[ SUGA ]
Tidak ada yang lebih melegakan daripada menyaksikan Namjoon bebas dari Rumah Sakit.
Dari kejadian ini aku belajar bahwa kesehatan memang hal yang utama. Orang yang tidak mencintai tubuh sendiri adalah orang bodoh.
Lagipula, sakit itu membuat kita rugi. Tidak hanya rugi waktu, tapi saat kita sakit, kia menjadi tidak produktif. Namjoon yang berbaring di kasur Rumah Sakit sama sekali tidak bisa membantuku bekerja di studio.
Selain itu karena Namjoon sakit, kegiatan mencari perempuan yang merupakan pemilik suara idamanku itu tidak berkembang alias jalan di tempat.
"Suga, jangan pasang tampang seram seperti itu," tegur Namjoon sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. "Lihat, suster saja jadi takut padamu."
Masa bodoh, aku tidak peduli dengan suster itu. Aku harus mengingatkan Namjoon akan tugasnya mencarikanku perempuan yang ingin kuajak menyanyikan lagu ciptaanku.
"Jangan berani jatuh sakit lagi, Kim Namjoon," balasku menegur.
Sepuluh menit berlalu dan akhirnya kami melangkahkan kaki keluar dari ruang inap Namjoon. Saat kupikir aku bisa menghirup udara bebas lagi, Namjoon ternyata masih harus menyelesaikan urusan administrasi dengan pihak Rumah Sakit.
Dan di sinilah diriku, menunggu di lobi Rumah Sakit yang kebetulan sedang sepi.
Bagaimana cara mencari pemilik suara itu dengan cepat? Aku mulai merasa dikejar waktu. Tahun ini aku juga harus produktif, aku tidak boleh diam saja dan membiarkan Direktur Yoo tertawa di singgasananya.
Sesaat, mataku menangkap sosok perempuan yang makan bersamaku di Restoran Rumah Sakit beberapa hari yang lalu. Perempuan itu berjalan ke arahku dengan tas gitar yang cukup besar.
Perempuan yang kuingat bernama Wendy itu mengambil tempat duduk tepat di hadapanku. Wendy sibuk dengan ponselnya, seperti mengirim pesan pada seseorang.
Wendy menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari seseorang. Aku berdeham untuk membuat Wendy menyadari kehadiranku. Dan cara bodohku itu berhasil.
"Ah, selamat sore," kata Wendy kemudian ia membungkukkan kepalanya padaku.
"Sore juga," jawabku sewajar mungkin.
Menghabiskan banyak waktu di dalam studio membuatku sulit berinteraksi dengan perempuan. Sekarang saja aku merasa suasana di antara diriku dan Wendy menjadi canggung.
Akhirnya aku hanya bisa bertanya, "Mau pergi?"
Wendy mengangguk. "Aku mau pergi kerja dulu. Kalau kamu? Eh, nama kamu siapa, ya?"
Aku memberi senyum tipis. "Panggil saja Suga."
"Suga?" gumam Wendy dengan kening berkerut. Wajar jika ia bingung karena nama panggilanku itu sangat tidak umum.
Nama 'Suga' adalah nama yang kugunakan selama aku menjadi produser. Orang-orang yang bekerja bersamaku memanggilku seperti itu, hingga menjadi kebiasaanku untuk mengenalkan diri sebagai 'Suga'.
"Semangat ya, kerjanya," kataku kikuk.
Wendy mengangguk dan tersenyum seolah berkata terima kasih. "Suga mau pergi juga?"
Oh, sangat jarang seorang perempuan bertanya seperti itu padaku. Jujur saja, aku sama sekali tidak ahli menghadapi perempuan. Dulu di masa sekolah, temanku hanya laki-laki. Di keluargaku juga aku hanya memiliki satu kakak laki-laki.
"Ah, iya, aku mau pergi. Temanku sudah sembuh, jadi aku tidak perlu datang ke Rumah Sakit lagi," ceritaku singkat.
"Syukurlah, temanmu sudah sembuh. Semoga selalu sehat," ujar Wendy sambil tersenyum.
Benar-benar canggung tapi entah mengapa rasanya menyenangkan. Pembicaraan ini menjadi semakin menarik, "Kuharap orang yang berharga bagimu juga segera sembuh."
Aku ingat saat kami makan bersama, Wendy memberitahuku bahwa ia hanya keluar Rumah Sakit saat bekerja. Wendy menemani seseorang dan aku yakin orang itu sangat berharga untuknya.
"Terima kasih," jawab Wendy.
Karena Namjoon tidak kunjung selesai mengurus administrasi, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berbincang bersama Wendy.
"Sudah makan siang?" tanyaku sambil menatap kedua mata Wendy.
"Sudah, masalah makan, aku tidak akan lupa," jawab Wendy dan tiba-tiba ponsel Wendy berbunyi. Wendy kembali menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri sambil berbicara melalui ponsel. Hingga Wendy melambaikan tangan pada seorang perempuan yang ada di dekat pintu masuk. "Kakak!"
Di Rumah Sakit, setiap hari pasti ada orang yang meninggal. Di mana jika ada orang yang meninggal, pasti akan ada keluarga yang merasa kehilangan.
Kurasa orang berharga Wendy yang dirawat di sini adalah salah satu anggota keluarganya. Sedaritadi Wendy menunggu seseorang yang merupakan kakaknya sendiri. Dan biar kutebak, mereka pasti bertukar giliran jaga.
"Kakak, akhirnya datang juga," kata Wendy pada kakak perempuannya yang barusan tiba di tempat kami. "Aku sudah terlambat kerja."
Kakak Wendy itu menatap Wendy dengan wajah bersalah. "Maaf, kamu boleh pergi sekarang, Wendy. Selamat bekerja!"
Setelah berkata seperti itu, Kakak Wendy segera berlari menuju lift. Terlihat kelegaan di wajah Wendy yang begitu rupawan.
"Kalau begitu aku berangkat kerja dulu," ujar Wendy padaku sambil menenteng tas gitarnya.
Aku mengangguk cepat dan tatapanku tidak bisa lepas sedetikpun dari Wendy. "Hati-hati, Wendy."
Banyak hal yang ingin kukatakan pada Wendy. Aku ingin memperingatinya untuk mengancingkan jaketnya dengan benar agar tubuhnya hangat. Aku ingin memperingatinya untuk berjalan dengan pelan agar tidak terpeleset.
Sayangnya aku tidak pandai dalam menyusun kata-kata.
Selama menatap kepergian Wendy, aku jadi penasaran dengan pekerjaan perempuan itu. Dia membawa gitar, apa itu artinya Wendy bekerja di suatu perusahaan rekaman?
Ah, sial, aku penasaran! Harusnya aku meminta nomor telepon Wendy.
"Suga! Maaf lama," kata Namjoon yang tiba-tiba muncul dari belakangku. "Hmm? Kamu liatin siapa?"
Aku segera bangkit berdiri dan menatap Namjoon tajam. "Namjoon, koneksimu di dunia musik lumayan luas, kan?"
Namjoon menatapku heran. "Iya, lumayan. Memangnya kenapa?"
Tanpa basa-basi lagi, aku segera bertanya, "Apa kamu tahu produser atau komposer atau penulis lirik bernama Wendy?"
Namjoon yang jenius itu menggelengkan kepala dalam hitungan detik. "Aku tidak pernah dengar nama itu."
Yah, sayang sekali. Padahal bisa saja Wendy membantuku mencari perempuan pemilik suara yang kusuka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...