[ SUGA ]
Tidurku sama sekali tidak nyenyak. Aku sudah biasa tidur di dalam studio, tapi ternyata tidur di mobil rasanya lebih menyesakkan.
Aku membaca jam digital yang ada di mobilku. Pukul lima pagi dan aku masih ada di tempat parkir Rumah Sakit. Entah berapa biaya parkir yang harus kubayar nanti.
Udara pagi begitu menyejukkan. Kalau bukan karena tidurku yang tidak nyenyak, mungkin aku tidak akan bertemu matahari pagi hari ini.
Perhatianku beralih pada ponselku yang ada di saku. Ada beberapa pesan masuk dan telepon yang tidak kujawab dari Wendy. Celaka, bagaimana bisa aku melewatkan semua notifikasi ini?
Daripada balik menelepon Wendy, aku memilih untuk keluar dari mobil dan menemui perempuan itu. Aku yakin Wendy masih di Rumah Sakit, tidak mungkin dia meninggalkan tempat ini.
Aku menekan tombol lift yang akan mengantarku ke lantai atas. Pintu lift terbuka di lantaiku dan aku hampir saja masuk ke dalam jika tidak melihat Wendy yang hendak keluar.
"Ah, Suga. Selamat pagi," sapa Wendy setelah keluar dari lift. "Aku baru saja mau ke mobilmu untuk membangunkanmu."
"Aku juga" ujarku cepat. "Aku baru saja mau ke atas untuk ketemu kamu."
Wendy tertawa kecil. Memang aneh, sejak pertemuan pertama, kami tidak pernah bertemu atas dasar inisiatif kami sendiri. Kami selalu dipertemukan oleh takdir.
Beberapa menit kemudian, kami pindah tempat dari depan lift menuju restoran Rumah Sakit. Dan beruntung sekali aku bisa dapat nasi goreng dengan harga murah berkat sarapan bersama Wendy.
"Jadi? Ada apa kamu mengirimku banyak pesan dan meneleponku berkali-kali?" tanyaku pada Wendy yang pagi ini wajahnya terlihat cerah.
"Ah, aku mau memberitamu tentang kondisi Mama," jawab Wendy. "Mama sudah bangun dan kondisi Mama sudah tidak kritis."
Aku menghela napas lega. "Syukurlah, aku ikut senang mendengar itu."
"Terima kasih, Suga," ucap Wendy sambil tersenyum.
Aduh, ini lagi, ini lagi. "Sudah kubilang, jangan berterima kasih padaku—"
"Dan Tuhan," kata Wendy cepat. "Aku belum selesai bicara tapi kamu sudah mengeluh saja."
Wendy memang perempuan yang beda dari perempuan yang selama ini pernah bertemu denganku. Perempuan lain selalu tampak ketakutan padaku, sedangkan Wendy tidak.
"Hmm, sampai mana tadi, ya?" gumam Wendy. "Oh, ya. Aku boleh minta tolong satu hal?"
Aku mengangkat alis. Wendy mau meminta pertolonganku lagi?
"Minta tolong apa?" tanyaku memastikan.
"Apa kamu bisa ke tempat kerjaku?" tanya Wendy dengan nada memohon. "Katakan pada manajer atau siapapun di sana kalau aku tidak bisa datang kerja untuk sementara waktu."
"Kenapa kamu tidak bilang sendiri pada manajermu?" tanyaku kembali.
Lagi-lagi aku kembali penasaran dengan pekerjaan Wendy. Aku pernah melihatnya membawa tas berisi gitar. Lalu kemarin aku melihatnya menulis lirik lagu. Sekarang Wendy memintaku menemui manajernya?
"Kalau aku bilang sendiri, aku pasti akan ditanya macam-macam oleh manajer," jelas Wendy. "Aku tidak ingin siapapun tahu kondisi keluargaku. Karena itu kumohon, Suga. Lagipula aku nggak berani meninggalkan Mama."
Tidaaaaak, jangan menatapku dengan tatapan memelas seperti itu, Wendy! Aku jauh lebih suka melihatmu tertawa, bukan memelas seperti ini.
"Baiklah, baiklah. Aku akan menemui manajermu dan memberinya alasan masuk akal," kataku kemudian mata Wendy berkaca-kaca. "Hei, jangan menangis!"
"Kamu baik sekali," ujar Wendy sedikit terisak. "Terima kasih, Suga."
Aku menghela napas. Sudah berapa kali Wendy berterima kasih padaku? Ini semua terlalu berlebihan. "Sama-sama. Sekarang, katakan tempat kerjamu."
"Café Hometown," jawab Wendy sambil mengusap matanya.
Lho? Café? Tunggu. Sebenarnya pekerjaan Wendy itu apa? Aku benar-benar bingung.
"Kamu tahu tempatnya?" tanya Wendy membuyarkan lamunanku.
Café Hometown? Oh, aku ingat. Ada sebuah café dekat Antena Records tempatku bekerja dulu dan kalau tidak salah, café itu memang bernama Café Hometown. "Aku tahu."
Wendy tersenyum senang. "Tolong katakan pada manajer di sana kalau aku pasti akan kembali bekerja secepat mungkin. Nama manajer di sana Mark Tuan."
"Mark Tuan? Oke," sahutku. "Ada yang bisa kubantu lagi?"
Ada apa denganku hari ini? Aku benar-benar aneh. Biasanya aku sangat malas jika diminta tolong oleh orang lain, tapi aku baru saja menawari Wendy bantuanku.
Argh, ini pasti karena tidurku yang tidak nyenyak semalam.
"Lalu? Kenapa tadi kamu ingin menemuiku?" tanya Wendy sambil melahap sarapannya yang sudah habis setengah.
Aku menggeleng. "Nggak, aku hanya khawatir karena kamu meneleponku berkali-kali tapi nggak kuangkat. Aku benar-benar panik."
"Kamu tidak perlu khawatir lagi," ujar Wendy lembut. "Aku sudah jauh lebih baik dibandingkan kemarin. Kamu boleh pulang, terima kasih, Suga."
Setelah sarapan kami berdua habis, aku dan Wendy sama-sama pergi ke tempat mobilku. Wendy memutuskan untuk ikut bersamaku karena ia ingin pergi ke toko bunga. Wendy mau mengganti bunga yang ada di ruangan tempat mamanya dirawat.
Aku menurunkan Wendy di toko bunga terdekat dari Rumah Sakit. Aku juga memastikan letak Café Hometown pada Wendy karena setelah ini aku akan langsung pergi ke sana.
"Oh, ya. Aku hampir lupa," Wendy mengeluarkan secarik kertas dari sakunya kemudian menyerahkannya padaku. "Tolong berikan kertas ini pada manajerku."
"Apa ini?" tanyaku kemudian membaca tulisan di kertas yang kuterima. "Ini, 'kan, lirik lagu yang kamu tulis?"
Wendy mengangguk. "Tolong katakan pada manajerku bahwa hanya itu yang bisa kutulis. Aku akan merekam nadanya nanti dan mengirimnya lewat LINE."
Oke, aku benar-benar bingung sekarang. Sebenarnya pekerjaan Wendy itu apa? Penulis lirik? Tapi mana mungkin Wendy menulis lirik di sebuah café? Pelayan café? Tapi mana mungkin pelayan café bisa mengatur sesuka hati waktu bekerja mereka?
Saat aku hendak bertanya lebih jauh, Wendy sudah turun dari mobilku dan masuk ke dalam toko bunga. Dan Wendy tidak berterima kasih padaku.
Ya sudahlah, toh setelah ini aku akan pergi ke Café Hometown.
Akan kupastikan sendiri tempat Wendy bekerja.
Akan kuikuti takdir yang sepertinya sudah ditentukan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfic[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...