[ MARK ]
Sama seperti stasiun TV yang tayang menghadirkan acara selama 24 jam untuk penonton, menjadi penulis naskah juga berarti tidak ada hari libur.
Karena hari ini Hari Sabtu, aku pikir tidak akan ada panggilan dari Penulis Choi, tapi ternyata aku salah. Beliau memintaku datang ke SBS TV dan menyuruhku mengganti semua dialog yang sudah kubuat.
Aku bahkan tidak sempat menikmati sarapan dengan tenang karena Penulis Choi terdengar panik di telepon. Aku menghabiskan bensin mobilku untuk perjalanan ke SBS TV, padahal aku bisa saja pergi menggunakan kendaraan umum.
Penulis Choi tidak menegurku. Yang menegurku adalah Kepala Naskah, orang yang memiliki jabatan tertinggi di lantai tempat aku bekerja. Entah siapa namanya, aku lupa. Yang pasti, wajah orang itu mirip dengan wajah Ayah, yang membuatku tidak berani menentang sedikitpun.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, sumber masalah sebenarnya datang dari Kepala Naskah. Beliau meminta Penulis Choi untuk menulis cerita yang lebih kelam karena sebentar lagi musim panas dan penonton butuh banyak adegan menegangkan.
Mendengar perintah itu, Penulis Choi, Asisten Kim, dan aku harus merombak semua pekerjaan yang sudah selesai, mulai dari karakter, alur, hingga naskah.
Baru dua hari menjadi asisten dan aku sudah kerja rodi.
Aku tarik kembali perkataanku kemarin bahwa hari pertama akan selalu menjadi yang tersulit. Karena ternyata, hari kedua justru membuat tubuhku kesakitan.
Selama berjam-jam aku bekerja di depan komputer, membolak-balik halaman naskah lama, mendengar semua keinginan Penulis Choi dan usulan yang diberikan Asisten Kim. Ternyata dibalik sebuah drama yang hit, ada proses pengerjaan naskah yang membunuh pegawai sepertiku.
"Ah, aku capek sekali," itu yang terucap dari bibirku setiap jam. Mungkin terdengar menyebalkan, tapi Asisten Kim juga mengangguk sebagai tanda setuju.
Hingga kami berdua ditegur oleh Penulis Choi, "Kalau kalian mengeluh lebih dari ini, lebih baik kalian pulang. Kalian harus bekerja secara profesional, oke?"
Profesional. Satu kata yang terdengar keren, tapi ternyata sulit untuk diterapkan. Aku harus merubah kebiasaanku mulai sekarang. Aku tidak boleh datang terlambat, bekerja dengan sepenuh hati, dan tidak mengeluh.
Bayangkan, ada berapa orang yang mengidamkan posisiku saat ini. Aku harus bekerja keras.
Kami berhasil mengerjakan naskah untuk 5 episode pertama saat jam pulang kerja. Syukurlah SBS TV sangat tegas dalam perlakuan pada pegawai, hingga kami memang harus pulang saat waktu pulang.
"Naskah kita akan dievaluasi seminggu lagi, sedangkan kita masih kurang 11 naskah untuk setiap episode. Aku harap kalian bekerja keras setiap kali menerima perintah revisi," jelas Penulis Choi dengan tatapan penuh harap, terutama padaku. "Kalian boleh pulang. Terima kasih banyak."
Asisten Kim mengajakku pergi ke klub untuk minum, tapi aku menolak. Aku tidak mau merusak tubuhku dengan alkohol, apalagi di tempat yang jauh dari orang tuaku.
Maka yang kulakukan adalah pergi ke tempat parkir, masuk ke dalam mobil, dan pulang menuju tempat terhangat yang aku tahu di Seoul. Ya, di mana lagi kalau bukan Café Hometown?
Hidupku sudah berubah. Dari pagi hingga siang, aku adalah seorang asisten penulis naskah. Sedangkan dari sore hingga malam, aku adalah seorang manajer Café Hometown.
"Selamat datang, hyung!" sambut Yugyeom saat aku baru turun dari mobil. "Aku baru mau pergi untuk cari makan malam. Hyung ada usul?"
Aku melirik jam tanganku. Saat ini pukul setengah lima. Memang setiap hari, pegawai Café Hometown akan bergantian pergi untuk membeli makan malam. "Apa saja boleh. Aku mandi dulu, ya."
Melalui pintu belakang, aku berjalan menuju lantai dua tempat kamarku berada. Aku segera membersihkan diri. Air hangat yang menyirami tubuhku seakan menghapus rasa lelahku.
Masih ada satu hal lagi yang kubutuhkan. Nyanyian Wendy, suara perempuan yang aku cintai. Dia pasti datang, 'kan? Dia bukan pengecut yang akan melarikan diri, 'kan?
Hari ini aku ingin berbicara dengan Wendy mengenai persahabatannya dengan Irene. Aku ingin mereka berbaikan secepat mungkin. Apalagi kemarin malam... Irene menyatakan perasaan padaku.
Aku sempat tidak percaya dan berpikir kalau itu semua adalah mimpi. Perempuan secantik Irene menyukaiku? Bagian mana dari diriku yang ia sukai? Coba kalian jawab untukku, bagian mana dari diriku yang kalian sukai?
Tentu saja aku tidak menolak Irene, aku tidak setega itu pada perempuan cantik. Kadang, pernyataan cinta hanya perlu disampaikan, bukan? Aku tidak perlu memberi jawaban apapun. Aku cukup bersikap seperti biasa pada Irene.
Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi, aku turun ke lantai dasar untuk meminum kopi. Aku berencana tidak tidur malam ini untuk mengumpulkan ide. Ya, aku juga harus mengumpulkan bahan untuk alur cerita.
Musim panas berarti horror, 'kan? Mari kita lihat, seperti apa cerita horror yang bisa kubuat.
"Hyung!" tiba-tiba Jinyoung memanggilku. "Wendy mana? Dia belum datang? Tumben sekali dia terlambat, orang-orang sudah menunggu penampilannya."
Mataku seketika membulat. Aku mengamati jam di dinding. Saat ini sudah pukul lima lebih dua puluh menit. Dan benar kata Jinyoung, tidak biasa sekali Wendy datang terlambat.
"Mungkin dia terlambat sekali ini saja," sambung Jaebum yang ternyata juga mendengar perkataan Jinyoung. "Mark, kamu punya nomor teleponnya, 'kan? Coba kamu hubungi. Jinyoung, kamu bilang ke pengunjung untuk menunggu sebentar lagi."
Memang aneh seorang manajer sepertiku diperintah oleh Jaebum, tapi dia memang pandai menangani situasi seperti ini. Dengan sigap aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi Wendy.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...
Rasa takut datang menghampiriku. Aku kembali ke masa saat Wendy menghilang, di mana setiap hari, aku dan Irene menghubungi Wendy, tapi jawaban yang kami dapat selalu sama. Nomor Wendy tidak aktif.
Setelah itu, aku tidak berani melirik ke jam lagi. Aku takut untuk mengetahui waktu, tapi emosiku meningkat setiap menit karena aku sadar, Wendy tidak kunjung datang.
Perasaanku mengatakan bahwa sudah hampir satu jam aku menunggu dan saat itulah aku melihat sosok Wendy di luar Café Hometown. Dan Wendy tidak sendirian. Dia datang bersama Suga, sambil tersenyum.
Sudah terlambat seperti ini dan dia masih berani tersenyum?
Kakiku otomatis melangkah menuju pintu dan membukanya. Wendy menatapku dengan tatapan polos. "Ah, Mark. Maaf, aku datang terlambat. Jalan macet sekali, baterai ponselku juga habis—"
"Kenapa tadi kamu nggak bilang?" sahut Suga memotong kalimat Wendy. "Harusnya kamu bisa pinjam ponselku dan menghubungi Mark."
"Memangnya kamu punya nomor Mark?" tanya Wendy pada Suga sambil mencibir.
Masa bodoh, lah, aku tidak peduli. Hari ini adalah hari terburuk dalam hidupku. Tidak ada satupun hal yang berjalan lancar hari ini. Aku disiksa di kantor dan hatiku dipermainkan oleh Wendy.
"Kamu pulang saja sekarang, aku beri kamu libur," ujarku tegas, sambil menahan marahku. Tapi aku sedikit berteriak saat berkata, "Aku nggak butuh penyanyi yang nggak profesional sepertimu, Wendy."
Tanpa menunggu Wendy berbicara lagi, aku membanting pintu Café Hometown. Aku tidak ingin melihat wajah Wendy, yang bisa membuatku marah kapan saja saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fiksi Penggemar[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...