9

1.3K 287 13
                                    

[ WENDY ]

Sejak turun dari taxi bersama Irene, mood-ku sudah sangat hancur.

Jauh di dalam lubuk hati, sebenarnya aku sama sekali tidak ingin datang ke tempat ini. Olympic Stadion, tempat konser natal tahunan diadakan. Di mana para penyanyi kebanggaan negri kami akan tampil memukau.

Datang ke sini hanya membuatku sadar bahwa kerja kerasku selama ini tidak ada apa-apanya dibandingkan para penyanyi lain. Aku tidak tahu apa yang mereka punya selain kerja keras. Koneksi? Uang? Atau keberuntungan?

Awalnya aku mengira mood-ku akan membaik setelah meminum segelas Seoul Latte dari Café Hometown. Aku akui, rasa minuman itu sangat enak. Benar-benar tidak kusangka.

Lalu mood-ku turun karena Irene menghilangkan tiket miliknya. Dengan cepat tadi aku berbohong dan memberikan tiketku pada Irene. Aku tahu Irene tidak akan memaafkanku jika ia tahu aku berbohong.

Aku berniat sembunyi di dekat toilet hingga konser berakhir dan seorang laki-laki baru saja datang padaku sambil menyerahkan tiket Irene yang hilang padaku. Laki-laki aneh yang hanya bisa berbicara Bahasa Inggris.

Wajahnya tidak terlihat begitu jelas karena penerangan di sekitar toilet sangat kurang. Aku hanya bisa mendengar suaranya yang sedikit cempreng dan agak serak. Aku tidak tahu bagaimana rupanya.

Dan sekarang laki-laki ini malah mengajakku masuk ke dalam Olympic Stadion. Ya Tuhan, seandainya ia tahu bahwa aku datang ke sini untuk memastikan tekadku.

Baru-baru ini aku diterima untuk menjadi penyanyi tetap di Café Hometown. Aku merasa senang, tentu saja, tapi aku juga tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Kondisi kesehatan Mama semakin memburuk dan aku butuh uang dalam jumlah besar untuk menyelamatkan beliau.

"Kamu bisa Bahasa Korea?" tanyaku pada laki-laki yang sedang berjalan di depanku, yang mengajakku masuk ke dalam dengan tiket yang ia temukan.

"Sedikit," jawabnya kaku.

Aku sudah merasa bahwa logat orang ini sedikit aneh. Apa ia orang asli Korea? Aku tidak bisa memastikan karena wajahnya tidak terlihat. Apa ia sudah lama tinggal di luar negri?

"Ayo, Wendy," panggilnya dengan nada menyuruh.

Kenapa dia tahu namaku? Aku bahkan belum memperkenalkan diri. Apa orang ini... Paranormal? Orang yang sengaja menjemputku di toilet dan mengajakku masuk ke dalam? Karena dia tahu diriku yang ada di ambang putus asa?

Orang bilang, Natal akan selalu dipenuhi keajaiban. Tapi aku tidak mau keajaibanku justru bertemu paranormal yang bisa menerawang diriku. Mengerikan.

Aku bersama laki-laki ini masuk tepat sebelum close gate. Lampu Olympic Stadion sudah mati total, tersisa beberapa yang menyala di panggung. Aku tidak bisa membaca tulisan tiket atau mencari wajah Irene di antara penonton.

"I see two empty seat," ujar laki-laki itu sambil menunjuk dua kursi kosong yang berada jauh di atas kami. "Do you want to?"

"Boleh," jawabku cepat. Aku malas membalas laki-laki itu dengan Bahasa Inggris. Ini di Korea Selatan, itu artinya ia harus mengikutiku berbicara Bahasa Korea!

Penyanyi pertama sudah membuka konser, aku dan laki-laki ini berjalan perlahan menaiki tangga untuk menuju dua kursi kosong yang kami tuju. Aku masih berusaha mencari Irene dan anak-anak dari Café Hometown. Mereka duduk di mana?

Sinyal ponsel begitu sekarat di dalam Olympic Stadion. Aku tidak dapat menghubungi Irene dan Irene juga pasti tidak dapat menghubungiku.

Aku terjebak bersama laki-laki asing yang kuanggap paranormal di Konser Natal tahun ini. Ya sudahlah, aku akan mencoba berpikir positif.

Keberadaan laki-laki ini tidak akan berpengaruh besar padaku. Jika aku duduk bersama Irene sekarang, sahabatku itu pasti sudah membahas impianku menjadi penyanyi sepanjang konser berlangsung.

"Do you want some drink?" tanya laki-laki asing ini padaku. Wajahnya masih tidak terlihat.

"Tidak usah. Aku sudah minum tadi," balasku cepat.

Laki-laki yang duduk di sebelahku ini mengangguk perlahan, aku dapat melihat sekilas gerakan kepalanya. "Café Hometown, ya?"

Aku mengernyit. "Jadi kamu melihatku di Café Hometown tadi? Karena itu kamu tahu namaku?"

Lagi-lagi aku dapat melihatnya mengangguk. "You're such a bad liar. But you're a kind friend."

Orang ini tahu aku berbohong. Laki-laki ini tahu Irene kehilangan tiketnya dan aku menggantinya dengan milikku. Siapa dia? Aku benar-benar penasaran. Apa ia salah satu pelanggan café yang tadi melihatku bersama Irene?

Seakan tahu kecemasanku, dia berkata, "Don't worry. I can keep it as secret. Now you just have to enjoy the concert."

Aku mengangkat bahu. "Aku tidak peduli. Kita juga tidak akan bertemu lagi, kan?"

"I think so," jawabnya dengan nada pasrah. Oh, apa ia kecewa?

Jangan bilang laki-laki ini menaruh perasaan padaku. Tidak heran sikapnya seperti paranormal. Ternyata dia penggemarku! Orang sepertiku yang sangat terombang-ambing ini memiliki seorang penggemar.

"Namamu siapa?" tanyaku sambil menatap wajahnya yang masih tersembunyi dalam kegelapan. Aneh rasanya berbicara dengan seseorang yang kita tidak tahu rupanya.

"Mark Tuan," katanya dan aku samar-samar bisa merasakan tatapan matanya. Padahal wajahnya saja tidak terlihat. "Senang bertemu denganmu, Wendy."

­­"Well, terima kasih sudah menemaniku nonton hari ini," sahutku.

Menit berikutnya, aku tidak berbicara lagi dengan Mark. Aku berusaha menikmati konser dan bernyanyi sedikit. Aku memang tidak bisa menahan diriku untuk tidak bernyanyi. Aku sangat suka bernyanyi.

Melihat orang-orang yang bernyanyi dengan leluasa membuatku iri. Kapan aku bisa seperti mereka? Aku ingin hobiku ini tersalurkan dan dapat menghasilkan uang untuk pengobatan Mama. Aku ingin berguna di keluargaku.

Aku tertinggal dibandingkan Papa dan Kak Seunghee. Mereka bisa bekerja sambil merawat Mama. Sedangkan aku, audisi saja tidak pernah lolos. Dan terkadang aku tidak bisa menghadapi Mama di Rumah Sakit.

Mama menaruh harapan besar padaku. Anak bungsu di keluarga Son. Anak perempuan dengan sifat keras kepala dan keberuntungan yang kecil. Aku memang mirip dengan Mama dan sebagai orang tua, Mama ingin melihatku sukses.

"Wendy," suara Mark tiba-tiba menyadarkanku. "Boleh tidur di pundakmu?"

Bibirku mengerucut. "Kenapa? Kamu tidak mau nonton konser?"

Mark meletakkan kepalanya di pundakku yang kecil. Aku tidak mengerti apa yang Mark rasakan. Apa ia merasa nyaman jika tidur di pundak tanpa daging seperti milikku?

"I'm having jet lag. Let me sleep until the concert end. Then you can leave me," kata Mark membuatku tidak bisa berkutik.

Aku merasakan sensasi aneh saat Mark tertidur pulas di pundakku. Aku merasa Mark juga pasti memiliki masalah. Aku merasa Mark datang ke konser ini untuk suatu alasan. Dan aku merasa, aku akan bertemu Mark lagi suatu hari.

Tapi orang asing tetaplah orang asing. Aku menonton konser hingga selesai dan meninggalkan Mark tidur di kursi setelah konser berakhir. Iya, aku memang jahat. Dan aku selalu siap untuk karma.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang