46

773 180 29
                                    

[ IRENE ]

Hari ini tanggal 28 Februari yang merupakan hari terakhir untuk bulan ini. Hari ini juga aku memiliki janji bersama Mark. Ya, hari ini adalah hari terakhir pengumpulan naskah ke Naver TV.

Sebenarnya editor majalahku sudah meminta naskah milik Mark dari jauh-jauh hari. Editor cemas karena mendengar gosip bahwa naskah yang terkumpul bulan ini ada sebanyak lebih dari 500.

Gila, bukan? Bahkan aku sendiri pesimis jika naskah milik Mark bisa masuk 10 besar. Untuk kategori webdrama saja persaingannya seketat ini. Bagaimana dengan naskah drama?

Karena kejadian ini juga, aku jadi tahu bahwa pekerjaan di balik layar sangatlah keren. Seperti di tempat kerjaku. Fotografer, editor, make-up artist, coordi, pekerjaan mereka semua sangat keren.

Dibandingkan dengan mereka, pekerjaanku biasa saja. Dengan wajah ini, aku cukup berpose dan berekspresi.

Aku sama sekali tidak berguna. Karena itu aku ingin membantu Wendy dan Mark. Aku ingin hidup mereka berarti, aku ingin mereka mengerjakan apa yang mereka suka.

Pintu studio terbuka, menampilkan sosok yang daritadi sudah kutunggu. Mark akhirnya datang. Aku buru-buru menghampiri Mark, menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke ruang tunggu, sebelum Mark bertemu dengan editorku.

"Kamu lucu sekali, Irene," ujar Mark dan itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir Mark setelah masuk ke dalam ruang tunggu.

Dan aku hanya bisa menghela napas. "Bisa gawat kalau kamu bertemu dengan editorku."

"Aku tahu," sahut Mark sambil tersenyum. "Terima kasih, Irene."

Kami berdua duduk di sofa. Mark mengeluarkan tujuh jilid naskah, masing-masing naskah untuk satu episode. Aku sudah membacanya lebih dari lima kali.

"Ada revisi?" tanyaku penasaran.

Mark menggeleng. "Nggak ada. Kurasa ini sudah kemampuan maksimalku."

"Baiklah, akan langsung kuserahkan pada editor setelah ini. Tiga hari lagi, naskah yang masuk sepuluh besar akan diumumkan," ujarku sambil menerima tujuh jilid naskah yang dibawa Mark.

"Tiga hari?" tanya Mark dengan kening berkerut. "Cepat sekali."

"Kata editorku, proses pemilihan naskah untuk sepuluh besar memang soal beruntung atau tidak beruntung," jelasku. "Kadang ada para direktur yang hanya membaca halaman pertama dari naskah itu dan dia langsung bisa menebak apa itu naskah yang bagus atau nggak."

Mark mengerucutkan bibirnya. "Oh, oke. Kurasa aku hanya bisa berdoa."

Urusan Mark ternyata belum selesai. Dia mengeluarkan sebuah plastik berisi CD padaku. Aku menatap Mark bingung. Apa ini?

"Bawa ini juga bersamamu," kata Mark dengan nada memohon. "Itu soundtrack yang sudah selesai dikerjakan Wendy."

Aku menerima CD itu dengan antusias. "Yang berjudul 'Stroberi' itu, ya? Sudah selesai? Aku boleh dengarkan?"

Dan anehnya, Mark menggeleng. "Itu lagu baru. Yang 'Stroberi' nggak jadi dipakai. Wendy membuat lagu yang benar-benar baru."

Tatapanku langsung tertuju pada CD yang ada di tanganku. Benarkah Wendy mengerjakan ulang lagunya? Seorang Wendy tidak akan melakukan sesuatu dari nol tanpa alasan.

"Wendy membuat lagu itu untukmu," lanjut Mark. "Aku sudah dengarkan dan lagu ini benar-benar cocok untuk webdrama-ku."

"Untukku?" gumamku kemudian Mark mengangguk.

Mark memegang pundakku, kemudian menatapku intens. "Bukan hanya kamu yang memikirkan Wendy. Sahabatmu itu juga benar-benar memikirkanmu. Dia membuat lagu ini sebagai permintaan maaf untukmu. Karena dia sudah membuatmu cemas terus."

Tangan Mark mencengkram bahuku begitu kuat. Mark seperti memaksa semua kesabaranku untuk keluar. Mark seakan memberitahuku untuk jujur terhadap perasaanku.

Kalau boleh jujur? Terkadang aku ragu pada diriku sendiri. Apa Wendy benar-benar menganggapku sahabatnya? Mengapa dia tidak pernah cerita apapun padaku? Apa yang salah dariku hingga Wendy sering pergi meninggalkanku tanpa kabar?

Dan sampai kapan aku harus menunggu?

"Aku ingin kamu menyerahkan CD itu ke editormu, bersama naskah yang kamu pegang sekarang," kata Mark serius.

Aku tersentak. "Tapi, 'kan, penyerahan CD untuk soundtrack baru bisa setelah naskah kamu masuk 10 besar—"

"Nggak, Irene. Aku tetap mau CD itu dibawa bersama naskahku," balas Mark lebih serius. "Aku mohon padamu, Irene. Paksa editormu dengarkan lagu itu. Aku sudah dengarkan sendiri dan lagu itu sangat bagus. Aku mohon."

Bagaimana ini? Aku tidak pernah memaksa orang lain sebelumnya. Aku tidak pandai dalam berargumen. Apalagi menghadapi editorku yang sangat disegani semua orang di studio? Mana mungkin aku bisa menang?

"Irene, aku tahu kamu bisa," ujar Mark seakan bisa membaca pikiranku.

Aku ingin menangis. Apa aku bisa? Tapi aku tidak ingin menjadi orang yang tidak berguna. Bukankah tadi aku sudah bertekad, kalau aku akan membantu Wendy dan Mark mewujudkan impian mereka?

Aku perlu memastikan sendiri, sebesar apa keinginan Mark terhadap impiannya. Terhadap impiannya bersama Wendy.

"Mark, kenapa kamu benar-benar memaksaku untuk memberikan CD ini pada editorku?" tanyaku hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan Mark.

Satu menit kemudian, baru Mark menjawab, "Aku sudah tahu bagaimana perasaan Wendy padaku. Wendy juga menyukaiku. Kami bahkan sudah berciuman. Di bibir, dua kali."

Mulutku terbuka membentuk huruf 'O' dan menatap Mark tidak percaya. Setahuku, Mark hanya mencium Wendy di pipi. Dan sekarang, Mark berkata padaku bahwa dia sudah berciuman dengan Wendy di bibir? Dua kali.

Hebat. Tidak salah aku berusaha mendekatkan mereka berdua meski harus mengorbankan perasaanku.

"Kalau naskahku berhasil masuk sepuluh besar, aku akan menyatakan perasaanku pada Wendy," ujar Mark dengan mata yang menunjukkan tekad baja.

Ini sudah lebih dari cukup. Aku sudah memastikan sendiri bahwa Mark memiliki ambisi yang besar dan dia rela melakukan apapun agar impiannya bersama Wendy terwujud.

Dan aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.

"Baiklah, aku akan membawa CD ini pada editor juga," kataku sambil tersenyum.

Mark menatapku lega. "Apa aku perlu membantumu bicara pada editor?"

"Nggak usah," jawabku sesudah menggeleng. "Kamu istirahat saja dan tunggu hasil ini tiga hari lagi. Sementara aku akan berusaha membujuk editorku, dengan mempertaruhkan karirku."

Seumur hidup, baru sekarang aku merasa seberani ini.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang