57

814 183 28
                                    

[ SUGA ]

Ting tong!

Bel apartemenku berbunyi, membuatku menjauhkan diri dari sofa dan segera berjalan untuk membuka pintu, sambil berpikir apakah keputusan yang kubuat sudah benar.

Tadi aku menelepon Wendy karena ingin membahas rencana kerja sama kami. Kalian ingat, 'kan, obrolan kami terputus karena Wendy memeluk Mark yang baru pulang kerja? Setelah itu aku segera menjauh dari Café Hometown dan pulang ke apartemen.

Syukurlah aku punya nomor telepon Wendy sehingga aku bisa menghubungi perempuan itu. Baru saja kutanya ingin bertemu di mana, Wendy bilang dia yang akan datang ke apartemenku. Langsung saja kuberikan alamat apartemenku pada Wendy.

Ini sudah hampir jam 8 malam, sih, tapi aku yakin diskusi kami akan selesai dalam waktu kurang dari satu jam. Setelah itu aku akan mengatar Wendy ke rumahnya.

Aku membuka pintu tanpa memastikan siapa yang datang. Tebakanku benar, Wendy sudah tiba di apartemenku dan kini ia berdiri di hadapanku. Tapi ada yang aneh. Bagian bawah mata Wendy membengkak.

"Ekhem," aku membersihkan tenggoranku. Ada apa ini? Aku sangat gugup. "Kamu nggak tersesat, 'kan?"

Tiba-tiba, tidak ada angin tidak ada hujan, Wendy menangis. Aku benar-benar panik. Apa yang salah dari pertanyaanku hingga air mata Wendy bisa menetes?

"Wendy, ada apa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanyaku khawatir. Tapi Wendy tidak memberi respon apapun dan tangisannya semakin kencang.

Setelah itu Wendy berkata, "Rasanya nggak benar aku datang ke sini. Aku pulang, ya."

Hah? Jangan bercanda! Mana mungkin aku akan membiarkan Wendy pulang dalam keadaan seperti ini? Kalau bagian keamanan saat ini melihat CCTV, aku bisa dianggap telah melakukan suatu hal yang buruk padanya.

Aku menarik pergelangan tangan Wendy. "Masuk saja dulu. Di dalam ada sofa. Aku juga bisa membuatkan teh hangat."

Oke, aku agak menyesal telah menawarkan Wendy segelas teh hangat. Aku tidak pernah menyeduh teh hangat untuk orang lain dan aku yakin menu di Café Hometown rasanya jauh lebih enak.

"Sebentar saja, ya," ujar Wendy mengejutkanku kemudian berjalan melewatiku dan masuk ke dalam apartemenku.

Rasa penasaran menghantuiku. Sudah pernah kubilang, 'kan, bahwa aku lebih suka melihat Wendy tertawa. Wendy yang sedang bersedih membuatku ikut sedih juga.

Wendy membaringkan diri di sofa tempat aku duduk tadi. Wendy segera meraih beberapa lembar tisu dan mengusap pipinya.

"Akan kubuatkan teh hangat," kataku canggung kemudian melesat ke dapur.

Aku harus fokus dan tidak boleh termakan rasa penasaran. Aku boleh berasumsi, 'kan? Mungkin terjadi masalah di Café Hometown. Apa Wendy dipecat? Apa Wendy bertengkar dengan Mark? Atau jangan-jangan berhubungan dengan sang Mama?

Oh, tidak. Aku benar-benar ingin tahu. Padahal aku bukan siapa-siapa bagi Wendy. Aku orang aneh yang tadi menariknya keluar dari Café Hometown karena begitu terpesona dengan suaranya.

Ya, ternyata pemilik suara yang selama ini aku cari adalah Wendy. Benar-benar keajaiban, cinta pertamaku ternyata orang yang aku kagumi selama ini. Itu berarti bakat Wendy luar biasa, karena dia bisa menyanyikan suatu lagu dengan penuh penghayatan.

"Gulanya yang banyak, ya,"

Aku melompat kaget karena Wendy sudah berdiri di sebelahku yang sedang menyeduh teh hangat. Sejak kapan dia ada di dapur?

"Oke, mau berapa kotak? Ambil saja," aku menyodorkan wadah yang berisi sugar cube pada Wendy.

Tangan Wendy segera meraup 10 sugar cube dan menunjukkannya padaku. "Sebanyak ini nggak apa-apa, 'kan? Semakin manis, tidurku bisa semakin nyenyak."

Mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya pada Wendy. "Apa ada masalah?"

Kumohon jangan menangis lagi. Aku tidak tahu cara menghentikan air matamu. Mengusap pipimu pun aku tidak berani, Wendy. Karena aku tidak pernah melakukannya. Aku tidak pernah sedekat ini dengan perempuan selain keluargaku.

"Aku bertengkar dengan sahabatku," ungkap Wendy dengan kepala menunduk. "Sebenarnya ini salahku karena aku menyimpan rahasia darinya. Padahal dia begitu sabar juga khawatir padaku."

Bertengkar dengan sahabat saja sudah bisa membuat Wendy menangis? Sebenarnya seberapa rapuh hatimu, Wendy? Aku jadi takut kalau sikap cuekku selama ini sudah menyakitimu.

"Aku sudah minta maaf, tapi aku rasa Irene butuh waktu sendiri dulu," lanjut Wendy.

Tunggu dulu. Irene? Apa maksud Wendy itu Bae Irene yang akan menjadi model MV kami? Ah, benar juga. Tadi aku melihat Wendy dan Irene saling melambaikan tangan.

Oh, iya. Besok aku harus mengawasi proses shooting MV. Dan tentu saja Irene akan hadir. Tidak, aku tidak boleh menceritakan hal ini pada Wendy. Bisa-bisa dia menangis lagi.

"Bukan hanya Irene, Mark juga sangat kecewa padaku," cerita Wendy masih dengan kepala tertunduk. "Aku sudah nggak berani bertemu mereka lagi."

Aku menuangkan teh hangat ke cangkir dan memasukkan 10 buah sugar cube sesuai permintaan Wendy. Ugh, rasanya pasti manis sekali. Aku tidak bisa membayangkan rasa manisnya di lidahku jika aku yang meminumnya.

Tapi Wendy bisa dengan santainya mengaduk, meminum, dan menelan teh hangat yang sudah kubuat. Ada yang bilang kalau kemanisan yang terlalu berlebih itu sama saja dengan pahit.

"Maaf, Suga. Aku pulang saja, ya?" kata Wendy kali ini ia tersenyum. Tapi senyumnya begitu dipaksakan. "Aku merasa diriku pengecut karena pergi ke apartemenmu. Dan dengan perasaan seperti ini, aku rasa diskusi kita nggak akan lancar."

Benar juga. Lebih baik Wendy pulang cepat hingga bisa segera tidur. Masalah diskusi ini bisa dilakukan besok atau lain hari.

Tapi bagaimana jika besok atau lain hari saat aku diskusi dengan Wendy, perempuan ini masih terlihat sedih? Bagaimana jika tawa Wendy tidak kembali lagi?

Aku tidak mau. Memikirkannya saja sudah membuatku tersiksa. Padahal aku bisa membantu Wendy karena saat ini ia punya masalah dengan sahabatnya.

Ayo berpikir. Apa yang biasa kulakukan saat mood-ku buruk? Pasti ada cara untuk membuat Wendy tertawa lagi. Aku harus berpikir jauh agar menemukan jawaban—

Itu dia. Aku harus membawa Wendy ke tempat yang jauh. Ke tempat ia bisa bernapas lega dan melepas semua bebannya. Tempat untuk mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri lagi.

Kakiku berlari menuju kamar dan mengambil kunci mobil. Aku juga mengambil dompet, ponsel, dan semua benda yang kubutuhkan di perjalanan nanti.

Setelah itu aku menghampiri Wendy yang berdiri bagaikan patung di dapur.

"Kamu nggak perlu pulang. Aku akan membawamu pergi. Kamu bisa tidur di mobilku," kataku meyakinkan.

Wendy menatapku bingung. "Kamu mau membawaku ke mana? Berapa lama?"

Aku tersenyum begitu tulus dengan harapan Wendy bisa tersenyum tulus juga setelah ini. "Ke suatu tempat yang sangat jauh, sampai kamu tahu bagaimana cara berbaikan dengan sahabatmu."








👠👠👠

After the Concert akan libur selama satu minggu karena masalah internal (laptop). Akan kembali menemani kalian 8 hari lagi.
Terima kasih, ya!

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang