29

883 200 21
                                    

[ WENDY ]

Coba tebak, apa kelemahan seorang Mark Tuan? Kalian pasti tidak akan percaya ini, tapi ternyata Mark tidak bisa bangun pagi.

Aku tahu karena dia baru saja memberitahuku, setelah telat satu jam dari waktu kumpul kami di toko churros depan stasiun. Dan aku hanya bisa menghela napas panjang.

"Wen, masih ngambek?" tanya Mark dengan nada bersalah.

Tentu saja aku kesal, karena dia membuatku menunggu selama satu jam. Aku bahkan sudah menghabiskan churros-ku, sedangkan dia baru datang.

Sedaritadi aku tidak mengajaknya bicara. Biar saja, siapa suruh datang terlambat?

"Kemarin aku beres-beres Café Hometown sampai tengah malam sama Jinyoung," ujar Mark beralasan.

"Bohong! Mana mungkin manajer sepertimu ikut beres-beres café?" tanyaku ketus.

Mark menggigit bibirnya. "Oke, aku memang bohong. Terus aku harus ngapain lagi biar kamu nggak ngambek?"

Jadi Mark sengaja berbohong untuk menyelesaikan masalah? Aku juga sering melakukannya, tapi hari ini aku ngambek karena kesalahan Mark. Bukan karena diriku sendiri.

Mark meletakkan sebuah buku kecil di atas meja. "Ini, aku sudah membuat sebagian dari naskah webdrama. Aku kurang apa, sih?"

Kamu kurang awal, Mark. Kamu kurang awal. Kenapa kamu belum mengerti juga?

Lagipula, aku tidak bisa marah pada Mark. Jantungku selalu memompa darah dua kali lebih cepat saat kami berduaan seperti sekarang. Dan itu membuatku kesal.

"Hei, lihat aku," panggil Mark sambil mengangkat daguku. "Cantikmu hilang kalau ngambek."

Kurang ajar, Mark lagi-lagi membuat pipiku memerah. Jujur, aku suka melihatnya berusaha meredakan amarahku. Aku suka melihat orang kerja keras, aku suka melihat orang yang berjuang.

"Wendy, ngomong, dong. Jangan jadi patung," sambung Mark dengan nada datar yang membuatku tertawa kecil.

Ah, apa sudah cukup aku bermain-main dengannya? Kasihan juga jika aku tidak mengajaknya bicara untuk waktu lama.

"Oke, oke. Tapi aku belum dengar satu kata yang mau aku dengar," ujarku sambil tersenyum. "Coba bilang kalau kamu memang jenius."

Mark menundukkan kepala. "Maaf."

Nilai 100 untuk Mark karena dia berhasil mengucap satu kata yang daritadi sudah kutunggu.

Setelah perkelahian kecil kami berakhir, Mark pergi untuk memesan sarapannya hari ini, churros. Bersamaan dengan itu, speaker di toko churros mulai memutar lagu ballad yang sangat menenangkan.

Ya Tuhan, kapan laguku bisa didengar semua orang? Aku ingin sekali impianku cepat terwujud.

Aku sudah gagal berkali-kali dan sempat merasa kata 'berhasil' berada di ujung dunia yang sangat jauh. Aku sudah pernah putus asa dan juga menyerah.

Tapi sekarang, ada orang yang tidak ingin aku kecewakan. Orang itu adalah Mark.

Dia adalah laki-laki pertama yang mendukung impianku selain ayah. Dia orang yang baru kukenal, tapi pengalaman yang dia punya membuat dia seakan terhubung denganku.

Karena itu, aku tidak boleh putus asa dan menyerah lagi. Kali ini aku harus berhasil.

Sebelum sampai di meja, aroma saus stroberi yang menjadi pilihan Mark sudah tercium dari jarak dua meter. Mark dengan bangga membawa churros pesanannya.

"Ini pertama kali aku makan di luar Café Hometown," cerita Mark.

Aku menatapnya tidak percaya. "Oh, ya? Jadi selama ini kamu makan makanan dari café?"

Mark menggeleng. "Kadang aku makan apa yang sudah dibeli Jaebum dari luar. Atau kadang Jackson memesan makan dari luar melalui telepon."

Aku mengerti apa yang dirasakan Mark. Aku sering menghabiskan waktu di Rumah Sakit untuk menemani Mama. Karena itu aku lebih sering makan di restoran Rumah Sakit. Padahal aku sangat jago untuk urusan di dapur. Ya, aku bisa memasak.

"Oh, ini enak!" seru Mark penuh takjub sambil melahap batang churros yang kedua.

Sambil menunggu Mark makan, aku mengeluarkan buku catatan dan mulai menulis lirik sebisaku. Ini kali pertama aku menulis lirik, tapi aku akan berusaha.

Aku mencoba keluar dari zona nyamanku. Biasanya aku selalu membaca lirik lagu dan berusaha menyanyikannya sesuai emosi yang kurasakan. Tapi sekarang, aku membuat lagu yang benar-benar terpusat padaku.

Dan aku berpikir, kalau saja Mark datang lebih cepat. Kalau saja aku sudah mengenal Mark sebelum aku benar-benar menyerah.

Sejak Irene sibuk dengan pekerjaannya, aku mulai merasa stres. Rambutku rontok, tubuhku makin kurus, dan bibirku makin kering. Kulitku juga makin pucat karena aku selalu malas keluar dari Rumah Sakit.

Tapi sekarang, aku tahu tempat bernama Café Hometown. Aku kenal seorang manajer bernama Mark Tuan. Bukankah ini yang bisa disebut sebagai keberuntungan?

"Oh, kamu menulis lirik?" tanya Mark sambil membaca tulisan di atas buku catatanku. "Hmm, apa ini? Kenapa kamu beri judul 'stroberi'?"

Aku tetap menulis dan tidak menatap Mark sedetikpun. "Suka-suka aku, dong."

Mark mengusap poniku yang sudah rapi menjadi berubah berantakan. "Aish, kamu ini, ya. Ingat, yang membuat cerita itu aku. Kalau kamu tidak dapat persetujuan dariku, kamu harus mengulang."

Huh, memang dia siapa, dosen dari jurusan sastra? Bahasa Korea dia saja masih semi-formal, tapi dia sudah berani bertingkah seperti ahli bahasa.

"Kalau sudah selesai, kasih lihat ke aku, ya!" ujar Mark antusias.

Saat aku mendongakkan kepala untuk menatap matanya, aku tertawa karena mendapati saus stroberi yang berceceran di sebelah kanan bibir Mark. Ya Tuhan, dia seperti anak kecil.

"Kenapa kamu ketawa?" tanya Mark bingung.

Aku masih tertawa. "Itu, ada saus stroberi di dekat bibirmu."

Mark buru-buru membersihkan sebelah kiri bibirnya. "Sudah hilang?"

"Bukan di situ, tapi di sebelah kanan," kataku setelah menggelengkan kepala.

Tiba-tiba Mark menarik tanganku dan menggerakkan jari-jariku untuk mengusap sebelah kanan bibirnya. Tanganku kotor karena saus stroberi.

Setelah itu, Mark memasukkan jariku yang terkena saus stroberi ke dalam mulutku. Membuat lidahku mencicipi rasa manis yang tiada tara.

"Terima kasih, Wendy," ujar Mark sambil tersenyum usil.

Dasar Mark, berani-beraninya dia membuat jantungku berdetak tidak karuan!

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang