[ WENDY ]
"Santai saja,"
Begitu aku melangkah masuk, Mark langsung menyalakan penghangat yang berada di tengah kamarnya. Aku tersenyum sebagai tanda terima kasih.
Karena badai salju, aku tidak bisa segera kembali ke Rumah Sakit untuk menemani Mama. Aku terjebak di Café Hometown dan syukurlah Mark cukup baik untuk memperbolehkanku menghangatkan diri.
Aku duduk di karpet yang terdapat di tengah kamar dan segera menghubungi Papa melalui SMS. Semoga pihak Rumah Sakit juga menyediakan penghangat supaya Mama bisa tidur dengan nyaman.
"Aku duduk di sini, ya," ujar Mark kemudian mengambil tempat di sebelahku.
Dengan adanya Mark di sampingku, aku jadi ingat kenangan tentang menonton konser di Hari Natal. Saat itu Mark juga duduk di sebelahku dan tidur dengan lelap di bahuku.
Aku memperhatikan sekelilingku dan sadar bahwa kamar Mark masih sangat sepi. Hanya ada sedikit barang dan satu koper besar di dekat lemari bajunya.
"Kapan kamu datang ke Seoul?" tanyaku pada Mark yang sedang asyik membaca kamus Bahasa Korea.
Mark menutup bukunya. "Sehari sebelum konser Hari Natal. Kenapa?"
Aku mengangguk paham. Pantas saat konser Mark bisa tidur sangat lelap. Rupanya ia kecapekan karena baru saja datang dari Los Angeles.
"Tidak apa-apa," jawabku cepat. "Barang-barangmu sedikit, ya."
"Iya," balas Mark. "Mungkin minggu depan, ada beberapa barangku dari Los Angeles yang akan sampai. Dan aku harus beres-beres kamar lagi, huh."
Aku tertawa kecil. Aku tidak memiliki saudara laki-laki tapi rupanya benar bahwa hampir semua laki-laki malas membersihkan kamar mereka.
Mark kembali fokus membaca kamus Bahasa Korea. Ada beberapa halaman yang ditandai olehnya, yang membuatku berpikir bahwa Mark sungguh-sungguh dalam belajar.
"Maaf di kamarku tidak ada apa-apa. Kamu pasti bosan," ucap Mark lalu aku menggeleng.
"Aku sudah cukup hangat, kok. Terima kasih, ya. Aku akan langsung pulang setelah badai berhenti," kataku kemudian Mark tersenyum.
Aku masih teringat kata-kata Mark tadi. Bahwa aku dan dirinya begitu mirip.
Yang kutahu berdasarkan esai yang kubaca, Mark bercita-cita untuk menjadi aktor di industri hiburan terbesar dunia, Hollywood. Tapi sepertiku, Mark juga menyerah akan cita-citanya dan datang ke Seoul untuk bekerja.
Mungkin kalau dengan Mark aku bisa mencurahkan semua isi hatiku. Segala hal yang tidak bisa kuceritakan pada Papa, Mama, Kakak, maupun Irene.
Tapi sebaiknya darimana aku bercerita? Bagaimana jika Mark memandang rendah diriku? Bagaimana jika Mark merasa kasihan padaku? Aku tidak mau.
"Semoga badai segera berhenti," ujar Mark sambil memandang jam dinding. "Kamu pasti rindu dengan orang tuamu."
Aku terkesiap. Mengapa Mark begitu peduli padaku? Apa karena sedaritadi aku menggenggam ponsel dengan tangan bergetar? Aku hanya berusaha melawan dingin, Mark. Apa kamu tidak kedinginan juga?
"Mark," panggilku kemudian Mark menoleh. Dia bisa menatapku tepat di mata dan aku merasa dia bisa mengerti akan diriku sepenuhnya.
"Apa, Wendy?" tanya Mark dengan aksen Amerika yang masih kental.
Aku menggeleng. Aku suka memanggil namanya. Mark.
"Kamu terlanjur membuatku penasaran," kata Mark sedikit kesal. "Apa aku harus cerita duluan?"
Sejak pertama kali bertemu hingga sekarang, Mark selalu bisa menebak apa yang kulakukan. Awalnya aku kesal, tapi sekarang aku bersyukur karena bertemu orang seperti Mark.
Karena terkadang, aku tidak ingin berbicara. Aku benar-benar ingin semua orang memahamiku, meski aku tahu itu mustahil. Dunia ini bukan milikku.
Tapi hari ini, Mark membuatku merasa bahwa dunia ini begitu indah. Karena di tengah badai salju, aku bisa menemukan kehangatan.
"Seperti yang kutulis di esai, aku memang ingin menjadi aktor Hollywood," cerita Mark. "Tapi itu dulu. Aku tidak pernah lolos audisi dan alasan mereka selalu sama. Mereka tidak menginginkan orang keturunan Asia sepertiku. Karena itu aku menyerah."
Aku termenung. Aku tahu betul bagaimana rasanya ditolak berkali-kali dengan alasan yang sama. Hingga lututku tidak sanggup menopang tubuhku lagi dan aku memilih untuk menyerah.
"Kenapa Seoul?" tanyaku penasaran.
"Karena Café Hometown itu punya Ayahku," jawab Mark. "Pertama kali Café Hometown itu berdiri di Los Angeles. Dan Ayahku membuka cabang di berbagai tempat, salah satunya di Seoul. Aku diminta beliau untuk jadi manajer di sini."
Tidak kusangka, Mark berasal dari keluarga yang sangat kaya. Aku sempat mengira Mark berasal dari keluarga sederhana. Mark benar-benar berbeda dari bayanganku selama ini tentang orang kaya.
"Kalau kamu?" Mark tersenyum, masih sambil menatapku. "Apa kamu mengerti apa yang kurasakan?"
Aku menjawab dengan anggukan. Setelah itu, Mark menepuk kepalaku. Begitu lembut, seperti yang biasa dilakukan Papa pada Mama. Dan aku merasa begitu tenang.
"Dulu aku berusaha mati-matian untuk jadi penyanyi," ceritaku. "Aku pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain, mengikuti audisi di mana-mana. Tapi mereka semua bilang bahwa suaraku itu tidak unik. Suaraku biasa saja."
Mark menggeleng. "Aku tidak pernah bertemu penyanyi yang menyanyi sebagus kamu."
Aku mencibir. "Kamu terlalu berlebihan!"
"Serius," ujar Mark yakin. "Sayang sekali kalau kamu menyerah, Wendy."
Benar, aku tahu menyerah itu hanya cara seorang pecundang. Tapi lebih pecundang lagi jika aku mencoba melakukan hal yang sama dan merasakan sakit yang sama.
Yang kutunggu bukan kesempatan. Tapi keajaiban. Aku sudah mendapat kesempatan untuk bernyanyi di Café Hometown. Yang kuinginkan adalah keajaiban agar Mama segera sembuh.
Pintu kamar Mark diketuk dan Yugyeom menampakkan diri dengan hati-hati. "Badai salju sudah berhenti."
Aku menghela napas lega. Mark tersenyum seakan ikut senang mendengar berita dari Yugyeom. Kami segera berdiri dan berjalan bersama menuju pintu keluar Café Hometown.
"Sampai jumpa minggu depan," ujar Mark padaku. "Hari Jumat, ya? Rasanya aku tidak sabar."
Aku tersenyum. Mark mungkin terdengar seperti penggemarku, tapi aku merasa Mark sedang mendukungku sekuat tenaga. Sepertinya Mark tidak ingin melihatku menyerah karena dirinya sudah menyerah terlebih dahulu.
"Aku juga tidak sabar," ujarku kemudian aku berjinjit untuk menepuk pelan pipi Mark.
Aku segera membalikkan badan dan berjalan pulang, meninggalkan Mark yang menatapku tidak percaya sambil memegang bagian pipinya yang kutepuk.
Salah sendiri kemarin sudah menyentuh pipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fiksi Penggemar[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...