28

887 215 26
                                    

[ SUGA ]

Inspirasi bisa muncul kapan saja, tapi bukan berarti inspirasi akan datang menghampiri kita. Justru kita lah yang menghampiri sumber inspirasi.

Di Hari Minggu ini, aku sengaja bangun pukul tiga pagi, naik kereta, dan pergi ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Alasan? Karena aku ingin mendapat inspirasi.

Alam memberi banyak hal pada kita. Langit luas, udara yang sejuk, sinar matahari yang warnanya menenangkan, pasir-pasir yang menggelitik sela-sela jari kita. Semua hal itu dapat kita rasakan jika pergi ke pantai pada pagi hari.

Tidak terasa sekarang sudah jam 8 pagi, aku harus kembali bekerja. Ya, tidak ada kata libur untuk seorang produser sepertiku.

Pintu kereta tempat aku naik terbuka lebar, orang-orang yang sudah menunggu memberi jalan yang cukup luas untukku keluar.

Jarak stasiun dengan apartemenku hanya sepuluh menit dengan jalan kaki. Kalau stasiun sudah lebih jauh dari itu, aku pasti akan lebih memilih untuk tidur di apartemen.

Tapi aku tidak menyesal, karena aku berhasil merekam beberapa nada dan menulis beberapa lirik tentang menunggu matahari terbit, yang bagaikan menunggu jodoh datang padaku.

Menyedihkan sekali nasibku. Sudah pekerjaan tidak jelas, ditambah lagi tidak ada perempuan yang menyukaiku.

Kakiku melangkah dengan malas keluar dari stasiun. Kalau aku kembali ke apartemen, aku harus bekerja. Kalau aku diam di sini, aku akan menjadi pengangguran.

Mana yang akan kamu pilih?

Aku memilih makan. Sedaritadi perutku tidak berhenti berbunyi, karena aku pergi ke pantai tanpa sarapan terlebih dahulu.

Kuputuskan untuk mencari makanan di pertokoan seberang stasiun. Sarapan seperti sandwich atau hotdog saja sebenarnya sudah cukup buatku.

Tunggu. Ada seorang perempuan berambut cokelat, bertubuh pendek, masuk ke dalam toko yang menjual churros. Apa itu Wendy?

Iya, Wendy. Tidak salah lagi, perempuan itu adalah Wendy. Apa dia mau beli sarapan juga? Kenapa dia tidak sarapan di Rumah Sakit? Wendy bilang, dia hanya keluar dari Rumah Sakit jika mau bekerja. Apa itu artinya Wendy bekerja di toko churros itu?

Penasaran, otakku memerintah tangan dan kakiku untuk berjalan masuk ke dalam toko churros. Aku mendorong pintu dan yang menyambutku pertama kali adalah pelayan yang sedang membersihka kaca.

Dengan langkah kecil aku berjalan hingga berada di belakang Wendy. Aku menepuk bahu mungilnya, membuat Wendy membalikkan badan dan menatapku dengan mata bulat.

"Hei, selamat pagi," sapaku canggung.

Wendy menatapku tidak percaya. "Ah, selamat pagi juga, Suga."

Dia ingat namaku. Aku ulang sekali lagi, dia ingat namaku. Direktur Yoo yang sudah mengenalku bertahun-tahun saja terkadang lupa siapa namaku, saat beliau masih menjadi atasanku.

"Mau sarapan di sini?" tanyaku sewajar mungkin.

"Ah, iya. Kamu sendiri?" tanya Wendy kembali.

Aku menggeleng. "Aku mau ke toko lain, tapi tadi aku melihatmu masuk ke sini."

Ada apa ini? Aku tidak bisa mengendalikan bibirku. Kenapa aku mengatakan segala sesuatu dengan begitu jujur? Seakan hati memaksaku untuk mengenal Wendy lebih jauh.

"Oh, begitu," ujar Wendy mengerti. Tiba-tiba dia mendekat padaku selangkah dan mendengus aroma tubuhku. "Habis dari pantai, ya?"

Wow, keren. Wendy tahu tempat yang kukunjungi hanya dengan mengendus aroma tubuhku. Padahal aku hanya memakai kaos dan celana longgar hitam.

"Kenapa kamu tahu?" tanyaku penasaran.

Wendy tersenyum. "Aku terlalu lama di Rumah Sakit, sampai bau yang sedikit beda saja sudah bisa kuketahui."

Benar juga. Bau Rumah Sakit memang sangat khas, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan aku yakin seorang jenius seperti Namjoon pun tidak bisa mendeskripsikannya.

"Lalu kenapa kamu ada di sini? Katamu, kamu hanya keluar Rumah Sakit saat bekerja, 'kan?" tanyaku lagi.

Setelah itu, Wendy mengangkat tangannya dan menunjuk sebuah papan yang menempel di dinding sebelah mesin kasir.

"Toko churros ini memiliki saus rasa baru, rasa red velvet! Aku sengaja datang ke sini untuk mencoba itu," jelas Wendy.

Seorang perempuan, rela bangun pagi-pagi di Hari Minggu hanya untuk mencoba sebatang churros yang diberi saus rasa red velvet? Sangat langka.

"Demi itu saja kamu rela bangun pagi dan datang sendirian?" tanyaku bingung.

"Aku nggak sendirian, kok. Sebentar lagi temanku datang," jawab Wendy sambil tersenyum.

Oh, rupanya ada lagi orang yang rela bangun pagi hanya untuk sarapan idaman seperti Wendy. Kalau aku, sih, sudah pasti tidur!

"Kalau begitu aku permisi, ya. Aku mau cari sarapan di tempat lain," kataku diikuti anggukan Wendy.

Tiba-tiba saja aku teringat bahwa di pertemuan terakhir kami, aku melihat Wendy membawa tas berisi gitar. Aku tidak tahu apa pekerjaan Wendy, tapi pasti berhubungan dengan musik.

Dan mungkin saja Wendy bisa membantuku mencari perempuan pemilik suara yang ingin kuajak kerja sama. Karena pencarian Namjoon sepertinya akan memakan waktu lama.

"Wendy, boleh aku minta nomor teleponmu?" tanyaku dengan nada datar.

Wendy menatapku bingung. "Untuk apa, Suga?"

Oh, apa ini berarti aku ditolak? Ternyata menaklukan perempuan tidak semudah yang ku kira. Wendy di pagi hari ini masih cukup bijak dalam memberi nomor telepon pada seorang laki-laki sepertiku.

"Hmm, buat jaga-jaga saja. Siapa tahu aku butuh kamu dan kamu butuh aku suatu hari, 'kan?" aku memberi alasan yang masuk akal.

Wendy masih terlihat ragu. "Aku hanya memberi nomor telepon pada orang yang dekat denganku."

Damn, aku ditolak secara halus.

"Memangnya orang yang dekat denganmu itu orang yang seperti apa?" tanyaku tidak mau kalah, karena pada dasarnya aku benci kalah.

Wendy berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Orang yang sering bertemu denganku."

Aku terkekeh. "Jadi begitu? Kalau aku bertemu denganmu lagi suatu hari, aku boleh minta nomor teleponmu, ya?"

Setelah berkata seperti itu, aku melangkahkan kaki keluar dari toko churros. Meninggalkan Wendy yang bengong menatap kepergianku.

Dasar, perempuan. Makhluk yang membuat pemalas sepertiku, akhirnya harus berjuang juga.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang