38

832 184 26
                                    

[ MARK ]

Sudah seminggu Wendy memutus komunikasi denganku. Dan sudah seminggu juga berlalu sejak Wendy mulai tidak bekerja di Café Hometown.

Kalian tahu? Aku benar-benar kehilangan motivasi.

Mana rekaman nada yang Wendy janjikan untukku yang akan dikirim lewat LINE? Sampai detik ini juga, Wendy belum menghubungiku.

Salju di musim ini sudah mulai reda dari hari ke hari, tapi hatiku tetap bersalju. Tidak ada kehangatan dari Wendy yang sanggup menggerakkanku.

Dan aku juga sudah merepotkan banyak orang. Aku tidak pernah membantu lagi di Café Hometown dan selalu mengurung diri di ruanganku. Irene juga datang setiap hari untuk menemaniku.

Lebih buruknya lagi, aku masih tidak yakin apa yang sedang dilakukan Wendy sekarang. Benarkah dia ada urusan di kampung halamannya? Atau dia sibuk bekerja dengan Suga yang produser itu?

Entahlah. Aku ingin waktu cepat berlalu ke hari di mana aku bisa bertemu dengan Wendy.

Pintu ruanganku terketuk dan saat terbuka, Irene memunculkan kepala sambil tersenyum ke arahku. Di tangannya, dia menggenggam segelas Creamy Daegu.

"Silakan masuk, Irene," kataku sambil tersenyum.

Dengan langkah mungil, Irene masuk dan mengambil tempat di kursi yang berhadapan denganku.

Selama menunggu Wendy kembali bekerja, aku terus berdiskusi dengan Irene. Kami juga menghabiskan banyak waktu untuk menonton webdrama dan mempelajari berbagai dialog yang terdengar. Karena aku sadar, Bahasa Korea yang kugunakan di naskahku sangat kaku.

"Mark, aku ada kabar baik dan buruk untukmu. Mau yang mana dulu?" tanya Irene setelah meneguk seperempat dari Creamy Daegu-nya.

Aku mengangkat bahu. "Terserah kamu. Dan biar kutebak di akhir."

Irene tertawa kecil. "Hmm, baiklah. Berita pertama, editor di tempatku bekerja sangat penasaran dengan naskah buatanmu dan memintaku membawanya."

"Biar kutebak, itu pasti berita baik," sahutku kemudian Irene mengangguk. "Tuh, 'kan! Aku memang jenius."

"Jangan sombong," ucap Irene dengan nada menasehati. "Kebetulan suami editorku adalah orang yang bekerja di Naver TV. Kamu bisa mengajukan naskahmu sebelum akhir bulan untuk diseleksi."

Aku membulatkan mata. "Ada proses seleksi juga?"

Irene mengangguk ringan. "Iya. Setiap akhir bulan, naskah dikumpulkan dan dibawa ke rapat yang dihadiri oleh direktur. Mereka akan memilih 10 naskah terbaik untuk diajukan ke produser. Dan percayalah, naskah yang masuk bisa sampai ratusan."

Oh, tidak. Apa benar ini kabar baik? Irene sedang tidak bercanda, 'kan?

"Dan juga, kalau naskah kamu terpilih sampai 10 besar, baru kamu bisa mengajukan soundtrack sebagai bahan pertimbangan," lanjut Irene.

Aku menghela napas panjang. "Itu sama saja dengan berita buruk, Irene."

"Nggak sama sekali," balas Irene. "Karena editorku sangat penasaran dengan naskahmu, kurasa itu pertanda bagus."

Aku tersenyum. Irene lucu juga, ya? Dia tidak tahu bahwa editornya tertarik dengan naskahku karena aku yang membuatnya. Ya, karena aku.

Kalian masih ingat saat aku mengunjungi tempat kerja Irene? Aku bertemu dengan editor itu dan dia memuji penampilanku. Karena wajah tampanku, editor itu penasaran dengan naskahku.

Sepertinya standar wajah di industri Korea Selatan sangat mempengaruhi. Wajah dulu, baru bakat. Biar kuralat. Wajah dulu, baru uang, lalu bakat.

"Lalu apa berita buruknya?" tanyaku penasaran.

Jangan sampai Irene tertukar membandingkan berita baik dan berita buruk. Irene benar-benar menghiburku akhir-akhir ini, dengan kepolosannya.

"Sebentar lagi Wendy ulang tahun," ungkap Irene.

Aku tersentak. "Serius? Kapan?"

"21 Februari," jawab Irene dengan wajah serius.

Kurang dari seminggu lagi? Wah, aku masih bisa bersiap-siap. Bukankah ulang tahun itu berita bagus?

"Kenapa kamu bilang kalau ulang tahun Wendy itu berita buruk?" tanyaku heran.

Irene menghela napas. "Karena sampai saat ini, Wendy masih nggak bisa dihubungi. Aku selalu merayakan ulang tahun Wendy setiap tahun dan aku takut kalau tahun ini nggak ada perayaan."

Aku bersumpah, Irene adalah sahabat terbaik di seluruh dunia. Dia memikirkan Wendy lebih dariku, lebih dari siapapun.

Jangan-jangan Irene memiliki rasa romantis pada Wendy.

Tapi itu tidak mungkin, 'kan? Irene, perempuan tercantik yang kukenal, ternyata penyuka sesama jenis? Dia bisa membuat laki-laki di seluruh dunia patah hati.

"Bagaimana ini, Mark? Aku ingin merayakan ulang tahun Wendy tapi aku nggak tahu harus bagaimana. Apa aku harus lapor ke polisi?" gumam Irene dan ekspresinya benar-benar terlihat sedih.

Entah mengapa aku berasumsi bahwa Wendy libur bekerja untuk merayakan hari-hari sebelum ulang tahun bersama keluarganya. Bisa saja, 'kan?

"Irene, tenanglah," kataku meyakinkan. "Wendy pasti kembali bekerja di hari ulang tahun atau setelah ulang tahunnya."

"Serius?" tanya Irene dengan mata berkaca-kaca. "Bagaimana kamu bisa tahu?"

Aku tidak tahan melihat perempuan sedih, apalagi dengan mata berkaca-kaca. Aduh, Wendy, kamu di mana? Sahabatmu menangis mencarimu.

"Tentu saja aku tahu," jawabku sambil tersenyum kaku. "Karena aku suka Wendy."

Irene menatapku tidak percaya. "Apaan, sih! Bagaimana bisa kamu seoptimis ini!"

Yah, memang diperlukan pribadi optimis sepertiku untuk membuat tenang situasi, 'kan? Lagipula, hari ini aku sudah tahu dua hal.

Pertama, aku harus ekstra kerja keras untuk menyempurnakan naskahku yang akan kuajukan ke editor Irene, yang kemudian akan diajukan ke Naver TV.

Kedua, aku harus ekstra kerja keras juga untuk mencari Wendy di waktu yang tersisa ini agar bisa merayakan ulang tahun perempuan itu.

"Irene, apa kamu mau bertaruh denganku?" usulku kemudian Irene menatapku bingung.

"Taruhan apa?" tanya Irene.

"Kalau Wendy kembali bekerja sebelum minggu depan dan naskahku masuk 10 besar, aku akan bilang pada Wendy kalau aku suka padanya," jelasku mantap.

"Kalau nggak?" tanya Irene cukup serius.

Aku menarik napas panjang sebelum menjawab, "Kamu boleh melapor polisi untuk mencari Wendy."

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang