[ MARK ]
Apa yang harus kulakukan untuk membuat Wendy mengejar mimpinya lagi?
Semua ini bukan masalah uang. Memang benar menjadi penyanyi yang memiliki lagu sendiri bisa membuat penyanyi itu kaya.
Tapi yang dimiliki Wendy adalah bakat yang luar biasa. Rasanya sangat sia-sia jika bakat itu hanya terkurung di dalam Café Hometown.
Bicara soal Café Hometown, memangnya apa yang sudah kulakukan untuk mengembangkan café milik ayahku itu?
Satu-satunya menu yang bisa kubuat adalah Seoul Latte. Itupun aku belajar demi Wendy.
Rasanya hidupku sekarang dipenuhi oleh Wendy.
"Permisi, sedang apa kau di situ?"
Celaka! Aku tertangkap sedang melamun di depan pintu. Aku sudah tidak sengaja menghalangi orang yang hendak masuk ke dalam studio foto.
Kalau kalian penasaran mengapa aku ada di depan pintu studio foto, itu karena aku baru saja mengantar Irene untuk bekerja.
"Apa kau model juga?" tanya perempuan yang usianya jauh lebih tua dariku itu. Melihat berkas-berkas dan contoh edisi cetak majalah, kurasa ia seorang editor.
Aku dengan cepat menggeleng. "Bukan, saya hanya mengantar teman saya."
Perempuan itu membulatkan bibir seakan berkata 'oh' padaku sambil mengangguk. "Astaga, kau tampan sekali. Kupikir kau seorang model juga."
Lagi-lagi aku menggeleng. Tapi kali ini aku tersenyum tipis juga. "Bukan, Nona. Maaf saya sudah seenaknya melamun di sini."
"Kenapa tidak masuk ke dalam?" tanya perempuan itu menawariku. "Kau teman siapa?"
Ah, aku ingat, ini adalah modus yang sering digunakan oleh karyawan dunia hiburan untuk merekrut orang menarik yang ditemuinya.
Pernah dengar istilah casting, kan? Biasanya para karyawan memang sengaja disebar di jalanan, mencari anak muda berparas tampan dan cantik untuk diajak masuk ke dunia hiburan. Tidak peduli jika anak muda itu sendirian, bersama temannya, atau bersama orang tuanya.
"Saya teman Irene," jawabku dengan senyum palsu.
"Teman Irene? Wah, kenapa Irene tidak pernah cerita, ya?" gumam perempuan itu dengan tatapan kagum. Entah kagum karena aku teman Irene atau kagum dengan senyum palsuku.
"Mungkin Irene malu punya teman seperti saya," jawabku asal. Sudahi saja semua ini, aku tidak akan mau menjadi seorang model.
Perempuan itu tersenyum dan menurutku itu sangat menakutkan. "Ya sudah, kalau kau teman Irene, ayo tunggu di dalam saja."
Terpaksa, aku mengikuti perempuan itu masuk ke dalam studio foto lagi. Ah, betapa malunya aku, padahal aku tadi sudah pamit pulang pada Irene.
Saat aku masuk, Irene sudah berganti pakaian dan wajahnya sudah ditutupi riasan. Aku jadi mengerti mengapa teman-temanku di Café Hometown sangat tergila-gila dengan Irene. Dia sangat cantik.
Tapi kalau aku boleh jujur, aku lebih suka jika Irene hanya mengenakan riasan tipis. Penampilannya akan lebih natural seperti Wendy.
Tuh, kan. Lagi-lagi aku memikirkan Wendy.
Aku melambaikan tangan pada Irene saat dia melihatku berdiri di dekat fotografer yang akan memotretnya hari ini. Irene tampak malu-malu, pasti ini pertama kalinya ada orang yang melihatnya bekerja.
Aku sengaja menjauhkan diri dari perempuan editor tadi sebelum aku akhirnya dipaksa menjadi model. Aku tidak mau. Lagipula wajah tampan ini aku dapat dari orang tuaku. Bukan hasil kerja kerasku sendiri.
Sekitar satu jam berlalu hingga Irene menyelesaikan pekerjaannya. Setelah berganti pakaian dan menghapus sebagian riasannya, Irene datang menghampiriku.
"Akhirnya selesai juga," ujarku sambil tersenyum pada Irene. "Mau pulang sekarang?"
Irene menunduk malu-malu. Dia sangat mungil dan sangat cantik. Aku yang laki-laki saja merasa tidak tega jika Irene pulang seorang diri.
"Kamu menungguku, Mark?" tanya Irene tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.
"Tentu saja. Apa aku terlihat seperti sedang menunggu manajermu?" tanyaku kembali.
Irene tertawa dan aku jadi ikut tertawa. Setelah itu, kami bersama-sama keluar dari studio foto. Irene bilang, aku cukup mengantarnya hingga halte bis.
Syukurlah hari ini salju tidak turun deras dan menumpuk di jalan. Aku bisa memastikan Irene akan tiba di rumah dengan selamat.
"Oh, ya, Mark. Aku jadi memikirkan kata-katamu tadi," ujar Irene dalam perjalanan kami menuju halte.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
Irene terlihat ragu sesaat. "Kamu bilang, kamu mengerti apa yang dirasakan Wendy, kan? Kalau begitu kenapa bukan kamu saja yang membantu Wendy?"
"Aku juga daritadi memikirkan hal itu," sambungku kemudian aku menghela napas. "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."
Irene mengangguk. "Selama aku jadi sahabatnya, Wendy baru akan bercerita jika aku bercerita terlebih dahulu. Jadi, cobalah berbicara dengan Wendy sesering mungkin."
Aku menggeleng. "Mustahil, Irene. Aku saja bingung mau bicara apa, bagaimana aku bisa membuat Wendy bercerita padaku?"
"Hmm, cobalah tingkatkan kualitas waktu yang kalian lalui bersama," jawab Irene. "Seperti aku dan kamu sekarang."
"Sekarang?" tanyaku kembali.
"Iya. Bukankah menyenangkan, sekedar berjalan berdua bersama dan membicarakan hal yang menurut kita penting," jelas Irene.
Sebuah ide terlintas di benakku. Aku paham mengenai perkataan Irene bahwa aku harus meningkatkan kualitas waktuku bersama Wendy.
Satu menit, satu jam, bahkan satu hari bisa berlalu dengan menyenangkan, tergantung apa yang aku dan Wendy lakukan. Karena aku hanya bisa bertemu Wendy di hari ia bernyanyi di Café Hometown, maka aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
"Terima kasih, Irene! Kau memang teman yang baik!" pujiku dan Irene tersenyum.
Aku dan Irene menghabiskan waktu perjalanan kami dengan membicarakan pekerjaan Irene. Berbeda denganku, Irene cukup terbuka dan menikmati waktu yang ada saat ini.
Hingga sebuah pertanyaan mengejutkan terucap dari bibir Irene. "Mark, kalau pipiku merah saat berbicara denganmu, apa itu artinya aku jatuh cinta padamu?"
Hah, teori darimana itu?
Aku ingin berkata seperti itu. Tapi aku tidak berani.
Jadi akhirnya aku hanya bisa menjawab, "Itu artinya aku memang tampan, Irene."
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...