39

821 193 34
                                    

[ WENDY ]

Sejak Mama divonis mengidap kanker payudara, setiap hari terhitung berharga untukku.

Aku takut saat Mama tidur, beliau tidak akan bangun lagi. Aku juga takut saat Mama bangun, hari itu akan menjadi hari terakhir Mama di dunia.

Yang membuatku kagum pada Mama adalah beliau selalu tersenyum, sesulit apapun kondisi dan situasi yang ada. Mama tetap tersenyum di detik-detik terakhir sebelum menjalani kemoterapi juga tetap tersenyum saat mendengar perkataan Dokter.

Mama adalah panutanku, wanita tegar yang mendampingi Papa tanpa kenal lelah, orang tua yang memastikan hidup aku dan Kakak terpenuhi.

Ibarat benda langit, Mama adalah matahari. Sinar yang menyambutku di pagi hari dan menjagaku dari sisi lain saat malam hari.

Dukungan dari Mama adalah motivasiku untuk terus bekerja keras. Di saat aku kesulitan dan menangis, Mama selalu membantuku tanpa bertanya apa masalahku.

Tidak ada yang memahamiku di dunia ini, selain Mama.

"Kamu kembali kerja saja besok," ujar Mama sambil membaca majalah fashion. "Mama akan jadi orang jahat kalau terus-terusan mengurungmu di Rumah Sakit."

Aku menggeleng. "Aku sama sekali tidak merasa terkurung, Mama."

Hari ini adalah hari terakhir aku menjaga Mama sendirian. Sebentar lagi Papa akan kembali dari dinas luar negri, sehingga beliau bisa bergantian menjaga Mama bersamaku. Sedangkan Kakak hanya bisa menjaga Mama saat jadwal kerjanya selesai.

Dibandingkan mereka, uang yang kuhasilkan tidak ada apa-apanya. Dan juga, aku ingin menghabiskan banyak waktu bersama Mama.

Mama menutup majalah fashion kemudian menatapku lembut. "Kalo kamu di sini, kamu sama sekali tidak berkembang. Kamu mau jadi penyanyi, 'kan? Kamu harus keluar dan mencari inspirasi!"

Aku hanya bisa tersenyum. Suatu hari, aku ingin menjadi orang tua seperti Mama. Aku ingin memotivasi anakku seperti yang dilakukan Mama saat ini.

"Lalu, Mama ingin kamu bertemu banyak orang," lanjut Mama bercerita. "Karena setiap orang itu memiliki sifat berbeda. Dengan berinteraksi dengan mereka, pandanganmu akan menjadi luas. Dan kamu bisa menyanyikan lagu apapun."

"Bilang saja kalau Mama mau bertemu teman-temanku," sambungku yakin.

"Benar sekali," balas Mama. "Kapan Mama bisa ketemu Irene lagi? Sudah lama sekali, 'kan? Mama juga mau ketemu teman-temanmu di Café Hometown."

Aku mengangkat bahu. "Mereka bisa menunggu. Yang penting, Mama sehat dulu."

"Dan Mama mau ketemu laki-laki yang mengantarmu beberapa waktu lalu," ujar Mama sambil tersenyum usil.

"Laki-laki siapa?" tanyaku bingung. Memangnya aku pernah membawa seorang laki-laki ke hadapan Mama?

"Aduh, yang antar kamu ke Rumah Sakit waktu kondisi Mama kritis. Kamu lupa?" tanya Mama penuh harap.

Aku menggigit bibir. "Maksud Mama itu Suga? Dia orang aneh lho, Ma."

"Orang aneh gimana?" tanya Mama penasaran.

"Aneh banget," jawabku yakin. "Seperti patung es yang hidup. Dingin banget, setiap aku bilang 'terima kasih', dia selalu marah."

Mama hanya tertawa mendengar ceritaku. Apa menurut Mama, laki-laki seperti Suga itu menarik? Lagipula pertemuanku dengan Suga itu murni kebetulan yang tidak disengaja.

Daripada Suga, aku lebih ingin mengenalkan Mama pada Mark. Yup, Mark sang manajer Café Hometown yang sudah membantuku selama ini.

Mark itu laki-laki ajaib yang bisa membaca pikiranku dan memahami isi hatiku hanya melalui kata-kata. Mark benar-benar pekerja keras dan sangat baik pada orang-orang sekitarnya.

Tapi bukan sekarang. Aku harus bisa memastikan kondisi Mama baik-baik saja. Baru aku bisa kembali bekerja di Café Hometown dan bertemu Mark lagi.

Pintu ruang rawat Mama terbuka dan Papa dengan wajah sembab masuk, menghampiriku dan Mama. Beliau langsung memeluk Mama sangat erat, membuatku terkejut.

"Papa? Ada apa?" tanyaku khawatir.

Kebiasaan Papa sebelum masuk untuk mengunjungi Mama adalah bertemu dengan Dokter yang menangani Mama. Aku jadi takut, jangan-jangan Dokter memberi kabar buruk untuk Papa. Kabar buruk untuk keluarga kami.

"Papa? Lepas, dong? Sesak, nih," kata Mama sambil tersenyum dan menepuk punggung Papa.

Meski sudah dibilang seperti itu oleh Mama, Papa tetap memeluk wanita yang sudah mendampingi hidup Papa selama 30 tahun itu.

"Mama, terima kasih sudah sabar, ya," ujar Papa begitu lembut. "Mama bisa sembuh, kok. Sebentar lagi Mama sembuh."

Aku membelalakkan mata. Benarkah? Apa benar Mama bisa sembuh?

"Papa serius?" tanyaku dengan suara keras.

Papa akhirnya melepas pelukannya pada Mama dan tersenyum ke arahku. Papa kemudian menunjukkan sebuah kertas yang ternyata surat rujukan untuk operasi di sebuah Rumah Sakit khusus kanker.

"Akhirnya Mama bisa menjalani operasi pengangkatan kanker," jelas Papa dan jarinya menunjuk sebuah kalimat di surat rujukan. "Lokasinya di Belanda."

Aku tidak percaya ini. Akhirnya! Setelah hampir dua tahun, kanker Mama bisa diangkat! Sel-sel jahat yang sudah menyakiti Mama bisa pergi.

Dan untuk pertama kalinya setelah divonis Dokter, aku melihat Mama menangis. Mama menangis hingga pipi beliau benar-benar basah karena air mata.

Aku segera menghampiri Mama dan memeluk beliau. Aku senang melihat Mama menangis bahagia. Ini perasaan yang benar-benar berbeda, yang tidak bisa aku deskripsikan.

"Terima kasih, ya," kata Mama sambil terisak. "Terima kasih kalian mau bekerja keras untuk Mama."

Aku menangis di pelukan Mama. Ini sudah ratusan kali aku menangis di depan Mama dengan perasaan yang sama. Aku ingin Mama cepat sembuh. Aku ingin kami sekeluarga bisa tinggal serumah lagi.

"Karena tiket pesawat dan biaya hidup di sana sangat mahal, hanya Papa yang akan mendampingi Mama," jelas Papa sambil mengusap rambutku. "Kakakmu juga sudah diberitahu tentang ini. Kamu tidak keberatan, 'kan?"

Aku menggeleng. Aku sama sekali tidak keberatan. Sebentar lagi. Sebentar lagi menuju hari-hari yang lebih menyenangkan bersama keluargaku.

"Wendy mau janji satu hal sama Mama?" tanya Mama dengan tangan yang lembut menepuk punggungku. "Setelah Mama pulang dari Belanda, Mama nggak mau lihat Wendy menahan diri lagi. Wendy harus maju untuk mimpi Wendy. Oke?"

Aku tidak akan setengah-setengah lagi.

Aku pasti akan berdiri di atas panggung besar dan bernyanyi untuk Mama.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang