[ WENDY ]
"Satu gelas Seoul Latte atas nama Wendy,"
Tanpa meminta izinku, Mark yang tadinya mengantar pesananku sekarang duduk di hadapanku. Mark tersenyum sangat lebar sampai aku yang melihatnya jadi ikut malu.
Sepuluh menit lalu, aku baru saja menyelesaikan penampilanku sebagai penyanyi di Café Hometown. Dan dengan cepat Seoul Latte yang menjadi favoritku di café ini dihidangkan.
Aku meminum isi gelasku perlahan, membiarkan kehangatan meresap dalam kerongkonganku. Di luar sedang bersalju, jadi aku butuh tameng yang kuat untuk melindungiku dari dingin.
Akhir-akhir ini hidupku sedikit berubah. Bukan hanya memperoleh pekerjaan, aku juga menerima honor pertamaku. Aku masih ingat air mata yang membasahi pipi Mama saat aku memberitahu beliau bahwa aku sudah bisa mencari uang sendiri.
Perlahan, sebercik harapan tumbuh di dadaku. Semoga dengan kerja keras Papa, Kakak, serta aku, Mama bisa segera berobat untuk membebaskan diri dari penyakit bernama kanker.
"Bagaimana?" tanya Mark sambil menatapku.
"Enak, kok. Terima kasih, ya," jawabku cepat tapi Mark malah menggeleng.
"Bukan itu. Kamu sudah baca esaiku minggu lalu? Bagaimana?" tanya Mark lagi dengan suaranya yang serak.
Aku mengerjap. Oh, ya. Minggu lalu, aku meminta Mark menulis esai sepanjang satu halaman sebagai bentuk latihan Bahasa Korea untuknya. Dan aku belum membacanya. Bahkan aku lupa di mana aku meletakkan esai itu.
"Sudah. Bagus, kok," jawabku berbohong. Aku tidak ingin membuat orang lain kecewa padaku.
Kemudian, Mark tertawa kecil. "You're such a bad liar. Aku tahu kamu belum membaca esaiku."
Tuh, 'kan. Lagi-lagi, entah bagaimana, Mark bisa tahu bahwa aku berbohong padanya. Kemampuan yang sama dengan Mama yang juga bisa tahu kapan aku jujur dan kapan aku berbohong.
"Maaf. Aku sibuk," lanjutku sambil menunduk.
Soal sibuk, aku tidak berbohong. Aku memang selalu menemani Mama di Rumah Sakit, sepanjang hari. Papa, Kakak, dan aku selalu bergantian menjaga Mama tapi aku mengambil bagian waktu paling banyak.
"Sepertinya kamu punya macam-macam masalah," lanjut Mark. "Kamu boleh cerita padaku."
Oh, tidak, terima kasih. Bercerita pada Irene saja aku belum berani, apalagi bercerita pada orang asing yang baru kutemui seminggu lalu.
Masalahku tidak akan sebesar sekarang jika dulu aku tidak keras kepala untuk mewujudkan impianku menjadi penyanyi. Harusnya aku segera mencari pekerjaan begitu aku lulus kuliah.
Aku membuat Mama menunggu lama dengan keegoisanku. Dan kalau boleh jujur, bernyanyi di Café Hometown juga merupakan keegoisanku. Aku hanya tidak ingin kehilangan rasa sukaku pada bernyanyi.
Tubuhku secara otomatis memberi perintah agar aku segera menghabiskan minumanku dan segera pergi dari Café Hometown. Tapi tiba-tiba perutku berbunyi cukup kencang, tanda bahwa aku masih lapar.
"Belum makan malam, ya?" tanya Mark lalu aku mengangguk. "Tunggu, ya. Aku ambilkan menu."
Mark berdiri dari tempat duduk dan aku segera menyusulnya, menarik lengan kurusnya untuk membuat Mark berhenti. "Tidak usah. Aku bisa makan di Rumah—"
Celaka. Aku hampir saja menyebut kata 'Rumah Sakit' sebagai alasan. Buru-buru aku menutup bibirku untuk berhenti bicara di luar batas.
Tatapan mata Mark yang hangat berhasil membuatku berdiri kaku. "Tidak apa-apa. Aku bisa membuatkan apapun yang kamu mau."
Aku menggeleng cepat. "Sungguh, tidak usah. Sudah cukup dengan Seoul Latte."
"Apa yang kamu mau, Wendy? Kamu pelanggan istimewaku," lanjut Mark dan dengan berani, tangannya bergerak untuk menyentuh pipiku. Memberiku kehangatan yang tidak ada duanya. "Jadi pesan saja apa yang kamu mau."
Kali ini tubuhku tidak bisa diajak bekerja sama. Kakiku justru melangkah mendekat ke tubuh Mark. Entah bagaimana aku bisa melihat bentuk tubuh Mark yang tersembunyi di balik kaus hitamnya.
"Ekhem!" suara Jackson tiba-tiba terdengar dari belakang Mark. "Get a room, please."
Mark mengambil langkah mundur kemudian berkacak pinggang. "Jackson, kenapa kamu ada di sini?"
Jackson memutar bola matanya. "Hmm, maaf, Manajer Mark. Aku, 'kan, memang bekerja di sini. Lupa, ya?"
Aku berusaha untuk tidak tertawa. Jackson terlihat bagaikan seorang ayah yang sedang memarahi anak sulungnya. Kalau begini, posisi mereka seakan terbalik karena Mark justru terlihat seperti pelayan dan Jackson adalah sang manajer.
"Baguslah aku masih punya kamu. Tolong berikan Wendy makan malam yang dia mau," ujar Mark dan dia segera pergi meninggalkanku dan Jackson berdua.
Udara Café Hometown entah mengapa membuatku gerah. Padahal di luar sangat dingin dan aku hanya mengkonsumsi segelas Seoul Latte. Apa ini gara-gara sentuhan tangan Mark yang baru saja pergi dari kulitku?
"Wendy, you heard my boss. Kamu mau apa untuk makan malam?" tanya Jackson dengan nada ceria.
Syukurlah aku ditinggal bersama Jackson. Karena aku masih bisa menolak tawaran Jackson dengan kebohongan lain. "Lain kali saja, Jackson. Aku harus pulang sekarang. Aku pasti akan makan malam di rumah."
Jackson tersenyum dan mengangguk. "Baiklah! Sampai jumpa besok, Wendy!"
Berhasil, terima kasih Jackson. Setelah membungkuk pada Jackson dan memastikan tidak ada sosok Mark di dekatku, aku segera melangkahkan kaki pergi dari Café Hometown.
Aku buru-buru berjalan menuju stasiun kereta bawah tanah yang akan mengantarku ke Rumah Sakit. Sambil berjalan, aku merogoh tas untuk mencari kartu pelanggan keretaku.
Dan mataku berhasil menangkap secarik kertas yang sudah terlipat menjadi empat bagian. Ini dia. Ini adalah esai yang ditulis Mark seminggu lalu.
Apa yang ditulis Mark cukup membuatku kagum. Kebanyakan orang yang baru belajar Bahasa Korea pasti menulis biografi tentang diri sendiri, tapi Mark tidak. Dia justru menulis tentang isu rasisme yang sedang marak di Amerika Serikat.
Apa salahnya menjadi orang keturunan Asia?
Apa aku tidak berhak mendapat pekerjaan yang setara dengan mereka yang aku kagumi?
Sungguh, tidak ada yang kuinginkan selain menjadi aktor berkompeten di Hollywood.
Tapi tetap saja, aku dipandang sebelah mata. Mereka melihatku seperti melihat seekor panda yang hanya bisa makan dan tidur.
Aku lebih dari itu dan orang tuaku mengerti akan hal itu.
Aku pergi ke Seoul bukan untuk memenuhi permintaan ayah, tapi karena aku merasa apa yang sudah kulakukan itu cukup.
Tidak ada jalan lain selain menyerah.
Demi orang-orang di luar sana yang tidak bisa mendapat pekerjaan yang layak, aku akan bekerja dengan keras di Seoul.Tanpa kusadari, air mataku menetes. Aku menutupi wajah agar orang-orang sekitar tidak melihatku menangis.
Aku sadar, Mark merasakan rasa sakit yang sama denganku.
![](https://img.wattpad.com/cover/117155502-288-k896089.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...