[ IRENE ]
Aku tidak pernah merasa sekhawatir ini sebelumnya.
Tadi pagi aku mendapat telepon dari Mark dan ia memintaku untuk datang ke Café Hometown sebelum aku pergi kerja. Nada bicara Mark terdengar putus asa.
Dengan degub jantung yang tidak karuan, aku membuka pintu Café Hometown. Aku langsung menangkap sosok Mark yang sudah menungguku di sebuah meja.
Dan Mark tidak sendirian karena di meja tersebut sudah ada segelas Creamy Daegu langgananku. Mark menatap jendela dengan tatapan kosong.
Aku segera mengambil duduk di hadapannya kemudian menepuk lengannya lembut. Mark langsung sadar bahwa aku sudah tiba.
"Oh, Irene. Maaf aku melamun," kata Mark dengan suara pelan.
"Aku baru datang, kok," balasku sambil tersenyum. "Kamu mau membicarakan apa, Mark?"
Tangan Mark bergerak untuk mengambil sebuah kertas dari sakunya. Sebuah kertas yang isinya adalah lirik lagu dengan tulisan tangan Wendy. Lirik lagu yang sudah sempurna.
"Ah, lirik dari Wendy sudah selesai, ya?" tanyaku sambil menerima kertas tersebut. "Wendy mana? Hari ini jadwal dia kerja, 'kan?"
Hari ini adalah Hari Jumat dan seharusnya Wendy sudah tiba di Café Hometown untuk bernyanyi selama dua jam. Meski aku harus pergi di tengah pertunjukan karena pekerjaan, tidak ada salahnya, 'kan, aku melihat Wendy sebentar?
"Wendy nggak datang," jawab Mark membuat tanganku yang hendak meraih gelas Creamy Daegu berhenti.
Keningku berkerut. "Kenapa dia nggak datang? Kalian bertengkar?"
Mark menggeleng cepat. "Tadi pagi, ada laki-laki yang datang ke Café Hometown dan memberitahuku kalau Wendy nggak bisa bekerja untuk sementara waktu. Dia juga yang menyerahkan kertas lirik itu padaku."
Apa? Wendy tidak bisa bekerja untuk sementara waktu?
Aku jadi ingat beberapa bulan lalu saat aku baru bekerja sebagai model, Wendy selalu menemaniku ke tempat kerja. Dan secara tiba-tiba juga dia bilang tidak bisa menemaniku untuk sementara waktu.
Tapi saat itu, Wendy mengatakannya sendiri padaku. Bukan melalui orang lain.
Ada sesuatu yang aneh di sini. Aku sudah menduga kalau Wendy memiliki masalah yang dia sembunyikan dariku, tapi aku tidak tahu kalau masalahnya masih ada hingga hari ini.
"Siapa nama laki-laki itu?" tanyaku pada Mark kemudian meraih Creamy Daegu dengan tanganku.
Mark menggerutu. "Argh, Suga? Ya, kalau nggak salah, laki-laki itu bernama Suga. Kamu kenal?"
Aku menggeleng. Suga? Entah mengapa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Di televisi? Di radio?
"Aku sudah menghubungi Wendy, tapi Wendy nggak memberi respon," cerita Mark setelah menghela napas. "Aku benar-benar khawatir."
Jujur, aku juga sama khawatirnya dengan Mark. Aku segera menyalakan ponsel dan membuka internet untuk mencaritahu siapa itu Suga.
Dan hasilnya benar-benar mengejutkan. Suga yang bertemu dengan Mark tadi pagi adalah Suga sang produser dari Antena Records. Ya Tuhan, aku tidak mimpi, 'kan?
"Mark, aku rasa kamu nggak perlu terlalu khawatir," ujarku kemudian memberikan ponselku pada Mark. "Ternyata Suga itu produser muda yang jenius!"
Mark membelalakkan mata. "Serius? Jadi Wendy sudah bertemu dengan orang sehebat dia?"
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi bukankah ini pertanda bagus? Wendy juga ternyata diam-diam berjuang untuk impian kalian."
Kupikir Mark sudah bisa sedikit tersenyum, tapi ternyata tidak. Mark mengembalikan ponselku, masih dengan wajah frustasi.
"Tapi aku masih ragu," lanjut Mark. "Si Suga itu bilang, alasan Wendy ngga bisa datang kerja itu karena dia ada urusan di kampung halamannya."
Hah? Apa lagi ini?
Wendy adalah orang asli Seoul, kota ini, kota tempatku berada saat ini. Kampung halaman mana lagi yang Wendy punya?
"Kenapa aku jadi curiga?" gumamku bingung. "Mark, apa kamu tanya ke Suga, apa hubungan dia dengan Wendy?"
Mulut Mark mengaga lebar. "Astaga, aku nggak tanya! Aku benar-benar lupa."
Sekarang, apa yang harus kulakukan? Wendy tidak memberi kabar apapun padaku, sedangkan Mark membutuhkan Wendy untuk mewujudkan impian mereka.
Baru beberapa hari lalu aku bertekad ingin melihat Wendy dan Mark bersama, tapi hari ini mereka justru semakin menjauh.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Apa sejak awal ideku salah? Apa sejak awal aku harusnya diam dan membiarkan mereka berdua?
"Mark, maafkan aku," ucapku. "Gara-gara ideku, kamu jadi seperti ini."
"Seperti apa, Irene?" tanya Mark dengan senyum tipis. "Aku tetap Mark, Wendy tetap Wendy. Idemu bagus dan tantangan seperti ini sebenarnya sudah biasa."
Aku tetap merasa bersalah. Saat mereka terpisah seperti ini, aku yang seharusnya penengah tidak bisa melakukan apapun.
"Tapi kamu terlihat benar-benar sedih," sahutku. "Kamu sedih karena hidup kamu nggak berjalan lancar?"
"Bukan, Irene," jawab Mark cepat. "Aku sedih karena Wendy nggak ada. Aku sudah pernah bilang padamu, 'kan? Aku suka Wendy. Karena itu saat Wendy tiba-tiba menghilang, aku merasa sedih."
Wendy benar-benar beruntung dicintai laki-laki seperti Mark. Aku akhirnya bisa tersenyum lagi. Aku hanya harus rajin menghubungi Wendy agar sahabatku itu mau kembali bekerja dalam waktu dekat.
Demi Wendy, aku rela melepas cintaku. Aku berharap, semoga perasaan Wendy pada Mark juga sama. Wendy pantas bahagia, begitu juga dengan Mark.
"Oh, ya, aku sudah menyelesaikan tujuh naskah webdrama," cerita Mark. "Kamu mau lihat?"
Aku mengangguk. "Tapi sampai jam kerjaku saja, ya."
Di luar dugaanku, Mark menunjukkan tatapan memelas. "Jangan pergi, Irene. Aku ingin kamu tetap di sini."
Ya Tuhan, apa kata Mark barusan? Aku tidak percaya.
Aku yakin, wajahku sudah memerah sekarang. Padahal, aku harus menahan perasaan ini. Aku tidak boleh membiarkan perasaan ini tumbuh lebih besar di hatiku.
"Irene, stay with me," kata Mark dan entah mengapa suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya.
Aku harus jawab apa?
👠👠👠
After the Concert masih bakal lama banget.
Kalian masih mau baca? :(
Dear readers, stay with me, ya!
사랑해 !
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...