54

786 195 71
                                    

[ SUGA ]

Datang ke Café Hometown mengingatkanku pada hari di mana aku patah hati.

Di tempatku berdiri sekarang, Wendy merayakan ulang tahun bersama teman-temannya. Di tempatku berdiri sekarang, Wendy tertawa bahagia sambil membawa balon. Di tempatku berdiri sekarang, pipi Wendy dicium oleh Mark sang manajer.

Semua ini karena Bae Irene, model yang dipilih teman-temanku untuk MV It Gets Better. Dia yang menyewa tempat ini untuk diskusi.

Pada awalnya, aku sama sekali tidak melihat wajah Wendy maupun Mark. Rasa khawatirku perlahan surut dan aku rela mengantri untuk memesan minuman.

Tapi rasa khawatirku muncul lagi saat aku melihat Wendy masuk ke Café Hometown dengan tas gitarnya. Dengan pakaian berwarna hitam dan celana putih panjang, Wendy masuk sambil tersenyum ke semua pengunjung.

Bae Irene yang menjadi model perempuan kami juga melambai pada Wendy. Sepertinya Bae Irene itu penggemar Wendy, sampai dia sengaja memilih Café Hometown sebagai tempat diskusi.

Ya, aku tidak melupakan fakta kalau Wendy adalah seorang penyanyi. Lebih tepatnya, sih, penyanyi café.

Sepertinya Wendy tidak menyadari kehadiranku. Setelah mempersiapkan semua alat di panggung, Wendy menyapa pengunjung dan bertanya apa mereka sudah mendengarkan lagunya.

Oh, ini menarik. Aku tidak tahu kalau Wendy merilis lagu. Tahu pun aku tidak akan mau dengar karena bisa-bisa membuatku makin sulit melupakan Wendy.

Tepat pukul lima, Wendy memetik gitarnya dan mulai bernyanyi. Dan bersamaan dengan itu, bulu kudukku berdiri.

Suara Wendy terdengar sama dengan pemilik suara di CD yang setiap hari kuputar. Aku ulangi lagi, suara Wendy terdengar sama dengan pemilik suara di CD.

Ah, aku pasti sudah gila, telingaku pasti sudah rusak. Aku berkali-kali mencubit pipiku dan aku merasa sakit. Ini bukan mimpi.

"Hmm, kakak mau pesan apa?" tanya petugas kasir padaku.

Sayang sekali, nyanyian Wendy berhasil menghisap jiwaku. Aku berjalan melewati kasir dan perlahan menuju panggung. Ini bukan mimpi. Wendy adalah pemilik suara yang selama ini aku cari.

Takdir pasti senang bermain denganku. Dia membuat pikiranku dipenuhi oleh Wendy.

Seketika sebuah ide gila terlintas di benakku, yang membuat langkah kakiku berhenti. Aku bermaksud menarik tangan Wendy dan mengajak perempuan itu berbicara di luar café.

"Nggak mungkin," gumamku berusaha melawan tubuhku.

Ternyata aku tidak bisa, aku tetap ingin berbicara berdua saja dengan Wendy. Setelah Wendy menyelesaikan lagu pertama, aku berlari ke panggung, menarik tangan Wendy dan mengajaknya keluar.

Semua pengunjung menatap kami heran. Beberapa di antara mereka memakiku karena sudah dengan kasar menarik penyanyi favorit mereka keluar.

"Suga, berhenti," ujar Wendy dengan suara keras. Aku membuka pintu Café Hometown dan tetap memaksa Wendy mengikutiku. "Kubilang berhenti!"

Napasku tersengal-sengal, sudah lama aku tidak lari. Aku menatap Wendy serius. "Apa benar barusan itu suaramu?"

"Maksud kamu apa?" Wendy kembali bertanya padaku.

"Aku tanya, apa benar tadi itu suaramu?" tanyaku sekali lagi, kali ini lebih tegas.

Wendy mengangguk lemah, masih sambil menatapku dengan penuh tanya. Dan kalian tahu? Lututku seketika merasa lemas. Tapi aku masih berusaha untuk berdiri.

Rasa penasaranku masih membara. "Kenapa kamu nggak pernah bilang ke aku?"

"Memangnya harus bagaimana aku bilang kamu?" lagi-lagi Wendy menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. "Suga, kamu benar-benar orang aneh. Kamu baru saja menarik tanganku dan—"

"Aku selama ini mencarimu," balasku lemah. Aku melangkah mendekat dan mencengkram bahu Wendy. "Selama ini, aku ingin bertemu denganmu."

Hanya tatapan bingung yang kudapat dari Wendy. "Maksud kamu apa? Kenapa kamu mencariku?"

Mengapa selama ini aku tidak sadar? Padahal aku dan Wendy sudah beberapa kali bertemu. Dan kali terakhir aku berbicara dengannya di telepon, aku juga sempat menganggap Wendy adalah pemilik suara itu.

Takdir sudah mempertemukan kami sejak dulu. Sekarang, perasaan itu muncul lagi. Perasaan cintaku pada Wendy yang selama ini kukubur dengan kesibukan, kembali meluap.

"Aku suka suaramu, karena itu aku mencarimu," ungkapku jujur. "Aku mencaritahu keberadaanmu hingga hari ini."

Kali ini Wendy menatapku tidak percaya. "Bagaimana bisa? Apa kamu pernah mendengarkan—"

"Kamu pernah audisi di Antena Records, 'kan? Aku dapat CD nyanyianmu dari Direktur Yoo," sambungku cepat.

Fakta bahwa pemilik suara yang kusuka itu adalah Wendy, membuatku merasa bahagia. Akhirnya, setelah berbulan-bulan. Aku tidak merasa sebahagia ini sebelumnya.

"Wendy, ayo kita buat lagu bersama," usulku tiba-tiba. "Kamu bisa datang ke studioku dan di sana ada banyak sekali alat yang bisa kamu pakai."

"Benarkah?" mata Wendy berbinar-binar. "Aku boleh ke studiomu? Aku dengar, produser paling nggak suka jika ada orang asing masuk ke studionya."

Aku menggeleng cepat. "Kamu bukan lagi orang asing untukku. Kamu adalah orang yang berharga bagiku. Aku nggak akan menyerahkanmu pada siapapun."

Wendy tertawa kecil. Dan aku berani bersumpah, dia terlihat lima puluh kali lebih cantik dari biasanya. Dia adalah perempuan yang selama ini aku inginkan.

"Memangnya aku barang? Aku bukan milik siapa-siapa," ujar Wendy masih sambil tertawa.

Jemariku menyentuh pipi Wendy yang sedikit berisi kemudian turun ke dagu. Aku menarik dagu Wendy mendekat. "Kalau begitu bekerjasamalah denganku. Akan kujadikan kamu penyanyi terkenal."

Wendy mengangguk kemudian jariku yang di dagunya basah karena air mata. Wendy menangis. Wendy segera mundur dan memalingkan wajah.

Selama ini dia pasti sudah menderita. Dia memiliki impian untuk menjadi penyanyi dan tidak ada orang yang sanggup membantunya. Seandainya aku bertemu dengan Wendy lebih cepat, pasti dia tidak akan menangis seperti sekarang.

"Terima kasih, Suga," hanya itu yang terucap dari bibir Wendy.

Tapi barusan Wendy tidak menatapku saat berterima kasih. Pandangan Wendy ada pada tempat lain, yaitu sosok laki-laki yang berdiri dua meter jauhnya di belakangku.

"Wendy, aku pulang," ucap laki-laki yang kutahu bernama Mark itu.

Mark merentangkan tangan, siap memeluk Wendy. Dan Wendy, dengan wajah bahagia, berlari menuju Mark dan memeluk laki-laki itu sangat erat.

Patah hati ini tidak ada habisnya. Ada satu fakta lagi yang aku lupakan dan seharusnya aku sadar sejak tadi sebelum aku mengajak Wendy bekerja sama.

Hati Wendy akan selamanya menjadi milik Mark.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang