dari bibirnya. Tanpa sadar aku tersenyum tipis.
"Makanlah," ujarku sambil menunjuk pesanannya yang merupakan seporsi mangkuk besar.
"Selamat makan," balasnya sambil tersenyum.
Kalau nanti aku cerita pada Namjoon bahwa aku makan siang satu meja dengan seorang perempuan, dia pasti akan menertawakanku.
Seorang Suga, produser yang suka mengurung diri di dalam studio sepanjang tahun, akhirnya bisa berinteraksi dengan kaum hawa. Tahun baru, Suga baru.
"Aku harus kembali sekarang," katanya setelah menghabiskan makan siang.
"Cepat sekali," sahutku membuatnya salah tingkah. "Kenapa buru-buru?"
"Ada seseorang yang harus kutemani," jawabnya dengan senyum yang tidak dapat dilukiskan.
"Kamu setiap hari ada di sini?" tanyaku lagi.
Senyumnya semakin mengembang. "Iya. Aku hanya keluar Rumah Sakit untuk bekerja. Selain itu, aku selalu ada di sini."
Aku terkagum. Jujur, aku tidak suka datang ke Rumah Sakit tapi perempuan ini menghabiskan sehari-harinya di bangunan berlapis cat putih dengan aroma obat-obatan yang sangat khas.
"Aku pergi dulu," katanya lembut. "Nanti kamu tidak perlu bayar."
"Apa maksudmu?" tanyaku tidak percaya. Mana mungkin aku membiarkan seorang perempuan membayar makan siangku.
Dan dia menggeleng. "Setelah selesai, kamu datang saja ke kasir dan bilang kalau kamu makan bersama 'Wendy'. Pegawai di sini pasti mengerti. Karena aku sudah sering kemari jadi hari ini aku dan bisa dapat potongan harga."
Dalam hati, aku merasa beruntung. Terima kasih, Wendy, atas makan siang enak dengan harga murah.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...