[ SUGA ]
"Kamu di mana, Ga?"
Aku menoleh ke belakang, memastikan Wendy tidak berada di dekatku yang sedang berbicara dengan Namjoon melalui telepon.
"Sekarang aku di Rumah Sakit, aku tidak bisa ke studio. Suruh Jeon Jungkook datang lagi besok," ujarku cepat kemudian menutup panggilan.
Seharusnya malam ini, aku dan Namjoon bertemu dengan seorang penyanyi jalanan dari Busan, Jeon Jungkook. Tapi janji itu terpaksa kubatalkan karena saat ini aku berada di Rumah Sakit.
Apa kalian ingat perkataanku pada Wendy, bahwa jika kami bertemu lagi suatu hari, maka aku bisa mendapat nomor telepon perempuan itu?
Aku tarik lagi ucapanku. Aku akan menjadi laki-laki brengsek jika tidak bisa membaca situasi dan memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya tentang nomor telepon Wendy.
Sedikit yang kutahu, Wendy harus ke Rumah Sakit karena Mamanya dalam kondisi kritis. Aku yang kebetulan pergi ke toko churros dan bertemu dengan Wendy, menawarkan diri untuk mengantar perempuan itu dengan mobil.
Aku tidak tahu arti kehilangan, tapi melihat air mata Wendy, ketakutan akan kehilangan sesuatu saja sudah begitu berat.
Nyawa dan kesehatan bukan sesuatu yang murah. Selagi aku diberi tubuh tanpa cacat yang sehat, aku harus bisa memanfaatkannya sebaik mungkin. Seperti menolong Wendy tadi.
Saat ini Wendy ada di dalam ruang inap sang mama, bersama keluarganya. Sebenarnya aku bisa saja pergi sekarang, tapi aku memutuskan untuk menunggu Wendy keluar dari ruangan dan berpamitan sebelum pergi.
Bosan menunggu, aku turun ke lobi dan mampir ke mini market. Aku membeli dua kaleng kopi, permen rasa mint, rokok, dan satu pack tisu. Ya, Wendy sudah menggunakan tisu di dalam mobilku untuk membersihkan air matanya, sampai habis.
Saat aku kembali ke lantai di mana mama Wendy dirawat, perempuan itu sudah keluar dari ruangan.
"Aku kira kamu sudah pulang," kata Wendy begitu melihatku datang.
Aku menggeleng. "Tadi aku mau langsung pulang, tapi aku pikir aku harus pamit dulu. Keluargamu yang lain masih di dalam?"
"Nggak," jawab Wendy dengan kepala tertunduk. "Papa dan Kakak barusan pergi."
Hah? Benarkah itu? Karena aku tidak melihat papa maupun kakak Wendy dalam perjalanan kembali kemari. Dan mengapa mereka tega meninggalkan Wendy sendirian saja menjaga mama mereka?
"Mereka ke mana?" tanyaku penasaran.
Wendy menghela napas. "Papa ada rapat penting di kantor, benar-benar tidak bisa ditinggal. Sedangkan kakak kembali ke tempat kerja untuk meeting dan mengambil laptop. Setelah itu mereka akan kembali ke sini."
Apa-apaan keluarga Wendy? Aku saja bisa membatalkan janji dan rela menunggu sebentar di Rumah Sakit demi Wendy. Aku benar-benar marah.
Aku jadi semakin tidak tega meninggalkan Wendy sendirian. Bagaimana jika nanti dokter datang untuk memberi kabar buruk dan Wendy menjadi panik?
Bukan berarti aku berharap itu terjadi, tapi sudah pasti situasi itu akan menjadi nyata jika Wendy sendirian saja menjaga mamanya.
"Aku tidak jadi pulang sekarang," kataku tegas. "Aku akan menemanimu di sini."
Wendy menatapku tidak percaya. "Untuk apa? Nggak usah, kamu harus pulang, keluargamu pasti menunggumu—"
"Keluargaku di Daegu, aku tinggal sendirian di apartemen," kataku menyela kalimat Wendy. "Aku boleh menemanimu, 'kan?"
Tiba-tiba, pipi Wendy kembali basah oleh air mata. Aku mundur satu langkah karena terkejut, tidak menyangka Wendy akan menangis lagi.
"Terima kasih," ujar Wendy lemah. "Sebenarnya aku juga takut di sini sendirian, tapi aku tidak mau merepotkanmu. Sebenarnya aku ingin kamu tetap di sini."
Apa ini suara hati Wendy? Apa benar dari lubuk hatinya, Wendy menginginkanku tetap ada di sini untuk menemaninya?
Orang biasa pasti akan berpikir bahwa Wendy seorang perempuan labil yang pikirannya cepat berubah. Dari yang tadinya memintaku pulang, sekarang memintaku tetap di sini.
Tapi bagiku, emosi yang ditunjukkan Wendy adalah sesuatu yang harus dilindungi. Emosi yang ditunjukkan Wendy adalah wujud ketulusan dan kejujuran manusia yang sudah lama tidak kutemukan pada diri orang lain.
Wendy yang menangis menjadi pusat perhatian sepanjang koridor dan ditatap oleh banyak mata. Aku tidak ingin Wendy berada di bawah tekanan. Aku ingin berbuat sesuatu.
Maka yang kulakukan adalah menjatuhkan kantung belanja yang kubawa, kemudian melangkah dan membuka tanganku lebar untuk membawa Wendy ke pelukanku.
Ya, aku memeluk Wendy di depan semua orang. Aku melindungi Wendy dari tatapan semua orang. Aku menenangkan Wendy yang saat ini gemetar begitu hebat.
"Suga, terima kasih," ucap Wendy lembut dan aku mengangguk.
Kami berpelukan cukup lama dan aku memejamkan mata. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, seorang laki-laki yang pertama kali memeluk perempuan.
"Suga, apa kamu akan pergi saat Papa dan Kakakku sudah kembali?" tanya Wendy, masih di dalam pelukanku.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat. "Aku tidak akan pergi. Aku akan menginap di sini."
Wendy menyandarkan kepalanya di dadaku. "Tapi di dalam tidak ada tempatmu untuk tidur."
"Aku bisa tidur di mobil. Aku akan memberi nomor teleponku padamu. Kalau terjadi sesuatu, kamu bisa segera menghubungiku," kataku diikuti anggukan Wendy.
Kami saling melepas pelukan dan mulai bertukar nomor telepon. Entah mengapa di pertemuanku dengan Wendy hari ini, aku berhasil mendapat nomor teleponnya.
"Terima kasih, Suga," ujar Wendy setelah selesai bertukar nomor telepon denganku.
Aku menggeleng. "Sama-sama. Semoga Mama kamu cepat sembuh."
Lagi-lagi Wendy berkata, "Terima kasih, Suga."
"Berhenti bilang 'terima kasih' padaku!" seruku sedikit kesal. "Sudah pasti aku akan mendoakan kesembuhan Mama kamu, ingat itu."
Kali ini Wendy tersenyum. "Terima kasih, Suga. Kamu sangat baik."
Dan aku benar-benar kesal padanya. "Sudah kubilang, berhenti berterima kasih padaku!"
Bukannya takut, Wendy justru tertawa setelah sedikit kumarahi. Dan otomatis, aku ikut tersenyum kemudian tertawa.
Satu doaku lagi selain kesembuhan untuk mama Wendy, adalah semoga Wendy selalu tertawa seperti sekarang.
Karena Wendy jauh lebih cantik saat tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fiksi Penggemar[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...