[ 9 BULAN KEMUDIAN ; IRENE ]
Aku mengangkat tangan setinggi-tingginya menghadap langit kemudian berseru, "Ah, menyenangkan sekali!"
Tanpa aba-aba, tangan Mark segera merangkulku dan menarik tubuhku mendekat padanya. Kini di antara kami tidak ada jarak yang tersisa. Kami berjalan bersama menuju tempat mobil diparkir.
"Apa yang menyenangkan, hmm?" tanya Mark sambil mengunci kedua mataku.
Kepalaku bersandar pada lengan kanan Mark. "Konser Natalnya benar-benar menyenangkan. Apalagi tadi Nell tampil dan membawakan lagu favoritku. Padahal dia sudah sangat jarang tampil di depan umum."
Mark mengusap rambutku. "Bagiku setahun ini sudah sangat menyenangkan."
Ah, benar juga. Sudah tepat satu tahun berlalu sejak kepindahan Mark dari Los Angeles ke Seoul. Berbeda denganku yang sudah menetap di Seoul sejak masa kuliah, Mark pasti memiliki pandangan sendiri mengenai kota besar ini.
"Benar menyenangkan?" tanyaku memastikan.
Karena jika kupikirkan lagi, Mark sudah melalui banyak hal selama setahun ini. 3 bulan pertama adalah masa di mana Mark jatuh cinta pada sahabatku, Wendy. Setelah itu yang Mark lakukan adalah bekerja keras di SBS TV sebagai asisten penulis naskah.
Sebenarnya bagian mana dari setahun ini yang menurutnya menyenangkan? Aku penasaran.
"Iya, aku merasa senang," jawab Mark sambil tersenyum. "Aku merasa aku sudah berubah menjadi orang yang lebih baik."
Aku mengerutkan kening. "Menurutku, kamu sudah sangat baik sejak pertemuan pertama kita."
Benar, 'kan? Kami pertama kali bertemu di Konser Natal tahun lalu. Aku bersama para pegawai Café Hometown menonton konser bersama-sama. Seperti tahun ini, saat itu aku juga mendapatkan tiket secara gratis.
Di luar dugaan, Mark malah mengusap rambutku. "Kamu benar-benar polos, ya, Irene? Apa kamu nggak sadar kalau aku sudah berubah?"
Bagiku Mark adalah laki-laki baik yang sangat perhatian pada orang-orang sekitarnya. Mark selalu seperti itu jadi aku tidak tahu apa peruban yang terlihat pada Mark. "Aku nggak tahu."
Tangan Mark dengan lihai mencubit pipiku. "Dari yang nggak punya pacar jadi punya pacar sepertimu."
Hah? Yang benar saja! Hanya karena itu dia merasa dirinya telah berubah?
"Jangan pasang wajah seperti itu," tambah Mark sambil tertawa kecil. "Kamu nggak percaya dengan apa yang baru saja aku bilang?"
Tanpa ragu aku mengangguk. "Tentu saja!"
Mark tertawa semakin keras. "Hei, memangnya aku kurang apa sebagai pacarmu?"
"Jangan membuatku mengatakannya," ucapku kesal.
Percayalah, selama setengah tahun ini, satu-satunya hal yang pernah dilakukan Mark sebagai pacarku adalah membawaku ke Los Angeles dan memperkenalkanku pada orang tuanya. Di luar itu, kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan hanya bertemu sesekali.
Kami bahkan belum berciuman. Padahal saat bersama Wendy dulu, Mark bisa dengan santai mencium sahabatku. Mengapa sekarang aku menjadi cemburu? Aku tidak mengerti.
"Yah, mungkin kamu benar. Aku memang masih belum sepenuhnya memberikan segala yang kupunya padamu. Bisa dibilang karena masa laluku," lanjut Mark bercerita.
Kadang aku bisa kesal dengan Mark yang bisa sangat jujur. Iya, aku tahu bahwa Mark masih memiliki sedikit bagian Wendy di hatinya. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa memaksa Mark berpaling seratus persen padaku.
"Ada saat di mana aku ingin kamu nggak terlalu berharap padaku. Karena aku sendiri nggak tahu kapan lagi aku bisa percaya pada orang lain," ujar Mark sangat serius. "Tapi saat melihatmu berusaha membahagiakanku, aku jadi ingin melakukan hal yang sama."
Tunggu. Barusan Mark bilang apa? Dia ingin melakukan hal yang sama? "Maksud kamu apa?"
Mark tersenyum dan kakinya berhenti melangkah. Kini kami berdiri berhadapan, tanpa berpegangan tangan. "Berkat kamu yang selalu ada di sisiku, aku jadi sadar akan banyak hal, Irene."
Aku menatap Mark dengan tatapan mengejek. "Kalau kamu bercanda, aku nggak akan memaafkanmu."
"Hei, apa aku selalu terlihat main-main di depanmu?" tanya Mark kemudian ia menghela napas. "Apa kamu nggak lihat waktu aku memohon pada Suga saat di backstage? Kamu pikir aku melakukannya untuk siapa?"
Aku mendengus. "Tentu saja untuk Wendy—"
"Salah. Aku melakukannya untuk kamu," sahut Mark dengan senyum puas karena jawabanku salah. "Aku melakukannya agar kamu hanya melihatku seorang."
Apa-apaan ini? Mark selalu tahu bagaimana cara untuk membuatku makin cinta padanya. Kalau sekarang aku menatap diriku di cermin, aku pasti akan melihat pipiku yang sudah berubah merah.
"Sudah nggak ada lagi Wendy di hatiku. Kamu yang sekarang ada di hatiku," sambung Mark sambil merapikan rambutku. "Dan kamu jauh lebih baik dari perempuan manapun yang pernah aku temui."
Ya Tuhan, apa ini mimpi? Karena saat ini air mataku menetes dan aku tidak mau terbangun dalam keadaan mata sembab sehabis menangis.
"Mark, ini bukan mimpi, 'kan?" tanyaku sewajar mungkin.
Mark menggelengkan kepala. "Tentu saja bukan. Mau seperti apa kubuktikan agar kamu percaya kalau ini bukan mimpi, hmm? Apa perlu aku cium kamu?"
Tidak mungkin! "Mark, kamu jangan—"
Dan seketika Mark sudah berlutut di hadapanku. Tangannya bergerak masuk ke dalam jas hitamnya dan keluar dengan sebuah kotak kecil yang tidak pernah aku harapkan sama sekali.
Aku sudah siap jika suatu hari Mark akan meninggalkanku, setelah impiannya bersama Wendy terwujud. Tapi sekarang, Mark justru berpaling padaku. Apa yang Mark lihat dari diriku? Apa aku berhasil membahagiakannya? Apa usahaku selama ini tidak sia-sia?
"Irene," ujar Mark memanggil namaku. Dia terlihat tampan saat ini. "Izinkan aku membahagiakanmu."
Aku hampir pingsan saat melihat cincin berwarna perak yang muncul dari dalam kotak yang dibawa Mark. Senyumku merekah, aku benar-benar senang. Aku adalah perempuan paling beruntung di dunia. Mark datang bagikan Santa Claus yang memberi keajaiban di Hari Natal.
Mata kami bertemu dan dunia serasa milik kami berdua saja. "Apa kamu mau menikah denganku?"
Jawabanku sudah sangat jelas. Aku mengangguk berkali-kali karena aku sangat bahagia. "Iya, aku mau. Aku mau menikah denganmu."
Dalam hitungan detik, Mark sudah berdiri lagi dan memelukku begitu erat. Pelukan Mark begitu hangat dan aku masih tidak percaya Mark memilihku sebagai pendamping hidupnya. "Ingatlah Irene, ini bukan mimpi. Aku sangat mencintaimu. Dan aku ingin menghabiskan hari-hariku di dunia ini bersamamu."
Tanganku yang haus akan kehangatan memeluk Mark lebih erat. "Aku bersedia, Santa Claus. Terima kasih untuk hadiah indah ini."
Mark menatapku bingung. Dengan kesal dia mengomel padaku, "Kamu barusan panggil aku apa? 'Santa Claus'? Memangnya aku kakek-kakek berjanggut? Hah, aku jadi malas menciummu."
Aku tertawa. "Simpan ciumanmu untuk hari pernikahan kita, Mark. Aku juga cinta kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...