[ WENDY ]
"Iya, Ma. Aku baik-baik saja. Aku menginap di Café. Iya, sampai ketemu besok,"
Tepat setelah aku mengakhiri percakapanku dengan Mama di telepon, Mark masuk ke kamar sambil membawa sebuah selimut.
"Ada lagi yang bisa kucarikan untukmu?" tanya Mark setelah meletakkan selimut di kasur.
Aku menggeleng cepat. "Begini saja sudah cukup, kok. Terima kasih, ya. Maaf aku jadi sangat merepotkan."
Musim dingin tersisa satu bulan lagi tapi cuacanya tidak menunjukkan perubahan. Justu hari ini Tuhan menurunkan sebuah badai salju yang membuatku tidak bisa kembali ke Rumah Sakit tempat Mama dirawat.
Beruntung sekali diriku karena Mark bersedia mengizinkanku menginap semalam di Café Hometown. Asal kalian tahu, lantai 2 dan 3 Café Hometown digunakan sebagai tempat tinggal para pegawainya. Lantai 2 untuk Mark, Jaebum, dan Jinyoung. Lantai 3 untuk Jackson, Youngjae, Bambam, dan Yugyeom.
"Kalau ada sesuatu, cepat beritahu. Aku ada di kamar Jaebum," ujar Mark memberitahuku.
Aku mengerutkan kening. "Apa benar tidak apa-apa aku tidur di kamarmu? Aku bisa tidur di kursi Café di bawah, kok."
Mark mendecak. "Mana mungkin aku membiarkanmu tidur di sana. Lagipula ini hanya semalam, berita juga bilang badai akan berhenti sekitar jam 3 pagi."
Setelah saling mengucapkan ucapan selamat malam, Mark keluar dari kamar dan aku mulai berguling di kasur.
Aroma kain bantal dan selimutnya adalah aroma tubuh Mark. Aku jadi tidak bisa tidur karena tidak terbiasa. Selama ini aku selalu tidur di sofa yang ada di ruang inap Mama di Rumah Sakit.
Begitu badai salju berhenti, aku harus segera pergi ke Rumah Sakit. Aku tidak boleh merepotkan Mark dan pegawai lain di Café Hometown.
Lagipula, ini salahku sendiri terjebak di Café Hometown. Aku terlalu larut dalam percakapanku dengan Mark, hingga aku tidak sadar Café Hometown mulai sepi dan orang-orang pulang karena sudah mengetahui badai salju akan datang.
Tapi aku ingiiiin sekali menikmati segelas Seoul Latte sebelum aku pergi.
Ya Tuhan, mengapa aku sangat egois?
Aku tidak tahu bagaimana, tapi akhirnya mataku bisa menutup dan aku jatuh tidur. Aku rindu tidur di kasur rumah, aku berharap Mama segera sembuh agar keluargaku bisa kembali menjalani kehidupan di rumah kecil kami.
Pukul empat pagi, Mark masuk ke kamar dan membangunkanku. Katanya, badai salju sudah berhenti. Aku segera bangkit dari kasur karena panik. Mark menatapku penuh heran.
"Ada apa?" tanya Mark. "Apa aku salah sudah membangunkanmu?"
Pipiku merona, aku menggeleng secepat mungkin. "Bukan. Hanya saja, ini benar-benar memalukan. Wajah tidurku pasti jelek sekali, 'kan?"
Di luar dugaan, Mark justru tersenyum dan menggeleng. "Tidak, kok. Masih lebih jelek wajah tidur Jaebum."
Tanpa kuminta, Mark membantu merapikan rambutku dengan jari-jarinya. Sentuhan Mark sangat khas, lembut dan penuh kehangatan. Aku sangat nyaman saat bersama Mark dan lagi-lagi perasaan tidak ingin pergi dari Café Hometown muncul.
"Aku jadi ingat salah satu audisiku," cerita Mark tiba-tiba. "Ada satu audisi di mana aku disuruh mempraktekkan adegan menyisir rambut sang tokoh utama perempuan."
Aku tersenyum tipis. "Memangnya peranmu sebagai apa?"
"Sebagai anak laki-laki yang dirawat sejak kecil oleh keluarga tokoh utama," jawab Mark. "Dan sebagai satu-satunya laki-laki yang mengetahui rahasia tokoh utama."
"Ceritanya seperti apa?" tanyaku lagi.
Mark menghentikan gerakan jari-jarinya di rambutku. Ia mengambil salah satu karet gelang yang ada di lacinya dan mulai mengangkat rambutku setinggi mungkin, berusaha menguncirnya.
"Tokoh utama perempuan ini akan dijodohkan dengan laki-laki kaya raya demi melunasi hutang keluarganya," cerita Mark. "Karena dia tidak mau, dia kabur dari rumah dan bersembunyi di rumah warga yang hidupnya cukup miskin. Di rumah warga itu, dia bertemu seorang laki-laki dan jatuh cinta."
Rambutku sudah selesai dikuncir kuda dan Mark mulai beralih ke dahiku untuk merapikan poniku.
"Lalu? Apa yang terjadi?" tanyaku penasaran.
Mark menghela napas. "Suatu hari, keluarga sang tokoh utama mengeluarkan pengumuman, siapapun yang bisa menemukan dan mengembalikan tokoh utama ke keluargaya, maka orang itu akan mendapat uang yang sangat banyak."
Setelah selesai merapikan rambutkupun Mark masih melanjutkan ceritanya. Entah mengapa sejak kemarin aku berpikir bahwa Mark memang sangat berbakat dalam bidang ini.
Bukan, bukan dalam bidang akting. Kurasa Mark sangat berbakat di bidang sastra dan aku mulai berpikir bahwa pekerjaan yang sesuai untuknya adalah menjadi penulis naskah.
"Kamu benar-benar pintar dalam memilih cerita untuk audisi," ujarku tulus. "Sayang sekali kamu tidak pernah lolos audisi."
Mark mengangkat bahunya. "Begitulah nasibku, Wendy. Jadi, tidak segala hal berjalan dengan mudah di Los Angeles."
Orang seperti Mark yang sudah ditolak berkali-kali dan masih terlihat tegar seperti saat ini adalah orang yang aku kagumi. Tidak ada hal lain yang dilakukan Mark selain bekerja keras dan terus mencoba.
Pagi ini, sebelum aku kembali ke Rumah Sakit, Mark menyuguhkan segelas Seoul Latte untukku. Dia melakukannya tanpa aku minta dan dia sengaja membungkusnya dengan sebuah plastik yang membuatku dapat meminum Seoul Latte dalam perjalanan.
"Saljunya menumpuk sekali," ujar Mark dengan nada mengeluh saat membuka pintu Café Hometown.
Aku muncul dari balik punggungnya dan melangkahkan satu kaki ke luar Café Hometown. "Mark, aku benar-benar berterima kasih. Kamu sangat baik."
Mark mengangguk. "Jangan sungkan untuk meminta bantuanku, okay? Kamu juga boleh cerita apa saja padaku."
Bagaimana bisa laki-laki seperti Mark begitu baik padaku? Ini tidak adil. Sedangkan di luar sana, di setiap perusahaan, aku selalu ditolak. Dulu, tidak ada seorangpun yang mau membantuku, selain keluargaku dan Irene.
Saat ini, Café Hometown adalah tempat ternyaman, yang bisa kukunjungi di luar Rumah Sakit. Dan di Café Hometown ini, ada laki-laki bernama Mark, yang baru kukenal kurang dari sebulan.
Kalau dulu Mark membuang impiannya, maka sekarang aku ingin membantu Mark mewujudkan sebuah impian baru.
"Mark, apa kamu tidak mau coba menjadi penulis naskah? Kamu bisa mengajukan naskah buatanmu ke stasiun TV atau rumah film," kataku sambil menatapnya.
Satu tangan Mark bertumpu pada pintu, matanya terkunci bersama mataku, senyumnya berhasil membuatku bertanya-tanya.
"Aku mau saja," ujar Mark. "Tapi dengan syarat, kamu juga mau kembali berusaha untuk menjadi penyanyi."
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...