42

783 189 50
                                    

[ MARK ]

"Semua sudah siap, 'kan?"

Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut Café Hometown. Sempurna, ini benar-benar sempurna. Aku yakin Wendy akan bahagia mendapat kejutan ulang tahun seperti ini.

Berkat usaha Irene, hari ini Wendy bisa datang ke Café Hometown untuk merayakan ulang tahunnya. Wendy pasti akan mengira ini akan menjadi perayaan biasa. Tapi tidak, karena ini akan menjadi perayaan yang luar biasa.

Hari ini Café Hometown dipenuhi dengan balon berwarna biru muda dan silver yang gemerlapan. Kami mengatur semua meja dan kursi membentuk lingkaran dan panggung di tengah. Dan tentu saja di atas panggung, terdapat seloyang kue yang diletakkan di meja.

Pelanggan yang kebetulan datang dapat mengikuti perayaan. Mereka diberi diskon 20% untuk setiap pesanan mereka dan mendapat lightstick berbentuk microphone hasil karya kami selama semalam.

Setelah memastikan semua siap, aku menghampiri Irene yang sedang menunggu di depan pintu Café Hometown. Irene memandangi jalanan Seoul yang sedang ramai.

"Kamu menghalangi para tamu, Irene," kataku sedikit menggodanya.

Irene menghela napas. "Kenapa Wendy belum datang juga, ya? Ini sudah jam lima sore lebih."

Benarkah? Aku sama sekali tidak sadar ini sudah jam lima sore. Aku dan yang lain terlalu sibuk menghias Café Hometown.

"Sudah coba kamu telepon?" tanyaku pada Irene kemudian perempuan itu mengangguk. "Kenapa?"

"Kalau aku meneleponnya hanya karena datang terlambat, kejutannya nggak akan terasa, Mark," jelas Irene dengan kepala yang bersandar pada pintu. "Dan aku juga takut Wendy nggak datang."

Kalian mungkin tidak percaya ini, tapi kali ini Irene menangis. Pasti berat rasanya merasa cemas tanpa harapan yang pasti.

Aku menggunakan jariku untuk mengusap air mata Irene yang membasahi pipinya. Aku tersenyum untuk menenangkan Irene.

"Wendy pasti datang. Aku percaya," kataku meyakinkan. "Dan semua rasa cemasmu akan pergi."

Irene mengangguk. "Kuharap kamu benar. Aku harus percaya pada Wendy."

Aku yakin, dalam hati, sebenarnya Irene marah pada Wendy. Sahabat macam apa yang menghilang tanpa kabar?

Tapi dengan mudah juga Irene menahan perasaan marahnya pada Wendy. Irene benar-benar sabar dan pengertian dalam menghadapi Wendy.

Kali ini senyum Irene mengembang karena sosok Wendy yang sedang berjalan sudah terlihat. Irene menepuk bahuku antusias.

"Wendy sudah datang! Ayo atur semuanya, Mark!" seru Irene sambil melompat kecil. Benar-benar seperti seekor kelinci.

"Baik, Nona Bae," ujarku sambil mengusap rambut Irene setelah itu aku pergi untuk mematikan lampu Café Hometown. Para pelanggan juga sudah bersiap-siap dengan lightstick di tangan mereka.

Pintu terbuka dan saat Wendy melangkah masuk ke dalam Café Hometown, Irene menebar confetti yang diikuti confetti lain dari Jaebum dan Jackson.

Dari pintu hingga panggung yang ada di tengah Café Hometown, sudah ada karpet merah yang membentang. Wendy yang terkejut dituntun oleh Irene sampai ke panggung.

Saat Wendy berjalan, kami semua kompak menyanyikan lagu happy birthday untuknya. Lampu masih belum dinyalakan karena cahaya dari lightstick sudah cukup untuk suasana seperti ini.

Di atas panggung, Wendy masih menatap sekeliling ruangan dengan pandangan tidak percaya. Bambam naik ke panggung untuk menyalakan lilin kue ulang tahun.

"Wendy, ayo ucapkan permohonanmu!" kata Irene ceria kemudian Wendy mengangguk.

Aku sama sekali tidak bisa melepas pandanganku dari Wendy, meski pencahayaan Café Hometown saat ini tidak begitu terang. Mataku secara otomatis bekerja seperti kamera yang sedang merekam sosok Wendy.

Bahkan Wendy terlihat menawan saat menutup mata dan mengucapkan permohonan di dalam hati. Akhirnya, setelah lebih dari seminggu. Perempuan yang mewarnai hidupku sudah datang kembali.

Aku menyalakan lampu saat lilin sudah ditiup oleh Wendy. Kami berpandangan sekilas sebelum Wendy memotong kue dan membagikannya pada orang-orang.

Senang bertemu denganmu lagi, Wendy.

Aku tetap berdiri di dekat tombol lampu dan menyaksikan Wendy yang sedang membagikan kue. Hingga Irene datang menghampiri dengan sepiring kue di tangannya.

"Kamu nggak ke tempat Wendy?" tanya Irene bingung padaku.

Aku menggeleng kecil. "Aku bisa terakhir, Irene. Lagipula, aku, 'kan, penanggung jawab acara ini."

Senyum terbentuk di wajahku saat melihat Wendy membuka satu per satu hadiah untuknya. Kebahagiaan yang terpancar di wajah Wendy bukanlah dusta. Kurasa, ada hal lain selain ulang tahun yang membuatnya bahagia seperti sekarang.

"Jangan sombong, Mark. Kamu harus ke sana," ujar Wendy sambil menunjuk panggung.

Aku terkekeh. "Harusnya kamu yang ada di sana untuk menemani Wendy."

Kali ini Irene menggeleng. Dengan tangannya yang tidak menggenggam piring, Irene mendorongku. "Cepat ke sana, Mark! Dan cepat cium Wendy sebagai hadiah ulang tahun!"

Hah, apa kata Irene tadi? Mencium Wendy?

Mana mungkin aku bisa melakukannya!? Ini gila, Irene pasti sudah gila.

Entah setan apa yang merasukiku hingga aku berani berjalan menuju panggung tempat Wendy berada. Wendy sudah selesai membagikan kue ke semua orang dan ada satu potongan tersisa di meja.

"Ah, Mark. Ini untukmu," ucap Wendy sambil tersenyum. Demi apapun, Wendy terlihat sangat cantik. Wendy juga terlihat menggemaskan dengan tangan yang masing-masing membawa balon.

Lagi-lagi aku tersenyum tanpa sadar. "Kamu nggak mau kasi ke aku?"

Wendy menggeleng kemudian tertawa. "Kamu lihat sendiri, 'kan, tanganku lagi penuh?"

"Baiklah, Nona Son," balasku pasrah.

Aku melangkah sebanyak dua kali untuk meraih sepiring kue yang sudah disisakan untukku. Jarak kami begitu dekat. Aku bisa mencium wangi parfum Wendy.

Mata kami bertemu dan jantungku seperti memaksa keluar. Lalu di telingaku, perkataan Irene untuk mencium Wendy terngiang-ngiang.

Ya Tuhan, sadarkan aku. Jangan biarkan aku mencium Wendy karena saat ini kami dilihat oleh banyak orang.

"Ada apa, Mark?"

Tapi aku lemah saat Wendy memanggil namaku.

Maka aku menghilangkan jarak di antara kami, dengan mencium pipi Wendy.

Happy birthday, my angel.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang