45

817 194 43
                                    

[ WENDY ]

Save your advice 'cause I won't hear
You might be right but I don't care
There's a million reaons why I should give you up
But the heart wants what it wants
The heart wants what it wants
...............................

Baru saja aku menyelesaikan penampilanku malam ini di Café Hometown. Aku menghadap para pengunjung dan membungkukkan badan sebagai salam perpisahan. Ya, akhirnya pekerjaanku hari ini tuntas!

Tapi hari ini belum berakhir karena setelah ini, aku masih harus berdiskusi dengan Mark tentang impian kami. Sekarang sudah akhir Bulan Februari. Maret adalah tenggat waktu kami.

Bicara soal Maret, Mama akan berangkat ke Belanda di hari pertama bulan itu. Mama akan pergi sekitar satu bulan bersama Papa. Karena mahalnya biaya hidup di sana, aku dan Kakak memutuskan untuk tidak ikut.

Sebenarnya ini bukan hal buruk, karena di hari yang sama dengan keberangkatan orang tuaku ke Belanda, aku bisa tinggal di rumah kami lagi. Ya, rumah yang sudah lama tidak kami tempati.

Sudah setahun lebih aku tidur di Rumah Sakit. Bagaimana kabar rumah kami sekarang? Apa sebaiknya aku menelepon cleaning service untuk membersihkan rumah kami?

Aku turun dari panggung sambil berpikir lalu Jaebum menghampiriku sambil membawa karangan bunga. Aku tahu persis karangan bunga ini dibeli oleh siapa.

"Orang yang kamu cari ada di lantai dua," ujar Jaebum memberitahuku. "Ah, enaknya kalian berdua. Sudah pacaran, ya?"

Dengan tangan yang menerima karangan bunga, aku tidak bisa menutupi pipiku yang bersemu merah. Benar juga. Di hari aku ulang tahun, sebelum pulang, aku berciuman dengan Mark. Ditonton oleh banyak orang, termasuk Jaebum.

"Kami belum berpacaran," jawabku cepat kemudian melewati Jaebum dan naik ke lantai dua.

Sekarang aku sadar, aku benar-benar menyukai Mark. Dan kurasa Mark juga menyukaiku. Tapi Mark belum menyatakan perasaan padaku. Setelah hari ulang tahunku, kami berkomunikasi lewat snapchat. Mark tidak menemuiku karena dia ingin memberikanku waktu untuk mengerjakan lagu.

Dan sekarang lagu baruku sudah selesai, aku mengetuk pintu kamar Mark, membukanya dari luar. Mark sedang duduk di lantai dengan laptop yang diletakkan di atas kakinya.

"Wendy, masuklah," ujar Mark sambil tersenyum. "Sudah selesai nyanyi?"

Aku mengangguk kemudian duduk di sebelah kanan Mark. "Sudah. Memangnya nggak kedengaran?"

Mark menggeleng. "Nggak. Ternyata dinding bangunan ini cukup tebal. Aku bisa bekerja dengan tenang di sini. Oh, ya, lagu kamu sudah selesai?"

Setelah itu, aku mengeluarkan sebuah CD yang berisi lagu baru buatanku. Aku membuat ulang lagu untuk webdrama yang sedang dikerjakan Mark karena aku merasa, laguku sebelum ini benar-benar aneh.

Aku juga sudah dengar dari Mark tentang proses pemilihan naskah yang dilakukan. Sebelum tanggal 1 Maret, Mark akan mengajukan naskah buatannya ke Naver TV melalui Irene. Jika naskah Mark masuk 10 besar, Mark akan mengajukan laguku sebagai bahan pertimbangan.

Ini semua agar impian kami cepat tercapai.

"Kamu rekaman di mana?" tanya Mark dan ia memasukkan CD laguku ke dalam laptopnya.

"Di studio rekaman pinggir jalan," jawabku kemudian Mark tersenyum. Ya, kemarin aku pergi ke studio rekaman yang biasa aku kunjungi sebelum pergi ke perusahaan rekaman dan mengajukan CD.

"Mau dengar bersama-sama?" tanya Mark sambil memakai headset kemudian aku menggeleng. "Oke, aku dengarkan dulu, ya?"

Aku tidak malu dengan lagu buatanku, sejujurnya aku bangga. Karena itu aku lebih memilih untuk melihat ekspresi wajah Mark yang sedang mendengarkan laguku, daripada ikut mendengarkan bersama dia.

Bibir Mark... Bibir yang kucium beberapa hari lalu. Bibir yang membalas ciuman yang kuberikan. Bibir yang selalu memanggil namaku dan membuatku ingin bersandar di bahunya.

Dan otomatis, aku menyandarkan kepala di bahu Mark. Seperti dulu saat konser natal, di mana Mark tertidur di bahuku. Aku baru sadar, segala hal berubah setelah konser. Semua ini dimulai setelah Mark melihatku bernyanyi di Café Hometown.

"Bagus sekali, Wendy," puji Mark sambil mengusap kepalaku. "Kamu bisa membuat lirik yang bagus tanpa melihat naskahku yang baru."

Aku tersenyum. "Kurasa kita memiliki perasaan yang sama, 'kan?"

Mark mengangguk. "Ini jauh lebih bagus daripada lagu 'stroberi' yang kamu buat sebelum kamu menghilang."

Tanganku dengan cepat memukul lengan Mark. "Jangan pakai kata 'menghilang' dong! Aku, 'kan, nggak pergi ke mana-mana."

"Oh, ya?" tanya Mark kemudian aku mengangguk. "Bukannya kamu kembali ke kampung halaman?"

Tunggu. Mark sedang membicarakan apa? Siapa yang kembali ke kampung halaman? Mark tidak salah orang, 'kan?

"Maksud kamu apa?" tanyaku bingung.

"Ada orang bernama Suga yang datang menemuiku dan bilang kalau kamu nggak bisa kerja selama beberapa waktu karena kamu ada urusan di kampung halaman," jelas Mark.

Ah, aku baru ingat. Aku memang meminta Suga bertemu dengan Mark dan memintanya beralasan untuk menutupi alasanku yang sebenarnya. Siapa sangka Suga memberi alasan seperti itu? Kampung halamanku, 'kan, Seoul.

"Mungkin Suga salah dengar," kataku sewajar mungkin. "Aku bilang padanya kalau aku ada urusan keluarga dan mungkin dia salah dengar jadi urusan di kampung halaman."

"Oh, begitu," sahut Mark kemudian aku mengangguk. "Aku pikir kamu menghabiskan banyak waktu bersamanya sampai kamu bisa sehebat ini."

Keningku berkerut. "Maksud kamu apa, Mark?"

"Suga itu produser, 'kan?" tanya Mark kembali. "Kata Irene, dia produser muda jenius. Kamu belajar bersamanya? Bagaimana kalian bisa bertemu?"

Pertanyaan yang jauh lebih penting adalah, bagaimana aku menjelaskan hal ini pada Mark. Sudah kuduga, berbohong hanya akan menambah kebohongan yang baru.

"Aku bertemu dengannya beberapa kali, tapi aku nggak belajar dari dia," jawabku sedikit memaksa. Tolong sudahi saja percakapan tentang ini.

Mark mengusap rambutku sambil tersenyum. "Kalau begitu kamu sudah bekerja keras, dong? Aku bangga sekali padamu."

Aku menolehkan kepala dan menatap Mark. Ah, aku benar-benar nyaman bersama Mark. Dan aku mengenggam tangan Mark, memberinya sinyal yang kemudian dibalas Mark dengan ciuman di bibirku.

Kubalas ciuman Mark dengan lembut. Status kami memang hanya teman, tapi aku merasa Mark juga tahu, bahwa ciuman ini sudah berarti lebih. Bahwa kami menyukai satu sama lain.

"Wendy," Mark menyudahi ciuman kami. "Kalau naskahku masuk 10 besar, ada yang ingin kukatakan padamu."

Aku mengangguk. Aku tahu Mark akan bilang apa. Dan aku juga sudah tahu jawaban yang akan kuberikan.

"Aku akan menunggumu, Mark," ujarku sambil tersenyum. "Aku akan menunggumu, sampai kapanpun."

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang