59

783 193 51
                                    

[ WENDY ]

Aroma manis yang menggoda indraku berhasil membangunkanku dari dunia mimpi. Aku membuka mata perlahan dan yang kulihat pertama kali adalah langit gelap berbintang di balik kaca.

Dengan tubuh yang hanya tertutup selimut, bisa dibilang beruntung karena aku bisa tidur dengan nyenyak di kursi mobil. Mungkin ini efek dari teh hangat manis yang sudah kuminum.

Aku menggerakkan leher ke samping dan mendapati kursi kosong tanpa pengemudi. Di mana Suga? Bukankah harusnya ia ada di sampingku?

Jangan-jangan semua yang kualami itu hanya mimpi? Apa yang terjadi setelah aku pulang dari Café Hometown? Tidak, aku tidak mungkin diculik orang jahat, 'kan?

"Sudah bangun?"

Suara laki-laki yang begitu dingin tapi tenang itu berhasil membuatku tersentak. Aku memutar badan dan melihat Suga sedang memakan snack di bangku belakang.

"Suga? Kamu ngapain?" tanyaku dengan suara pelan. Aku masih belum sadar sepenuhnya.

Tangan Suga menyodorkan sebotol air mineral padaku. "Kamu lihat sendiri, 'kan, aku lagi makan? Aku makan di bangku belakang biar nggak ganggu kamu tidur."

Sambil meminum air pemberian Suga, aku berusaha membaca keadaan. Saat ini kami—lebih tepatnya mobil Suga—sedang berada di depan minimarket 24 jam. Ada kantung belanja dengan lambang minimarket itu di sebelah Suga.

Aku tidak tahu kami ada di mana. Suga bilang, dia akan membawaku ke tempat yang sangat jauh. Dia ingin aku melepas semua beban yang ada padaku sampai aku bisa menghadapi Irene dan Mark lagi.

Sebenarnya aku tidak tahu apa alasan Suga menawarkan hal ini padaku. Sekarang aku tidak tahu bagaimana membalas semua perbuatan baik Suga. Terima kasih saja tidak cukup, mungkin aku harus bersikap hormat dan santun padanya.

Baru saja ingin kutanya kami ada di daerah mana, aku sadar banyak sekali barang di bangku belakang yang mengelilingi Suga. Ada sepatu, baju, jam tangan... Dan semua itu barang baru. Apa ini pemberian dari pacar Suga?

"Kenapa Wendy?" tanya Suga dengan kening berkerut. "Rasa airnya aneh?"

Aku menggeleng cepat. "Itu sepatu, baju, jam tangan... Semua punya kamu?"

Suga terdiam sebentar sampai akhirnya menjawab, "Oh, ini. Beberapa hari lalu aku ulang tahun, jadi teman-temanku memberi semua barang ini. Aku baru sempat buka."

Tunggu. Aku tidak salah dengar, 'kan? "Kamu ulang tahun hari ini?"

Tanpa sadar aku jadi mengunci mataku dengan mata Suga yang begitu sipit. "Nggak, aku ulang tahun tanggal 9 Maret. Sudah lewat."

"9 Maret? Aku 21 Februari... Berarti zodiak kita sama, ya? Kamu Pisces juga?" tanyaku berusaha membangun percakapan.

Suga mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Ya, mungkin Pisces. Umurku 24. Kamu?"

"Umurku 23. Aku setahun lebih muda," jawabku yakin. "Jadi aku harus memanggilmu apa? Suga sunbaenim? Suga oppa?"

"Hentikan. Panggil aku seperti biasa saja," wajah Suga berubah merah. Pasti suaraku terdengar menyebalkan sampai dia tidak mau aku memanggilnya seperti itu.

Dengan pelan aku berkata, "Maaf. Aku akan tetap memanggilmu 'Suga'."

"Kenapa kamu minta maaf? Aneh," sahut Suga terdengar sedikit kesal.

Orang aneh sebut orang lain aneh? Suga memang sulit dimengerti. Kenapa juga aku mau ikut bersamanya sampai ke tempat ini. Sikap Suga sama sekali tidak manis.

Dan kalian tahu? Suga yang menarikku keluar dari Café Hometown sangat berbeda dengan Suga yang saat ini terlihat mengantuk. Aura Suga sebagai seorang produser terpancar saat dia berkata bahwa dia menyukai suaraku.

"Wendy, kamu masih ngantuk? Sekarang sudah hampir jam 3 pagi," ujar Suga memberiku informasi.

Alisku terangkat. "Jam 3 pagi? Memang sekarang kita ada di mana?"

Suga mengambil sampah yang ada dan memasukkannya ke dalam kantung belanja. "Kita di Busan."

"Hah!?" aku berteriak cukup keras, membuat Suga kaget dan menjatuhkan kantung belanja, membuat semua sampah berserakan di bawah kakinya.

Kenapa Suga bisa punya ide untuk membawaku ke Busan? Tempat ini terlalu jauh! 6 jam perjalanan dengan mobil dibutuhkan untuk mencapai Busan. Dan bodohnya selama perjalanan aku bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan Suga.

"Kamu masih ngantuk, nggak? Aku mau tidur. Jam 6 kita jalan lagi, cari sarapan," ujar Suga, suaranya begitu datar. Oh, dia tidak marah padaku, ya?

"Nggak, kok. Aku sudah biasa tidur cuma sebentar. Kamu tidur aja di situ," aku mengacungkan jempol untuk memberitahu Suga bahwa ia tidak perlu menahan diri dari tidur.

Setelah memastikan mata Suga tertutup sempurna, aku menghabiskan waktu dengan menjelajah internet di ponsel. Tidak ada pesan dari Irene maupun Mark. Aku menghela napas, entah karena lega atau kecewa.

Benar, mereka tidak perlu menghubungiku duluan, setelah apa yang kulakukan pada mereka. Seharusnya aku yang menghubungi mereka duluan dan memohon maaf sekali lagi. Aku harap kali ini mereka menerima permintaan maafku dengan tangan hangat.

Bicara soal hangat, saat ini aku masih memakai selimut yang dibawakan Suga. Aku menoleh ke belakang dan sadar bahwa Suga melingkarkan tangan di tubuhnya, berusaha menahan dingin.

Aku harus belajar menjadi orang yang lebih perhatian. Kuputuskan untuk pindah ke bangku belakang dan memberi selimut pada Suga. Aku membuka dan menutup pintu dengan hati-hati agar Suga tidak bangun.

Kulit Suga begitu pucat, begitu kontras dengan rambutnya yang berwarna hitam. Dia pasti lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan untuk mengerjakan lagu.

Suga bilang, dia menyukai suaraku. Sungguh, aku tersentuh saat mendengar pujian dari Suga. Karena tidak pernah ada satupun produser yang berkata bahwa mereka suka dengan suaraku.

...................
Just close your eyes
The sun is going down
You'll be alright
No one can hurt you now
Come morning light
You and I'll be safe and sound

Tiba-tiba tangan Suga bergerak untuk menutup bibirku. Mata Suga sudah terbuka sempurna seakan dia siap memarahiku kapan saja.

"Barusan kamu ngapain?" tanya Suga dengan tangan yang perlahan menjauh dari bibirku.

Tubuhku gemetar. "Aku nyanyi."

Suga mengacak rambutnya frustasi. "Hentikan, aku jadi nggak bisa tidur. Jangan nyanyi lagi."

Kalau sekarang aku sedang minum air, aku pasti sudah tersedak. Apa, sih, maksud Suga?

Aku mengerucutkan bibir. "Kamu bilang, kamu suka suaraku? Lalu kenapa aku nggak boleh nyanyi lagi?"

"Justru itu," balas Suga sambil menatapku intens. "Kalau kamu nyanyi, aku jadi ingin bangun sepanjang malam biar bisa dengar suaramu terus."

Oke, setelah ini aku akan menulis nama Suga di daftar penggemarku yang paling aneh.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang