[ IRENE ]
Jalan hidup seseorang ditentukan dari pilihan yang dia ambil. Semua pilihan yang tersedia adalah keadilan yang mutlak, takdir yang tidak dapat diubah, dan tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Dan aku tidak pernah melihat Wendy berwajah sebingung sekarang. Sejak mendengar tawaran dari Direktur Park dan editor majalah, hati dan otak Wendy seakan berperang mempertimbangkan pilihan yang tepat.
Mark, manajer Café Hometown yang datang bersama Wendy, terus diam sejak kami bertiga ditinggal oleh Direktur Park dan editor di dalam ruangan.
Aku tahu, Mark tidak mau jika lagu yang dibuat Wendy, dijadikan soundtrack untuk webdrama lain. Bayangkan, jerih payah yang dihasilkan Wendy untuk Mark, akhirnya diberikan oleh orang lain. Ini adalah pertimbangan berdasarkan hati.
Sedangkan secara logika, tawaran ini adalah kesempatan emas. Untuk orang seperti Wendy yang selalu ditolak di setiap audisi dan dicampakkan oleh banyak perusahaan rekaman, tawaran ini adalah batu loncatan besar. Ini adalah pertimbangan berdasarkan otak.
Hati dan otak. Emosi dan logika. Mana yang akan kamu pilih seandainya kamu ada di posisi Wendy?
"Aku akan menerima tawaran itu," ujar Wendy setelah kami melalui keheningan selama hampir setengah jam. "Akan kuberikan laguku untuk webdrama lain."
Beberapa detik kemudian, Mark memukul meja dengan telapak tangannya. "Jangan bercanda, Wen."
"Aku nggak bercanda," sahut Wendy sambil menatap Mark. "Aku tahu ini berat untukmu, Mark. Tapi kalau kutolak, itu artinya aku membuang hasil kerja kerasku."
"Kamu akan lebih membuang hasil kerja kerasmu kalau kamu memberikan lagu itu untuk webdrama lain," kata Mark berargumen. "Ingat perasaanmu sewaktu membuat lagu itu, Wen. Ingat apa arti lagu itu untukmu."
Aku hanya bisa diam melihat mereka berdebat. Jujur, aku tidak rela lagu Wendy dijadikan soundtrack untuk drama lain. Tapi aku juga tidak ingin Wendy bersedih lagi karena ia tidak maju selangkahpun untuk mencapai impiannya menjadi penyanyi.
"Itu lebih baik daripada aku nggak menghasilkan apapun," tambah Wendy. "Aku nggak mau menghabiskan waktu lagi, Mark."
"Tapi kamu nggak perlu buru-buru!" seru Mark bersuara keras. "Kamu dengar sendiri, 'kan, kalau aku akan menjadi asisten penulis naskah drama? Kamu juga bisa membuat lagu baru untuk soundtrack—"
"Mana mungkin aku bisa!" suara Wendy melengking tinggi. "Mana bisa orang umum sepertiku mengisi soundtrack untuk drama! Aku nggak dikontrak oleh perusahaan manapun, aku juga nggak punya koneksi, aku—"
"Kamu punya aku, Wen!" Mark berdiri dari kursinya. "Kamu punya aku, punya Irene, apa kamu nggak bisa lebih mengandalkan kami?"
Mark menatapku seakan meminta aku untuk membantunya. Aku menelan ludah dan berusaha memikirkan kalimat yang pantas kuucapkan. Siapa yang harus aku dukung?
"Aku nggak mau hanya diam menyaksikan kalian berdua bekerja," ujar Wendy sambil menatap aku dan Mark bergantian. "Aku juga ingin selangkah lebih maju bersama kalian."
Tangan Mark terlipat di depan dada. Kemudian dia tertawa kecil. "Lihat dirimu, Wendy. Kamu begitu putus asa dan mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Aku benar-benar kecewa—"
Ucapan Mark terhenti karena bibirnya yang dikunci oleh bibir Wendy. Mereka berdua berciuman, di depanku. Dan kalian tahu? Hatiku merasa sakit.
Wendy mundur satu langkah untuk mengakhiri ciumannya bersama Mark. Sedangkan Mark, dia sudah tersipu malu dan menatap dinding untuk menyembunyikan wajahnya.
"Aku sudah pikir baik-baik tentang keputusanku ini," ujar Wendy sambil tersenyum. "Kamu bisa menjadi asisten penulis naskah, itu hal yang luar biasa. Kalau aku menolak tawaran ini, aku akan makin jauh tertinggal olehmu."
Mark menghela napas. "Aku nggak akan meninggalkanmu."
"Aku tahu," sahut Wendy cepat. "Tapi di luar sana, banyak sekali penyanyi yang sudah dikenal masyarakat dan hasil karyanya sudah diapresiasi. Sedangkan aku belum sama sekali."
Mataku berkaca-kaca. Ini pertama kali aku mendengar Wendy begitu sungguh-sungguh. Pengalaman berlimpah menciptakan Wendy yang sekarang.
"Kamu bilang, kamu nggak akan meninggalkanku, 'kan?" Wendy menggenggam tangan Mark. "Kalau begitu, izinkan aku berusaha untuk menjadi penyanyi yang bisa sejajar dengan posisimu nanti."
Ini memang pilihan yang berat bagi sahabatku. Wendy dihadapkan pada dua pilihan: cinta atau impian. Mark atau karir. Dan Wendy memilih untuk mengejar karir demi Mark.
Impian Wendy bukan miliknya seorang lagi. Tapi juga milik Mark dan milikku.
"Baiklah," kata Mark pada akhirnya. "Aku akan menerima keputusanmu."
Wendy tersenyum lega. "Kamu sudah nggak marah, 'kan, sama aku?"
Mark menggeleng. "Sama sekali nggak. Tadi aku hanya sedikit kecewa sama kamu. Tapi sekarang sudah nggak."
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa tindakanku membawa naskah drama Mark dan CD soundtrack Wendy pada editor akan berakhir seperti ini.
Aku ingin melindungi mereka berdua. Aku ingin melindungi impian mereka berdua. Dan sekarang kusadar, apa yang kulakukan, secara tidak langsung membuat mereka berdua semakin dewasa.
"Kalau begitu aku akan bertemu editor lagi," ujar Wendy sambil tersenyum. "Aku akan bilang kalau aku menerima tawaran mereka."
Tanganku terangkat untuk melambai pada Wendy yang keluar dari ruangan lebih dulu, meninggalkanku dan Mark berdua saja. Mark terlihat murung meski tadi ia sudah bilang bahwa rasa kecewanya sudah pergi.
"Wendy nggak akan lama, kok," kataku membuka suara. "Mungkin Wendy akan diberitahu sedikit tentang royalty dan publikasi—"
"Irene," Mark memanggil namaku, suaranya begitu lemah. "Bisa ke sini sebentar?"
Dengan perlahan, aku berdiri dari kursiku dan menghampiri Mark yang sedang berdiri. Kemudian Mark menarikku ke dalam pelukannya yang begitu kuat. Tangan Mark gemetar dan perlahan aku sadar, Mark mulai menangis di pundakku.
"Mark, maafkan aku," hanya itu yang terucap dari bibirku. "Aku nggak berbuat apapun untuk menghentikan Wendy. Aku cuma bisa diam melihat kalian bertengkar."
"Harusnya aku yang minta maaf," sahut Mark dengan suara pelan. "Maaf, aku bertengkar dengan sahabatmu, Irene. Maaf aku sudah membiarkanmu melihat pertengkaran kami."
Aku menggeleng pelan. Untuk apa Mark minta maaf? Dia sama sekali tidak salah. Di sini aku yang salah karena tidak peka membaca situasi dan membantu Wendy mengambil keputusan terbaik. Hasilnya, Mark begitu sakit hati. Dan aku hanya bisa diam dipeluk olehnya.
"Ternyata begini rasanya," ucap Mark lagi. "Perasaan nggak bisa benci pada orang yang kita cinta."
Tuhan, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Hidup ini begitu berat, pilihan yang Engkau beri juga begitu susah. Aku hanya ingin melindungi Wendy dan Mark, termasuk perasaan mereka.
Hanya ada satu ide terlintas di otakku. "Mark, kamu masih bisa mengubah keputusan Wendy. Katakan pada Wendy kalau kamu mencintainya dan minta dia jadi pacarmu—"
Tapi Mark mencengkramku begitu kuat seakan ia mengatakan bahwa semua sudah terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fiksi Penggemar[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...