12

1.2K 252 9
                                    

[ MARK ]

Aku lupa kapan terakhir kali aku berdekatan dengan seorang perempuan. Jadi kalian harus percaya jika kukatakan aku sangat gugup sekarang.

Malam semakin larut dan dengan penerangan yang sekedar cukup, perempuan bernama Wendy mengajariku sedikit Berbahasa Korea. Sudah satu jam berlalu dan aku merasa sangat nyaman bersamanya.

"Bukumu lengkap sekali," kata Wendy sambil memindahkan beberapa buku milikku ke sisi kanannya.

"Apa itu pujian?" tanyaku dengan tanganku yang berhenti menulis sebuah esai Bahasa Korea yang diminta oleh Wendy.

"Mau kamu anggap pujian juga boleh," jawab Wendy sambil tersenyum. "Jangan kaku begitu. Aku tidak sedang menakutimu. Lanjutkan saja esaimu."

Kata Wendy, sebanyak apapun buku yang kubeli dan kubaca, teori harus selalu diimbangi dengan praktek. Karena itu Wendy segera menyuruhku menulis esai sepanjang satu halaman dengan tema bebas.

Esai satu halaman seukuran A4 harusnya bisa kuselesaikan dalam waktu setengah jam, tapi karena sesekali aku mengobrol dengan Wendy, tugas ini memakan waktu cukup panjang.

"Ah, salju sudah berhenti," ujar Wendy dengan manik cokelatnya yang menatap jendela.

"Kau mau pulang sekarang?" tanyaku sewajar mungkin. Jujur, aku tidak ingin Wendy pergi dulu. Masih banyak hal yang ingin kuketahui darinya.

Wendy menundukkan kepalanya. "Sebentar lagi."

Aku tahu Wendy sedang menungguku menyelesaikan esai. Kuputuskan untuk mempercepat gerakan tanganku. Tidak baik menahan seorang perempuan berlama-lama di sini. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Tiba-tiba, Wendy tertawa pelan. "Jangan buru-buru begitu. Kerjakan saja sebaik mungkin. Aku tidak akan mencoret atau merobek esaimu."

Demi Tuhan, aku pasti sudah tampak sebagai laki-laki payah di depan Wendy. "Lucu, ya?"

Dan Wendy mengangguk. "Iya, kamu lucu."

Wendy, apa kau tahu? Tidak pernah ada orang yang memberitahuku bahwa aku lucu.

Orang-orang di Los Angeles selalu bilang aku hanya orang berdarah Asia yang tidak berguna. Tidak akan dianggap jika aku berpendapat, tidak berhak mendapat pekerjaan yang layak, dan tidak pantas menggoreskan tinta di sejarah Hollywood.

Yang membuatku merusak, membakar, dan mengakhiri mimpiku untuk menjadi aktor.

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Lalu apa lagi selain lucu?" tanyaku serius. Aku ingin tahu pendapat Wendy tentang diriku. Masa bodoh dengan esai ini, aku perlu mendengar jawaban Wendy.

Jari-jarinya yang mungil bergerak melempar rambutnya ke belakang. Salah satu kelemahanku, melihat seorang perempuan menata rambutnya. Menurutku, itu sangat mempesona.

"Awalnya aku mengira kamu paranormal. Karena kamu tahu kalau aku berbohong pada Irene," ungkap Wendy jujur. "Aku mengira kamu orang asing yang aneh, semacam penggemar. Dan aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu denganmu hari ini."

Aku menahan tawa. Jadi Wendy sudah mengkategorikanku sebagai orang gila. Apa ini semacam penolakan yang halus?

"Tapi kamu menarik," lanjut Wendy. "Aku tidak pernah melihat laki-laki dewasa membawa tumpukan buku Bahasa Korea di sebuah café."

"Aku tidak sedewasa yang kamu kira," balasku dan kami tertawa.

Karena waktu terus berjalan, aku memutuskan untuk melanjutkan penutup esaiku. Sedangkan Wendy membuka-buka buku Bahasa Korea yang kubawa.

Wendy membuka satu per satu halama dengan cepat, aku bisa melihatnya. Kalian tahu kenapa? Karena ada semacam magnet dalam diri Wendy yang tidak bisa membuatku melepaskan pandanganku darinya.

Tepat setelah aku menyelesaikan esai, aku melihat Wendy menarik sebuah kertas yang terselip di antara halaman buku milikku. Kertas yang kukira sudah kubuang dan tidak ingin dilihat siapapun.

"Mark, ini apa?" tanya Wendy penasaran.

Itu adalah sebuah kertas yang berisi kata-kata motivasiku untuk belajar Bahasa Korea juga melupakan mimpiku dan tentu saja kutulis dalam Bahasa Inggris. Sialnya, aku seperti curhat dalam kertas itu.

Seoul is a beautiful city, a lot beautiful than your dream. Forget Hollywood and make your parents proud.

"Tidak ada apa-apa," kataku dan dengan cepat tanganku menyambar kertas tersebut dari Wendy, meremasnya dengan kasar dan membuangnya ke lantai.

Suasana di antara kami menjadi sangat canggung. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi dan di sisi lain Wendy sama sekali tidak meminta esai yang selesai kukerjakan.

Tarik napas, Mark.

"Esaiku sudah selesai," ucapku kemudian Wendy mengangguk.

"Akan kubaca kalau sudah sampai rumah, ya. Belajarlah setiap hari," sahut Wendy sambil melipat kertas esaiku.

"Kuantar sampai depan," tawarku dan bodohnya saat aku berdiri, kakiku menabrak meja dan membuat guncangan kecil yang mengakibatkan pensilku jatuh ke lantai.

Seperti di film yang pernah kalian tonton, aku menunduk untuk mengambil pensilku. Dan di saat yang sama, Wendy juga menunduk dan mengulurkan tangannya, membuat tangan kami bertemu. Bersentuhan.

"Terima kasih," ucapku dan Wendy mengangguk.

Aku terlalu malu untuk menatap Wendy. Padahal Café Hometown begitu luas, tapi tidak ada objek menarik lain yang bisa kujadikan peralihan.

Kami berjalan bersama menuju pintu café. Aku membukakan pintu untuknya dan kami sama-sama memandang langit gelap tanpa bintang. Suhu kota sangat dingin dan aku bersyukur Wendy memakai pakaian yang cukup tebal.

Wendy melambaikan tangannya untuk mencegat salah satu taxi. Sebelum masuk ke dalam taxi, ia membalikkan badannya dan tersenyum padaku.

"Aku pulang dulu, ya. Selamat malam," kata Wendy dengan suaranya yang manis.

"Selamat malam. Hati-hati," balasku dan entah bagaimana aku bertanya, "Apa kita bisa bertemu lagi?"

Wendy mengangguk. "Aku akan datang ke café ini setiap Jumat dan Sabtu."

Setelah Wendy masuk ke dalam taxi yang membawanya pulang, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan satu lembar di sebuah buku cerita. Sebuah rasa yang mengatakan bahwa aku ingin segera bertemu Wendy lagi.

Kalau aku memang jatuh cinta pada Wendy, bolehkah aku berharap cintaku yang kali ini tidak akan rusak, terbakar, atau berakhir?

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang