22

1K 236 22
                                    

[ WENDY ]

Apa ini hanya perasaanku, tapi mengapa hari ini Mark berubah menjadi sangat cerewet?

Sejak kali pertama aku memasuki Café Hometown, Mark terlihat sangat bersemangat. Dia mulai bercerita tentang kunjungannya ke tempat kerja Irene beberapa hari yang lalu.

Lantas kenapa, Mark? Aku juga pernah menemani Irene ke tempat kerjanya.

Beruntunglah Jaebum segera mengingatkan Mark akan pekerjaannya dan aku bisa bernyanyi dengan tenang selama satu setengah jam.

Tapi perkiraanku salah, Mark justru datang membawakanku segelas Seoul Latte—seperti biasa—dan kembali bercerita soal kehidupannya di Los Angeles.

"Kamu tahu Walk of Fame? Itu tempat terkenal di Los Angeles," jelas Mark. "Aku ingin sekali namaku suatu hari terukir di sana sebagai aktor di Hollywood."

Dan karena harus mendengarkan cerita Mark, aku terpaksa menghabiskan banyak waktu untuk meneguk Seoul Latte. Bahkan kehangatan Seoul Latte sudah hilang ditelan nafas Mark yang dingin.

"Tapi aku yakin kamu pasti akan suka jika datang ke Grammy Museum," lanjut Mark. "Di sana kamu bisa tahu semua hal tentang Grammy Awards, mulai dari sejarah sampai pemenang-pemenangnya."

Aku tersenyum ringan. "Apa karena aku suka bernyanyi, aku akan suka dengan tempat itu?"

"Of course," jawab Mark dengan nada bangga. "Di Los Angeles, seniman seperti kita bebas berkarya."

Seniman, ya? Apa orang sepertiku yang sudah menyerah mengejar impian bisa disebut sebagai seniman? Seorang seniman akan berkarya untuk menunjukkan warnanya pada dunia. Sedangkan aku bernyanyi untuk mendapat uang, demi kesembuhan Mama.

"Kamu pasti bahagia tinggal di sana," komentarku. "Kurasa di sana segalanya akan mudah."

Kali ini Mark menggeleng. "Percayalah, Wendy, Hollywood tidak seindah yang kamu bayangkan. Di sana, segala hal tidak dapat diprediksi."

"Contohnya?" tanyaku sambil menatap Mark. Sejak kapan aku merasa bahwa berada sedekat ini dengan Mark bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan?

"Kamu mau contoh? Aku adalah contoh," jawab Mark kemudian ia menghela napas. "Padahal aku sudah mengikuti berbagai macam audisi dan aku sudah menyusun strategi untuk memiliki karir stabil di Hollywood. Tapi aku tidak pernah lolos audisi!"

Lucu sekali melihat Mark bercerita seperti ini. Di perjumpaan kami seminggu lalu, Mark tidak terlalu banyak bicara. Dan hari ini ia berubah menjadi sangat cerewet.

"Menyusun strategi, ya? Jadi kamu bukan orang yang berani mengambil resiko?" gumamku kemudian Mark mengangguk. "Ah, kamu pengecut."

"Apa kamu bilang?" Mark yang terdengar kesal langsung mencubit pipiku lembut. "Aku tidak pengecut. Asal kamu tahu, strategiku itu sangat sempurna."

"Contohnya?" tanyaku dengan nada yang sama seperti tadi.

"Kamu mau contoh? Oke," Mark menarik napas panjang. "Aku selalu mengikuti audisi untuk peran-peran kecil, tapi peran itu terbilang penting. Dan aku juga termasuk selektif dalam memilih cerita."

"Oooh," balasku sebagai tanda bahwa aku paham dengan strategi yang disusun Mark.

"Di audisi terakhirku, aku ingin mengambil peran seorang laki-laki yang menjadi tetangga sebuah keluarga," cerita Mark. "Dan laki-laki itu akan membantu satu keluarga itu kembali ke kampung halaman mereka."

Aku hanya bisa diam mendengarkan. Laki-laki seperti Mark ternyata menaruh hati pada cerita drama yang sudah pasti akhirnya akan menyentuh penonton.

Padahal kupikir Mark akan suka dengan genre action atau thriller yang sering memakai aktor keturunan Asia sebagai pemerannya.

"Lalu ada lagi, cerita tentang laki-laki yang baru saja keluar dari penjara dan bertemu dengan perempuan yang mengalami gangguan jiwa," lanjut Mark. "Dan aku audisi sebagai asisten dari dokter yang menangani perempuan itu."

Bibirku mengeluarkan tawa. "Kamu benar-benar mengambil peran yang hanya lewat sesaat, ya?"

Mark yang semakin kesal kembali mencubit pipiku. "Justru itu cara aman! Aku harus mengambil peran kecil dulu, baru aku akan menjadi tokoh utama!"

Sejak kapan Mark bisa berubah menjadi sangat menggemaskan? Ini sangat menyenangkan untuk kusaksikan.

"Well, sekarang kamu adalah tokoh utama di Café Hometown," sahutku. "You're the coolest person in here, you own this place. Manajer Mark."

"Yes, yes, thank you," jawab Mark pasrah. Aku kembali tertawa. "Tapi serius, strategiku jenius, 'kan?"

Dan entah mengapa aku menggeleng dan seperti dugaanku, Mark mencubit pipiku lagi. Aku benar-benar suka saat Mark mencubit pipiku. Tidak sakit, tapi begitu adiktif.

"Tell me more about your audition," ujarku penuh harap. "Cerita seperti apa lagi yang kamu pilih untuk audisi?"

"Hmm, ada satu cerita yang pernah dipilihkan Ayahku," jelas Mark. "Tentang seorang wanita yang membesarkan tiga anak perempuan seorang diri. Dan aku mengambil audisi sebagai pacar dari anak pertama wanita itu."

Aku mengerutkan kening. "Kenapa Ayahmu memilih cerita seperti itu?"

Mark menggigit bibir. "Kurasa karena beliau ingin sesekali melihatku berkencan dengan perempuan. You know, I'm not popular in my school. Aku kalah tinggi, kalah gagah, kalah segala-galanya."

Kurasa hidup Mark berubah drastis sejak dia pindah ke Seoul. Di Los Angeles, dia bagaikan sebuah batu yang tidak menarik. Tapi di sini, Mark bagaikan permata berkilau yang sangat menonjol.

"Aku ingin tahu semua cerita yang kamu pilih untuk audisi," ungkapku jujur. "Semuanya terdengar menarik."

Mark menggeleng. "Kurasa sekarang sudah saatnya kamu pulang, Wendy. Lihat, di luar sudah gelap."

Aku memalingkan pandangan ke jendela Café Hometown yang memperlihatkan jalanan Kota Seoul yang sudah lumayan ramai oleh orang-orang yang hendak pulang.

Yah, ini saatnya aku kembali ke Rumah Sakit untuk menemani Mama. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa sangat betah di Café Hometown, tidak ingin pergi dari tempat ini.

"Perlu kuantar?" tanya Mark yang sepertinya salah mengartikan ekspresiku sebagai kecemasan.

Dengan cepat aku menggeleng. "Tidak usah. Kamu di sini saja, wahai tokoh utama."

Sebelum keluar dari Café Hometown, Mark memberiku sebuah amplop yang berisi uang hasil kerja kerasku bernyanyi di sini. Ya Tuhan, ini adalah gaji pertamaku.

"Sampai jumpa besok," ujar Mark lembut.

Aku mengangkat leherku sedikit untuk melihat wajah Mark yang lebih tinggi dariku. "Sampai jumpa besok, Mark."

Selama perjalanan ke Rumah Sakit, aku jadi berpikir apa arti Café Hometown untukku. Jika Mark adalah tokoh utama di Café Hometown, maka apalah aku?

Apa aku seorang tokoh pembantu? Atau tokoh yang hanya muncul beberapa saat? Atau tokoh yang pernah singgah, tapi pada akhirnya tidak akan kembali ke tempat yang sama?

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang